webnovel

Ingin Melukai

"Kabar kamu, Len?"

Lentera menunduk seakan lehernya patah. Dalam sekali karena ia tak bisa menatap ayahnya lama. Cangkir kaca panasnya diremas menyalurkan ketakutannya. "Baik."

"Nggak tanya kabar Papa gimana?" Ayahnya itu menyeruput seduhan teh Lentera penuh nikmat. Terpejam menyesap aroma ranum yang disuguhkan Lentera. "Sudah lama nggak minum teh dari kamu, Len."

Karena ayahnya selalu sibuk dengan tiga benda memabukkan itu. Bagaimana Lentera bisa menyuguhkan hal normal? "Maaf, kalau begitu."

Ayahnya tak lagi menanggapi ujaran Lentera. Pun, kegugupan Lentera dianggap angin lalu olehnya. Sibuk memandangi sekeliling interior reot yang tak pernah dilihatnya. "Papa kirain kamu kabur dari Papa artinya hidup kamu sudah lebih baik. Kurang lebih sama kayak Papa, ya?"

Setidaknya tidak ada ayahnya yang sibuk dengan 'dunianya sendiri'. Hidup seperti apa pun itu lebih baik asalkan terlepas dari ayahnya. Dari dulu sampai sekarang Lentera tak pernah menyesal membuat keputusan ini.

Lebih baik daripada paksaan ayahnya dulu. Benar, lebih baik walaupun sekarang ia dijatuhi kesialan.

Lentera mengusap keningnya yang berpeluh tipis. Udara terasa engap, tapi ia tak bersedia melepaskan jaketnya. Gerakan sekecil apa pun tak berani diciptakannya.

"Len? Diem aja daritadi?" Kekehan seraknya merasuk ke telinga Lentera. "Nggak menyambut Papa, begitu? Papa jauh-jauh datang ke sini, lho. Setidaknya Papa bisa menginap sampai seminggu dengan tenang ketimbang dikejar sama rentenir."

Gadis itu gagal menahan pembelalak matanya. "Rentenir? Papa ada hutang?"

"Uang yang kamu kirim mana cukup untuk semuanya, sih?" Pria itu kembali berdecih sinis. Menyodorkan cangkir kosong yang sudah dihabiskannya. "Isiin lagi, Len."

"Pa!" sentak Lentera mulai emosi. "Lima puluh persen gaji Lentera untuk Papa!"

"Lima puluh, bukan tujuh puluh," cibirnya tak sopan. Nyalang kedua bola mata itu berputar ngotot. "Isiin. Papa haus."

"Papa dari dulu masih sama aja!" Gondok suaranya terdengar bengis, beserta sisa kesedihan. "Papa nggak bisa bersyukur aja, ya? Tinggalin semua itu dan hidup yang benar, Pa!"

"Bersyukur itu pas Papa dikasih kamu sama Mama!" balasnya tak kalah kencang. Cangkir berukiran bunga polos itu dilemparkan sembarangan ke tembok. Pecah sembarangan di lantai. "Tapi Mama kamu malah meninggal!"

"Setiap orang pasti meninggal, Pa-"

"Papa enggak akan meninggal selama ada kamu," tuturnya sengit. Cangkir di tangan Lentera serta merta dirampasnya, dilemparkan pula ke dinding lagi.

Degupan dada Lentera semakin menggila. Apalagi bunyi pecahan kaca dua kali berturut-turut. Pengangnya terasa sampai ke telinganya. Nyaris tak bisa mendengarkan dan fokus pada apa pun lagi kecuali sorot mengamuk ayahnya.

"Tapi kamu juga mau tinggalin Papa. Kamu mau Papa mati?" tanyanya bengis. Pundak Lentera diremasnya kencang. "Sebegitu bencinya kamu sama Papa kayak Mama kamu?"

Ia sadar setetes, dua tetes, diikuti lancarnya tangis Lentera tak akan lagi menimbulkan belas kasih ayahnya.

Pria itu layaknya haus kehidupan. Berhati batu. Telinga dan hatinya tertutup oleh kerasnya keinginannya sendiri.

Bagaimana dengan dirinya?

Seketika ia begitu merindukan saat-saat ibunya masih hidup. Sangat, merindukannya.

Pipi memerahnya digerus punggung tangannya kasar. "Lentera kasih Papa pilihan. Hidup sesuai kemauan Lentera dan Papa boleh tinggal di sini, atau Papa tinggal seperti dulu tapi nggak sama Lentera."

"Kalau Papa tulus bilang hanya Lentera yang Papa punya, pasti Papa tahu pilihan yang paling baik." Lentera tersenyum pahit di ujung kalimat. "Tapi kalau nggak ... Lentera tahu Papa ke sini untuk apa."

"Len," panggilnya lembut. "Untuk apa Papa ke sini cuman buat tinggal sama kamu? Kehidupan kamu nggak lebih baik dari Papa."

Hatinya tertikam lebih dalam lagi. Tertohok oleh kenyataan bahwa ayahnya sama sekali tak bisa diselamatkan. Dengan cara apa pun.

"Sekarang ...." Pria itu tahu-tahu sudah mencekal Lentera kuat. Tak mengizinkannya kabur setelah Lentera sendiri lengah. "Ikut Papa."

BRAK!

Sekujur tubuhnya lemas tak bernyali. Bergidik kencang kala bau cerutu menguasai indra penciumannya. Dia kembali terlempar pada kejadian beberapa tahun silam di mana ia tak ingin kembali lagi pada masa kelamnya.

Tapi nyatanya Lentera tak pernah bisa kabur dari takdirnya sendiri.

Atau ... bisa jika ia berniat dan ... mau melukai.

"LEN!" bentak ayahnya murka. "Ikut atau Papa seret?"

"Pa," panggil Lentera memelas. "Tolong jangan paksa Lentera. Lentera nggak mau cari uang dengan sembuhin orang, Pa. Tolong. Lentera bisa sekarat kalau kayak gitu terus. Papa tahu sendiri tapi Papa mau korbanin Lentera?"

"Tapi yang jelas itu bisa menghasilkan uang lebih banyak, Len!"

Kelopak matanya menyatu jadi satu. "Jangan paksa Lentera, Pa."

"LENTERA KANAYA!"

Berganti Lentera yang mengurung pergelangan tangan ayahnya. Pergerakannya secepat kilat tak terprediksi. Kilatan nyalangnya tersalurkan melalui kedua telapak tangannya. Diantarkan melintasi permukaan kulit, menembus aliran darahnya hingga sampai ke tulangnya.

Jeritan seraknya tak lagi terhindarkan. Menggaung kencang memantul ke setiap sudut ruangan. Penyebabnya tidak lain adalah Lentera yang kehilangan kendali.

Sekian detik kemudian, pria renta itu ambruk ke lantai. Ringisan dan erangannya terdengar menyakitkan. Meringkuk melindungi tangannya layaknya siput.

Tapi Lentera masih bergeming. Deru napasnya acak. Pikirannya mendadak kosong setelah menyadari hal buruk yang dilakukannya.

Apa yang sudah ia lakukan?

"L-Len," panggil ayahnya lirih. Berkaca-kaca karena tangan yang remuk pasti menyakitkan. "Bantu Papa ... tolong."

Detik itu juga pertahanan Lentera sudah roboh. Hal yang diikrarkannya sudah dilanggar berulang kali. Bahkan prinsip Lentera untuk tidak melukai orang yang disayanginya pun gagal ditepati.

Orang macam dirinya yang hidup di dunia ini?

Air mata merembes dari tempatnya. Lentera terisak tanpa henti.

Mungkin memang seharusnya orang seperti ibunya, dan dirinya itu tak pernah ada. Mengacaukan sistem alam semesta bagi penghuninya.

"L-Len ...." Tangan dingin itu menyampaikan getarannya ke kaki Lentera. "Papa bisa mati kalau begini ...."

Lentera menggeleng kecil dengan tangisan kuatnya. Ia bersimpuh, tak bisa lagi bertahan dalam kondisi berdiri. "Maafin Lentera, Pa."

"Len ...."

Tarikan napas panjang diambil Lentera sebelum memulai apa yang harus dilakukannya.

Kalau memang ini akhirnya, maka biarlah. Bukan kuasa Lentera untuk mengatur semuanya. "Papa jangan tidur," bisik Lentera.

Kedua tangan tak berdaya itu berhadapan dengan telapak tangannya. Dalam keadaan seperti itu, Lentera selalu bisa menelusuri bagian dalam tubuh manusia. Semuanya, dari yang paling luar dan paling dalam.

Yang lebih hebatnya lagi, ia seakan bisa mengatur semuanya semaunya. Itulah kekuatan yang dimilikinya. Merusak dan memperbaiki. Keduanya bisa saling melengkapi.

Raungan ayahnya sudah mengecil, yang berarti sebentar lagi pandangan Lentera akan layu.

Namun, yang didapatinya adalah seringai ayahnya yang melebar. "Anak Papa Sayang, kamu harus tahu tempat kamu ada di mana."

Ini buruk.

Segera ia menarik dirinya mundur. Jarinya menggapai apa pun untuk melindungi diri, sampai ia meraih alas meja.

Benda pipih itu jatuh, dengan kontak Devan yang masih melayang menunggu dihapus.