webnovel

First Met

Mimpi yang menjadi kenyataan.

Kayla kegirangan melihat hasil testpack yang menyatakan positif. Setidaknya, itulah yang dikatakan beberapa artikel kehamilan yang Kayla cari informasinya saat muncul dua garis merah bersanding, walaupun salah satunya masih samar.

'Din, titip pesan ini untuk Jimmy, kayaknya hp dia mati.'

Pesan yang dikirim Kayla pada Dinda beserta satu buah foto hasil testpack-nya tadi. Untuk sementara, hanya Dinda yang mengetahui aib ini.

'Ciee .... Jadi nih calon manten. Siap! Akan kusampaikan pada Jimmy,' balas Dinda.

Sebuah senyuman terlihat di wajah manis Kayla tatkala melihat balasan pesan dari Dinda. Lain halnya dengan Jimmy, ia yang melihat kabar itu, merasa bingung dengan perasaanya sendiri.

Ia pun segera menelepon kekasihnya itu.

"Ha-halo, Sayang …."

"Yang, aku hamil! Senangnyaaa …. Sekarang rencana kita berhasil, nanti setelah kamu pulang dari Palembang, kamu temui orang tuaku lalu kita beritahu mereka soal ini dan rencana pernikahan kita, ok?"

"Iya, syukurlah. Tunggu aku pulang ke Bandung, yaa …."

Senang, bingung, kesal, campur aduk menjadi satu. Bukan soal cintanya pada Kayla jadi berubah, namun Jimmy adalah laki-laki yang baru pertama kali menginjak dunia malam dan dihadapi dengan situasi seperti ini yang di luar ekspektasinya. Sedih? Tentu. Ia belum punya tabungan yang cukup untuk meminang kekasihnya saat itu. Ia bahkan tak tahu apa yang harus ia katakan pada kedua orang tua Kayla nanti.

'Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau mengecewakannya,' ujar Jimmy dalam hati.

Lelaki itu mencoba menguatkan mentalnya.

Ia merasa menyesal karena menerima tantangan Kayla saat itu. Tapi, ia tak bisa menampik kalau ia benar-benar tulus mencintai Kayla dan tak ada niat buruk sama sekali. Ia terpaksa melakukannya karena kesal dan tertekan. Yang ia inginkan hanyalah, membuktikan kalau ucapan Kayla mengenai laki-laki itu salah besar. Lagi pula, kucing mana yang menolak jika diberi ikan segar?

7 bulan yang lalu.

"Dengan Mbak Dj Kay?" ucap lelaki yang tingginya sekitar seratus lima puluh sentimeter, dengan mengenakan topi merah.

"Ah, iya. Bapak dengan Pak Rusli, supir dari Club Lavana ?"

"Benar, Mbak. Mari saya antar ke parkiran."

Kali ini, Kayla mengambil job menjadi home DJ di salah satu Club di kota Ternate. Jauh? Sudah biasa baginya. Bahkan, perjalanan ini ia tempuh langsung dari kota Jayapura, Papua.

Bukan tanpa alasan ia rela tak pulang ke kota asalnya dan langsung melanjutkan perjalanan kerja ke kota lain. Ada seseorang yang sangat ingin ia temui dan tak mau jauh darinya. Rendi, kekasihnya saat ini yang sedang bekerja di Ternate lebih dulu darinya.

"Ok, Pak. Eh, ngomong-ngomong Club Lavana dengan Club Musi jauh tidak ya, Pak?" tanya Kayla pada Pak Rusli, supir Club Lavana tempatnya bekerja.

"Oh, kalau Musi tidak terlalu jauh sih. Memangnya kenapa, Mbak? Ada pacar Mbak ya di sana?"

Kayla tersipu malu mendengar candaan pak Rusli. Namun, lelahnya perjalanan tak mampu membuat ia bertahan untuk meneruskan perbincangan dengar supir itu. Ia pun terlelap dalam perjalanan selama satu jam lamanya.

Sesampainya di tujuan, ia langsung melihat-lihat bangunan tempat hiburan malam dimana ia bekerja. Gedung dua lantai yang cukup besar dan mampu menampung sekitar lima ratus orang tersebut cukup memuaskan Kayla dalam bekerja agar memaksimalkan performanya.

"Ok, Kay. Jam sembilan adalah waktunya kamu perform, berarti jam delapan tiga puluh kamu harus sudah standby di hall atau sekitaran gedung ini ya," ujar Adam sang manager yang masih terlihat muda di club tersebut.

Tak sabar ingin meregangkan tubuh diempuknya kasur, Kayla lantas mengikuti arahan pak Rusli yang mengantarnya menuju mes di lantai dua tepat di belakang club tersebut.

"Ini kamarnya Mbak DJ, selamat beristirahat ya, Mbak," ujar pak Rusli.

"Baik, Pak. Terima kasih."

Clek ….

Ia menutup rapat-rapat pintu kamar yang selama dua bulan kedepan akan menjadi tempatnya beristirahat itu.

"Haaahhhh …. Akhirnya, badan rasanya sudah tak karuan!"

Kayla menghempaskan tubuhnya ke kasur dan mengambil ponselnya sejenak.

'Sayang, aku sudah sampai Lavana dan sudah berada di mes. Aku istirahat dulu, ya?! Nanti malam akan kukabari saat kerja.'

Seharian ia belum mengabari kekasihnya, Kayla memang terbiasa seperti itu. Ia tak akan tahan berlama-lama melihat layar ponsel saat menempuh perjalanan jauh karena itu akan membuatnya sakit kepala.

Tuk …. Tuk ….

Terdengar suara yang sangat bising dari luar kamar Kayla hingga membangunkan ia dari tidurnya. Nampaknya, suara itu seperti hentakan sepatu hak tinggi yang mondar mandir dan beberapa ocehan orang yang terdengar sangat sibuk.

"Din, jangan sampai syal merahnya ketinggalan! Kostum kita hari ini kan full color!"

"Jim, minta parfum, dong. Punyaku habis."

"Aku turun duluan, ya! Sandra sudah di bawah tuh, kasihan dia sendiri!"

Kira-kira begitulah yang terdengar tentang situasi di luar sana. Masih dengan tatapan mata yang setengah terbuka, Kayla melihat jam di ponselnya. Betapa terkejutnya ia, tatkala melihat waktu menunjukkan pukul 20.10! Sial! Pastinya, lagi-lagi ia harus melakukan kebiasaan buruknya yaitu, tidak mandi karena terburu-buru.

"KAYLAA! Kenapa harus ketiduran segala sih?! Tenang, Kay. It's okay kalau kamunggak mandi, tinggal semprotkan parfum yang banyak. Yang penting, wangiii …," ucapnya bermonolog.

Beruntung, Kayla cukup mahir dalam bidang merias wajah yang tak membutuhkan banyak waktu. Terelebih lagi, ia tak pernah menggunakan make up yang mencolok, namun ia tahu bagaimana memoles wajahnya supaya terlihat cantik dan berseri tanpa riasan berlebih.

"Eh ... kamu DJ baru, ya? Salam kenal aku Dinda, vokalis band di sini, Band Seven. Ah, nanti kita lanjut ya ngobrolnya! Waktunya mepet, takut dimarahi pak Adam soalnya," sapa seorang gadis yang sudah menggunakan riasan lengkap.

"Oh, I-iya." Tak sempat memperkenalkan diri, vokalis itu langsung berlalu dengan tergesa-gesa meninggalkan Kayla.

Sesampainya di hall, ia langsung menuju panggung di mana alat yang dinamakan CDJ itu diletakkan. Sembari menyiapkan alat, beberapa pasang mata melihat tampilan maupun riasan menawan sang home DJ baru di club tersebut. Bagimana tidak, dengan gaun yang panjangnya setengah paha berlapis sequin berwarna emas yang berkelap-kelip memantulkan cahaya dari sekitar, dan rambut bergelombang yang terurai acak namun terlihat seksi, membuat ia menjadi pusat perhatian seisi gedung itu.

"Tak salah aku memilih dia untuk dijadikan talent baru di sini. Umpan yang bagus untuk para macan di luar sana …." Senyum menyeringai muncul dari mulut Adam.

****

'Kamu ke mana aja, sih? Kok, nggak ada kabar??'

'Kayla, baru satu hari kerja sudah seperti ini! Sesibuk apa sih sampai kamu menghilang begini?'

Selama hampir empat puluh lima menit sang DJ cantik memamerkan keahliannya di sesi satu, kini waktunya ia beristirahat. Kayla menuju bar dan langsung menghempaskan kantong kecil berisi ponsel dan beberapa lipstiknya itu di atas meja.

"Mau minum apa, Mbak?" tanya salah satu bartender.

"Ah, orange juice saja, Mas."

Untuk kali ini, Kayla sedang tak ingin minum-minuman beralkohol, terutama ini hari pertamanya bekerja dan belum mengenal siapa pun, siapa yang akan membantunya kalau ia melakukan hal yang konyol? Memalukan saja.

Astaga! Rendi!

Saking buru-burunya saat bersiap kerja tadi, ia tak sempat menengok ponselnya, hingga akhirnya lupa mengabari kekasihnya itu.

'Sayang, sorry. Aku hampir telat kerja karena ketiduran dan nggak sempat mengabarimu. Nanti aku telpon, ya! Di sini berisik sekali. Dua puluh menit lagi aku harus kembali perform di sesi kedua.'

"Huh, hampir saja perang dunia dimulai," ucapnya menghela nafas seraya menyandarkan bahu di kursi bar.

Akhir-akhir ini, Kayla memang sedikit lelah dengan sifat Rendi yang semakin lama semakin posesif. Ia dan pacarnya pernah bertengkar hebat karena sebuah jaket.

Jaket? Ya, jaket. Kala itu, saat masih bekerja di Jayapura, Kayla mengirimkan foto selfie-nya pada Rendi guna memberi kabar. Namun, tiba-tiba Rendi menghujam Kayla dengan beribu pertanyaan konyol yang ia bahkan tidak mengerti. Sebuah jaket berwarna hitam terselip di foto selfie-nya yang Rendi kira adalah milik seorang lelaki selingkuhan Kayla. Selama dua hari Kayla mengirimkan bukti-bukti kalau jaket itu adalah milik teman wanita satu mesnya agar Rendi percaya. Keras kepala, Rendi masih tetap tak mau mendengarkan ucapan gadisnya itu. Akhirnya, Kayla lelah dan mencoba diam seharian. Hingga di satu waktu, Rendi kembali menghubunginya dan berlagak seperti tidak ada masalah yang terjadi di belakang. Kayla yang tak mau masalah itu berlarut-larut, membiarkan itu terjadi tanpa ada penyelesaian dan menjalani hubungannya seperti biasa.

"Asal dari mana, Kak?"

Lamunan Kayla terpecah tatkala mendengar seseorang yang tak dikenal bertanya padanya.

"Ah, aku? Dari Bandung," jawab Kayla.

"Wah, sama dong. Band kami juga dari Bandung," ujar lelaki itu.

"Oh, sudah berapa lama di sini?" tanya Kayla seraya menyeruput minumannya.

"Sekitar empat bulananlah. Kakak kontrak berapa bulan di sini?"

"Please, jangan panggil Kakak. Panggil saja aku, Kay. Aku masih dua puluh tahun, hahaha. Rencananya sih dua bulan saja di sini."

"Hahaha, baiklah. Kebetulan aku lebih tua setahun darimu. Oh ya, namaku Jimmy."

Ternyata, Jimmy adalah lelaki yang dari tadi duduk diam sendiri di bar. Kayla sudah melihatnya sejak pertama kali turun ke hall. Beberapa kali terlihat ada wanita-wanita pemandu lagu yang biasa disebut LC mendekatinya dan melontarkan candaan sambil saling melempar tawa satu sama lain.

Lelaki berbalut celana jeans hitam dengan sepatu slip on putih dan kaos hitam polos itu cukup menarik perhatian Kayla karena sikapnya yang ramah namun tetap santai dan fokus dalam bekerja. Juga, ia tak seperti personil band lainnya yang sedang flooring. Flooring adalah aktivitas di mana para talent berpencar ke seluruh tamu yang datang untuk sekedar berkenalan , minum atau menikmati musik yang menggema bersama. Bonusnya, talent bisa mendapatkan uang tips dari para tamu yang biasa mereka sebut, sawer.

"Jadi, genre musik apa yang disukai tamu di sini, Jim?" tanya Kayla penasaran.

"Kalau band sih, semua genre. Tapi kalau house music DJ, hmmm .... Aku kurang tahu apa nama genre-nya, yang jelas, mirip alunan musik dangdut, hahaha."

"Breakbeat, itu genre-nya. Hahaha. Ngomong-ngomong, aku main dulu, ya! Ini sesi keduaku, Bye!"

Kayla melambaikan tangannya dan saling melempar senyuman dengan Jimmy.

Malam ini, malam yang cukup melelahkan sekaligus istimewa bagi Kayla. Bagaimana tidak, keringatnya yang bercucuran terganti dengan sawer yang sangat banyak. Lembaran uang berwarna merah yang berhamburan di atas meja DJ saat bekerja tadi, membuatnya bahagia. Itu berarti, musik yang ia bawakan disukai para tamu di club ini.

"Lumayan, bisa buat kirim ke ibu di rumah, sebagian lagi untuk jajan sehari-hariku di sini," ujarnya sembari menghapus make-up dan mengganti baju bersiap untuk tidur.

Uhuk …. Uhuk ….

Sakit yang sangat menyiksa Kayla rasakan saat ia meneguk segelas air mineral. Tenggorokannya terasa kering, kasar, dan nyeri saat menelan sesuatu yang membuatnya seperti sedang menelan biji buah kedongdong. Matanya pun terasa panas, dengan kepala yang sedikit pusing.

'Aarghh, penyakit yang lagi-lagi kumat datang di saat yang tidak tepat!' ujarnya dalam hati.

Berkali-kali ia mencoba untuk tidur, namun nyeri itu sangat mengganggu dan menggagalkan ia untuk beristirahat. Ia lantas menghubungi kekasihnya untuk meminta bantuan.

"Halo, Sayang. Kamu bisa ke sini nggak? Sepertinya, radang tenggorokanku kambuh. Aku minum banyak soda tadi," ucap Kayla dengan suara serak dan lirih.

"Di sini nggak ada kendaraan, Yang. Coba deh, kamu minum air rebusan gula. Di sana ada dapur kan?"

"Duh! Aku nggak tahu di sebelah mana dapur dalam mes ini! Lagi pula, obat faringitisku juga habis. Kalau bisa, kamu pinjam motor ke security atau siapa pun supaya bisa antar aku ke dokter," jawab gadis itu hampur menangis karena tak kuat menahan sakit.

"Ini jam lima subuh, Yang. Mana ada dokter yang buka praktek jam segini?! Begini saja, coba kamu lihat di luar masih ada orang yang bangun tidak? Kalau ada coba minta tolong dia."

Kayla lantas keluar dari kamarnya, ia tak melihat siapa pun kecuali Jimmy yang masih terjaga dan sedang duduk menatap ponselnya di ruangan makan.

"Cuma ada si Jimmy. Aku nggak enak mau minta tolong, soalnya kan baru kenal," bisik Kayla di telepon.

"Oh, Jimmy leader band Seven? Tak sengaja aku pernah bertemu band-nya saat makan di Swearing waktu itu. Setahuku dia yang paling 'lurus' di antara yang lain.

Berikan telpon ini padanya, biar aku yang bicara."

Kayla lantas menghampiri Jimmy dengan langkah pelanpelan dan sedikit ragu.

"J-Jim," tegur Kayla dengan menepuk bahu lelaki itu.

"Ah, Kay. Kok, belum tidur? Ada apa?"

"Eh, ini …. Pacarku mau bicara denganmu."

Kayla menyodorkan ponselnya pada Jimmy sesuai perintah kekasihnya.

"Oh, siap. Santai saja, Bro. Ini saya buatkan, ya."

Lelaki itu mengembalikan ponsel milik Kayla, entah apa yang dikatakan Rendi, sepertinya Jimmy menyanggupi permintaan dari pacar Kayla tersebut.

Tanpa basa basi, Jimmy lantas menuju dapur dan merebus air dengan sejumput gula putih. Ia lalu memberikannya pada Kayla.

"Ini, Kay. Lain kali, jangan sungkan untuk minta tolong. Cepat sembuh, ya!" ujar lelaki itu.

"Terima kasih, Jim. Maaf merepotkan, aku memang sering seperti ini. Kebetulan obatku habis."

Ia meneguk air buatan Jimmy dengan pelan, rasa hangat dan sedikit manis lumayan merilekskan tenggorokan gadis itu. Walaupun nyeri yang masih ada, ia mencoba untuk beristirahat kembali agar sakitnya tidak terlalu terasa.

Tok …. Tok …. Tok ….

Lima menit berlalu Kayla masih setengah sadar, ia mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.

'Siapa sih orang itu?! Pagi-pagi buta begini mengetuk pintu kamar orang, mengganggu saja!'

Ia lantas membuka pintu dengan raut wajah yang kesal.

Clek ….

"Sia …. Ah, Jim? Kenapa?" ucapannya terpotong tatkala melihat Jimmy di balik pintunya.

"Sorry ganggu. Ini untukmu …."

Lelaki itu memberikan sebuah bungkusan plastik yang berisi dua potong bolu pisang dan satu buah obat sirup khusus faringitis.

"Jim! Kamu nggak perlu repot-repot begini! Astaga …," pungkas Kayla terkejut melihat isi dari bungkusan plastik tersebut.

"Santai saja, Kay. Aku tahu rasanya sakit saat sedang merantau dan tak tahu mau minta tolong siapa. Jadi sengaja aku mampir ke apotik yang kebetulan sudah buka dan mencari obat khusus radang tenggorokan. Tapi, maaf ya kalau obatnya salah," balasnya.

"Ya Allah, Jim. Obatnya bener, kok. Ini obat yang biasa aku bawa. Eh, ini jadi berapa? Aku ganti."

"Ehhh, sudah nggak usah. Jangan lupa makan dulu kue itu lalu minum obatnya, ya?!"

"Jim, thanks! Tapi please, jangan terlalu baik padaku. Kita baru saja kenal."

Kayla melontarkan kalimat itu dengan getir sekaligus tajam.

Jimmy tertegun menatap gadis baru yang menurutnya tidak biasa itu. Entah kenapa, ada sesuatu yang janggal dengan Kayla.

"Bagaimana bisa gadis yang memiliki kekasih, terlihat sangat menderita seperti ini?" desis Jimmy tanpa ia sadari.