webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · Geschichte
Zu wenig Bewertungen
240 Chs

15. Gerimis Di Pagi Kelabu

Pagi itu, langit tampak gelap, rintik gerimis turun dengan curah ringan. Suasana tampak layu, selayu wajah murung seluruh murid yang berkumpul di pekarangan belakang komplek padepokan. Seluruhnya menampakkan ekspresi yang kalut, tak jarang beberapa diantaranya menangis sesenggukan. Terutama bagi para murid perempuan.

Sebentar lagi, upacara pemakaman para murid perguruan yang menjadi korban teror dimulai. Mahaguru Sutaredja bersiap memasuki mimbarnya untuk berpidato.

"Anak-anakku sekalian, sebagai seorang guru, saya adalah manusia yang paling bertanggung jawab atas diri kalian di sini. Saya juga lah yang sebenarnya bertanggung jawab atas pengamalan ilmu yang telah saya ajarkan kepada kalian. Bahkan cita-cita kalian juga termasuk dalam tanggung jawab saya. Tetapi, sekeras apapun tekad dan usaha kita dalam memperjuangkan sesuatu, hasil akhir tetap lah di tangan Sang Hyang Widi. Dia lah Tuhan semesta alam yang menjadi pemegang keputusan. Kita hanya bisa berusaha dan berjuang sekeras mungkin, namun garis takdir tak bisa kita menangkan sendirian, kita secara mutlak harus tunduk dalam ketentuan-Nya. Inilah bukti bahwa manusia tidak ada apa-apanya dihadapan Tuhan. Meski begitu, menyikapi tragedi yang sudah terjadi ini, bukan berarti saya melepas tanggung jawab atas saudara seperguran kalian yang menjadi korban. Setelah ini, saya akan tetap mewujudkan tanggung jawab saya sebagai orang tua kalian. Para pelaku teror sudah berhasil saya lumpuhkan semalam. Pada kenyataannya, saya bisa saja langsung membunuh mereka, tetapi nyawa empat orang bajingan seperti mereka tidak akan pernah mampu untuk menggantikan dua puluh empat nyawa para Taruna kebanggaan kita semua yang tak ternilai. Saya akan mengubah tanggung jawab itu sebagai bentuk lain, yaitu perjuangan untuk menegakkan keadilan. Para peneror itu akan kita bawa ke Pengadilan Kutaraja untuk mendapat penghukuman yang layak. Biar ini dapat menjadi pelajaran untuk seluruh penduduk Kerajaan Galuh, bahkan seluruh penduduk di tanah jawa ini. Bagaimanapun tidak boleh nyawa anak-anakku menjadi sia-sia. Tragedi ini harus menjadi pengingat kedepan bagi siapapun. Bahwa pernah ada bagian terburuk manusia dengan butanya menghilangkan nyawa manusia tidak bersalah menggunakan cara-cara pengecut. Biarlah para Taruna ini beristirahat dengan tenang dalam pembaringannya. Di sebelah kanan saya telah hadir para orang tua kandung dari korban. Mereka hadir untuk mensucikan jazad anak-anaknya. Bagaimanapun, merekalah yang memberikan kehidupan, mereka pula yang lebih berhak melepas sukma dari raganya. Di sebelah kiri saya telah hadir beberapa utusan terhormat dari pihak kerajaan, termasuk seorang dukun adat yang akan memimpin prosesi upacara pemakaman ini. Kita harus jadikan upacara pemakaman ini juga sebagai pengingat untuk diri kita bahwa kematian bisa datang kapan pun tanpa bisa kita duga. Berbudi baik adalah satu-satunya cara agar kita kelak diberi tempat yang layak di kehidupan selanjutnya."

Mahaguru Sutaredja pun turun dari mimbarnya.

Gong dipukul pertanda upacara dimulai, Kidung Syair Kelabu dinyanyikan beriringan dengan alunan gamelan. Beberapa murid perempuan mempersembahkan tarian duka sebagai penghormatan terakhir. Upacara tersebut diawali dengan ritual Uculan di sekitaran tanah pekarangan yang akan dijadikan tempat pemakaman. Dipimpin oleh seorang dukun adat bernama Rama Agung Parantara. Uculan adalah prosesi dimana seorang dukun adat berjalan memutari tanah area pemakaman untuk mensucikan tempat tersebut sebelum proses penguburan.

Ada beberapa sesaji yang digunakan dalam acara ini, antara lain nasi tumpeng buceng, tumpeng golong, tumpeng pengentas, tumpeng brok, polo pendem (ubi ubian dan kacang kacangan), polo gemantung (buah-buahan), dan sesaji pisang serta kelapa. Semua sesaji itu turut dibawa memutari tanah tersebut oleh beberapa murid perempuan dengan berselendang putih yang melambangkan kesucian. Acara dilanjutkan dengan memandikan para jenazah yang dilakukan oleh para orang tua korban.

Ditengah prosesi acara yang sedang berlangsung, beberapa murid yang tidak terlibat langsung untuk melakukan penguburan, kini berbaris membentuk lingkaran raksaksa mengelilingi area pemakaman. Termasuk beberapa murid tertua yang turut menjadi bagian dari formasi lingkarang tersebut. Lingga tampak serius mengikuti upacara tersebut, sesekali pandangannya menyisir kerumunan untuk mencari-cari keberadaan seseorang. Saksana yang berada di sampingnya heran ketika melihat Lingga seperti orang kebingungan.

"Apa yang kamu cari, Kakang?" tanya Saksana pelan kepada Lingga yang turut berbaris disebelahnya.

"Aku mencari Kakang Jayendra, sedari pagi aku tidak melihatnya," jawab Lingga.

"Mungkin masih tertidur. Sebab, semalam setelah mengobati luka di telingaku, dia mengeluhkan dirinya yang sudah tiga hari tidak tertidur, sehingga kemudian aku membantu memijit pundaknya supaya dia bisa tidur, dan kemudian berhasil," terang Saksana.

Acara kemudian berlanjut ke prosesi pembacaan doa oleh Dukun Adat. Kali ini kalimat doa tersebut di ikuti oleh seluruh orang yang mengikuti upacara tersebut, sehingga suara lantang yang diucapkan terdengar sangat keras hingga membangunkan Jayendra yang sedari tadi sedang menikmati tidurnya di bilik pondok. Dia pun perlahan bangkit kemudian keluar dari bilik tersebut menuju ke pancuran kecil yang terletak di belakang biliknya untuk mencuci wajahnya. Setelah itu, sambil memegangi perutnya yang terasa lapar, dia berjalan menuju ke Ruang Balai Penghidangan untuk sarapan, namun sesampainya di ruangan tersebut, tak ditemukan makanan apapun.

"Lho, kakang Jayendra tidak mengikuti upacara?" tanya seseorang yang kebetulan lewat dan melihat Jayendra kebingungan.

"Eh kamu, Ruwah, aku kira siapa. Tidak ada yang membangunkanku, jadi aku kesiangan. Kamu sendiri kenapa tidak ikut?" tanya Jayendra balik.

"Tidak, Kang. Aku harus mengurusi beberapa murid korban teror yang terluka dan masih membutuhkan perawatan serius," jawab Ruwah.

"Ternyata Mahaguru tidak salah memilih kamu sebagai murid yang mengepalai urusan pengobatan di perguruan ini. Kamu pantang menyerah dan sangat bertanggung jawab," puji Jayendra kepada adik seperguruannya itu.

"Tidak perlu memuji berlebihan, Kang. Aku juga baru belajar." Ruwah kemudian melirik ke arah tangan kanan Jayendra yang sedari tadi memegangi perutnya. "Kang? Belum sarapan?"

"Belum, tidak biasanya di waktu seperti ini tidak ada makanan sedikitpun di Balai Penghidangan. Apa ada peraturan yang berubah semenjak aku meninggalkan tempat ini, Ruwah? sebab biasanya sampai siang pun ruangan ini tetap menyisakan makanan sampai tengah hari."

"Hari ini kan ada upacara pemakaman, Kang, semua murid bangun di pagi buta untuk bersiap. Apalagi kita juga kedatangan tamu dari utusan kerajaan dan juga keluarga korban. Jadi, tempat ini tidak cukup untuk menampung mereka, untuk sementara tempat hidangan dilakukan di luar ruangan dengan mendirikan tenda khusus. Makanan selanjutnya dihidangkan siang nanti. Tapi kalau kakang sudah lapar, ayo kang kita ke dapur."

Ruwah mengajak Jayendra ke dapur. Di sana beberapa murid perempuan sedang sibuk memasak dan membuat hidangan.

Di dapur, Jayendra di sambut hangat oleh seorang murid perempuan tertua yang mengepalai urusan konsumsi seluruh murid perguruan.

"Kakang Jayendra, apa kabar, Kang?" sapa wanita itu dengan tersenyum.

"Kabarku sangat baik, Kalyani. Hanya saja sedang menyesali sesuatu."

"Menyesali apa, Kang?" tanya Kalyani.

"Karena bangun kesiangan sehingga tidak bisa mengikuti upacara pemakaman."

"Mungkin Kakang kelelahan karena pengembaraan yang Kakang lakukan, sehingga bisa tertidur sangat pulas."

"Mungkin begitu, dan sekarang aku sangat lapar," ujar Jayendra.

"Oh, Kakang Jayendra belum sarapan, ya sudah, kang. Duduklah di situ, aku akan menyiapkan makanannya. Ini ada pepes jamur, botok teri, sama sambal hijau. Dan tidak ketinggalan ada bebek panggang kesukaan Kakang." Dengan sangat ramah Kalyani melayani Jayendra bak seorang tamu jauh. Kalyani sangat menghormatinya karena Jayendra merupakan murid paling tua di perguruan ini.

"Baiklah kalau begitu, Kang Jayendra dan Mbak Yu Kalyani, aku mohon pamit mau kembali ke balai pengobatan," ucap Ruwah kepada mereka berdua.

"Kamu tidak ikut sarapan bersama Kang Jayendra, Ruwah?" tanya Kalyani.

"Tidak, Yu. Aku sudah sarapan. Permisi ya, Yu, Kang."

Mereka berdua mengiyakan tanda memberi izin, Ruwah pun meninggalkan mereka berdua.

Sebenarnya mereka tidak benar-benar berdua di ruangan itu. Di dapur tersebut terdapat banyak murid perempuan yang sedang sibuk menyiapkan hidangan. Hanya saja karena ruangan dapur yang cukup luas, membuat posisi kesibukan mereka masing-masing saling berjauhan.

"Darimana kamu tahu makanan kesukaanku?" tanya Jayendra.

"Kakek Guru sering mengatakan itu berulang-ulang. Sebelum mengepalai urusan dapur, aku dituntut untuk menghapal semua makanan pantangan serta makanan kesukaan murid di sini, terutama Kakang." Kalyani terus saja memberi senyuman ramah kepada Jayendra meski dirinya sedang sibuk menyiapkan hidangan.

"Nah, ini makanannya. Silakan dinikmati ya, Kang," kata Kalyani sambil menghidangkan makanan Jayendra di mejanya.

"Kamu sendiri tidak ikut makan? Ayo makan sama-sama, ini banyak sekali lho," ujar Jayendra.

"Tidak, Kang. Di sini kan yang belum sarapan cuma Kakang. Makanan itu aku sajikan istimewa untuk Kakang. Jadi harus habis. Kalau tidak habis, aku tidak mau menyajikan makanan lagi untuk Kakang Jayendra," ancam Kalyani.

"Jangan mengancamku begitu, Kalyani. Baiklah aku akan habiskan."

Kalyani tersenyum bahagia karena Jayendra memakan masakannya dengan lahap. Kalyani kemudian mengambil sebuah bejana berisi air hangat, digunakannya untuk membersihkan sayuran dan memotongnya kecil - kecil. kemudian dia mulai duduk di samping Jayendra yang sedang makan.

"Boleh aku tanya sesuatu, Kang?" tanya Kalyani.

"Itu sudah bertanya, 'Boleh aku tanya sesuatu, kang?' itu juga merupakan kalimat tanya," ledek Jayendra.

"Kang, jangan meledek wanita yang sedang memegang pisau dapur," ujar kalyani bergurau.

"Haha, hanya bergurau. Mau tanya apa?"

"Bukankah setelah lulus dari Perguruan ini, harusnya seorang laki-laki mengabdikan dirinya kepada Kerajaan Galuh? Menjadi seorang perwira tentara misalnya," ujar Kalyani membuka topik baru.

"Seharusnya memang begitu, tapi aku tidak mau," timpal Jayendra.

"Banyak yang menginginkan itu, Kang. Memiliki pangkat, kehormatan dan penghasilan yang besar bukankah cukup menggiurkan?" tanya Kalyani dengan tatapan matanya yang semakin dalam.

"Aku kurang cocok menjadi Prajurit Kedaton, terlalu banyak peraturan. Hanya boleh begini, tidak boleh begitu. Aku menjadi tidak bisa menggunakan semua daya yang ku miliki. Aku merasa terkekang oleh perbudakan berkedok pengabdian. Sekarang aku lebih memilih melanglang buana, memihak pada kebenaran, membela orang-orang desa lemah dari penindasan para tuan tanah yang lalim. Dengan begitu aku mampu menjadi diri sendiri secara penuh," tegas Jayendra.

"Kebenaran memiliki banyak versi, Kangmas. Kezaliman pasti akan terjadi di setiap sudut bumi, kadang kita tak harus mencampuri yang bukan bagian kita. Karena kita hanya manusia biasa yang tak cukup mampu meraih segala bentuk kebenaran secara penuh." ujar Kalyani menyuarakan pendapatnya.

"Mungkin pendapatmu ada benarnya. Tetapi, sampai sekarang belum ada yang mampu mengubah pandanganku sendiri soal itu."

Jayendra masih sedang menikmati makanannya meski masih sempat menanggapi obrolan Kalyani. Namun, tiba-tiba seorang adik perguruan Kalyani datang memasuki ruang dapur mendekati mereka berdua.

"Nah, kebetulan Kakang Jayendra sedang berada di sini," ujar seseorang yang baru memasuki ruangan itu.

"Naya, jadilah perempuan yang tahu sopan santun. tidak sopan datang-datang langsung menyambar omongan, sebaiknya beri salam atau ucapan terlebih dahulu, kamu kan sudah lama baru bertemu Kakang Jayendra lagi," tegur Kalyani kepada adik seperguruannya itu.

"Hehe, maafkan aku Mbak Yu, aku harus sampaikan pesan guru sesegera mungkin, sebelum aku nanti lupa. Tadi pagi sebelum upacara pemakaman berlangsung, Kakek Guru berpesan padaku untuk meminta Kakang Jayendra mengantarkan makanan kepada para peneror yang semalam disekap oleh Kakek Guru di goa," ujar Naya.

"Tidak mau, Goa Cepot letaknya sangat jauh. Untuk apa repot-repot memberi makan para bajingan itu," tegas Jayendra.

"Itu sih terserah Kakang, tugasku hanya menyampaikan perintah Kakek Guru," terang Naya.

"Biarkan saja mereka mati kelaparan, mereka telah membunuh saudara-saudara kita tanpa ampun. Bukankah konyol kalau kita malah melayani mereka, menghidangkan makanan. Enak saja," protes Jayendra.

"Apa Kakang berani bicara seperti ini kepada Kakek Guru?" tanya Naya.

"Naya, jaga kesopananmu kepada kakak tertuamu," Tegur Kalyani kembali. "Kakang Jayendra akan mengantarkan makanannya ke Goa Cepot. Tapi setelah dia menghabiskan sarapannya sendiri," lanjut Kalyani.

"Kalyani, kenapa kamu yang menentukan keputusan?" tanya Jayendra.

"Bagaimanapun kita tidak boleh membiarkan para peneror itu mati sebelum diadili, itu pesan Kakek Guru. Semua juga merasakan kehilangan atas gugurnya saudara-saudara kita, termasuk Kakek Guru pun pasti yang paling merasakannya. tetapi yakinlah bahwa Beliau lebih mengetahui keputusan bijaksana daripada kita semua. Saya tahu Kakang tidak akan berani melawan perintah Kakek Guru." Kalyani mengingatkan.

"Baiklah, tapi apa harus menunggu aku menghabiskan sarapanku?" tanya Jayendra meledek.

"Kakang sudah berjanji untuk menghabiskan sarapanmu, kalau tidak ingin mendapat konsekwensi dariku, Kang," ujar Kalyani sambil tangannya memotong sayuran menggunakan pisau dapurnya dengan keras.

"Baiklah, Naya, duduk lah, bantu aku habiskan makanan ini," pinta Jayendra.

"Tidak mau, rasakan saja sendiri. Aku pergi dulu ya." bergegas Naya meninggalkan mereka berdua dengan wajahnya yang tersenyum meledek. Sepertinya Naya mulai merasakan kedekatan hubungan antara Kalyani dan Jayendra.