webnovel

My Ètoile : Secret Love

Sebuah rahasia yang selama ini ku simpan. Tentang bagaimana aku mencintai seseorang diam-diam. Aku sadar betul tentang kami yang tidak bisa bersama. Bukan karena adanya perbedaan, tetapi mengenai suatu persamaan. Aku dan dia diciptakan dengan jenis kelamin yang sama.

JieRamaDhan · LGBT+
Zu wenig Bewertungen
164 Chs

"Jangan Dilepas..."

"Jangan dilepas..."

Suaranya terdengar sangat jernih dan dalam. Manik mata kecoklatannya berubah lebih serius, lebih tajam dengan alis tebal menukik, menambah ketegasan di wajahnya. Dia masih memandang ke arah depan. Jalanan lengang tanpa ada satupun kendaraan lewat di depan maupun belakang. Langit biru menghias di atas sana, beberapa awan putih bersih bergelayutan, membentuk beberapa pola yang bisa kau definisikan sesuai hati. Berbentuk seperti ombak-ombak tipis, lalu beberapa saat kemudian melebur menjadi asap yang semakin lama kian menghilang.

'Jangan dilepas..'

Pantai yang indah, juga panas. Musim panas tetap sama, tak memiliki perubahan signifikan, dan aku selalu menghabiskan waktu bersama Lucas. Bertahun-tahun yang lalu, angin laut berbau asin menerbangkan helaian rambutku. Beberapa kali aku juga memejamkan mata ketika angin bertiup terlalu kencang, tentu saja kau pun tak mau kalau merasakan butiran pasir menempel di bola mata.

Lucas datang dari belakang, kulitnya yang coklat sangat cocok dengan pantai, legam dan eksotis. Berbeda denganku. Memiliki kulit putih memang terkesan bagus, tapi kau akan sangat mudah terbakar dan warna kulit akan berubah menjadi merah padam. Seperti yang bisa kau temui pada udang rebus. Belum lagi kaos tanpa lengan ini akan semakin membentuk perbedaan kontras antara bagian tubuh yang tertutup dengan terbuka. Warna kulit putih berada di bawah lapisan kain, sementara yang tak tertutup apapun menjadi berwarna merah padam.

Dan, untuk pertama kalinya aku merasa iri dengan warna kulit Lucas.

'Jangan dilepas...'

Aku ingat bagaimana dia berjalan, jejak-jejak kaki tercetak di sepanjang jalan yang dia lewati. Sebagian kaki Lucas juga ternodai oleh butiran pasir, terutama punggung kaki hingga mata kaki. Lalu, dia menyodorkan kacamata hitam ke arahku. Tanpa ucapan, hanya alisnya terangkat secara bersamaan. 'Pakailah.' Aku mengerti, tetapi tidak mau menerima kacamata itu.

Laki-laki macam apa yang mengenakan kacamata berframe merah muda dengan aksen buah strawberry di sudut atasnya. Konyol

Aku menggeleng dan berlalu, tetapi Lucas —entah bagaimana— memakaikan kacamata konyol itu di wajahku.

"Aku tidak butuh—"

Lucas menahan tanganku yang hendak melepaskan kacamata itu. "Jangan dilepas.." Dari balik kaca hitam, aku bisa melihat manik coklat yang semakin terang berkat pantulan matahari di atas sana. "Ini menghalangi pasir agar tak masuk ke dalam matamu."

Dia memperhatikanku. Entah sejak kapan, tetapi dia sudah melihat bagaimana aku menyipitkan mata, mengangkat tangan untuk menghalau partikel-partikel kecil yang dapat membuat mata memerah.

Kaki-kaki kecil kami melangkah beriringan, dengan Lucas tak melepaskan genggaman pada pergelangan tanganku. Menutun ke tepian pantai, lebih dekat ke daratan. Dan kami menghabiskan masing-masing satu cup es krim di bawah pohon kelapa yang tak terlalu tinggi.

"Jangan dilepas.." Lucas masih menyetir, namun satu tangan lainnya begitu gesit memasangkan sabuk pengaman milikku pada pengait di bawah kursi. "Maafkan aku, okay?"

Tak ada balasan, aku menyilangkan tangan di depan dada, bersandar pada kursi di belakang, menikmati pepohonan yang berlalu ke belakang. Lucas selalu bisa menenangkan emosiku, hanya dengan tatapan mata. Setiap kali aku marah —entah karena dia atau hal lain— yang selalu ku hindari adalah sepasang mata coklatnya itu. Karena, dalam sekejap mata kami bertemu, seolah tersihir, emosiku kian meredup. Bagai bara api yang tersiram oleh air dingin.

Lucas terdengar menghela nafas. "Kau mau pergi kemana? Kenapa tak menghubungi ku dulu?"

"Kau sendiri? Kenapa tiba-tiba bisa muncul, memangnya Kau si Jin dari film Aladin?"

Dia terkekeh kemudian, tetapi hanya beberapa saat. Berdehem sekali sebelum menjawab. "Aku habis membeli bahan makanan, eum.. Apa kau bertengkar dengan Ayahmu?"

Sontak aku menoleh dengan tatapan menusu, seolah berkata 'Darimana kau tahu?'

"Well.. Tadi kami bertemu saat dia membeli makanan juga. Udang asam manis katanya- Ah, benar!" Dia berseru. "Kau suka itu kan? Tapi kenapa kau bertengkar? Apa udangnya tidak matang? Atau malah basi?"

"Oh, bagus.." Aku memutar bola mata. "Bagus sekali. Sekarang kalian sudah persis seperti dua wanita yang selalu bergosip ketika bertemu."

"Hey, bukan itu masalahnya." Lucas berusaha membela diri. Dia sesekali menoleh ke arahku untuk memperlihatkan ekspresi 'tidak bersalah' andalannya. "Kau mau kemana tadi? Kenapa tak menghubungiku?'

"Kenapa pula aku harus menghubungimu?"

Aku tak mungkin mengatakan segala alasan yang tadi ku lontarkan juga pada Dad. Pergi ke rumah Lucas, lalu menginap sampai entah kapan adalah alasan paling baik. Tetapi alasan hanyalah alasan, karena sejujurnya aku tak akan pergi ke rumah Lucas. Duduk di halte, menunggu sampai Dad pergi lagi adalah rencanaku beberapa saat lalu. Aku tak ingin terlihat payah dengan sungguhan kabur ke rumah Lucas, dia pasti akan bersikap berlebihan ketika aku mengatakan apa saja yang terjadi di dalam rumah. Antara aku dengan Dad.

Dia memang temanku, tetapi masalah keluarga mempunyai batasan sendiri untuk ditujukan.

"Kenapa? Tentu saja agar aku bisa mengantarmu. Kita semua tahu kalau saat ini Bus tak mungkin lewat. Mau menunggu sampai kapan? Pagi?"

"Mungkin," sahutku sembari mengangkat bahu acuh.

"Jangan konyol."

"Kau yang konyol."

Perdebatan selesai begitu saja. Mungkin karena Lucas tahu kalau dia tak akan pernah menang dalam hal berdebat denganku. Bagaimanapun yang dia katakan, aku secara cepat dapat menyangkalnya. Memutar balik, atau sekedar berbelit-belit, apapun agar pemuda beralis tebal ini lelah beradu argumen denganku.

Langit tak menunjukkan tanda-tanda turun hujan, bahkan awan yang tadinya menggantung di atas kini malah hilang tak berbekas. Kapas putih itu lenyap, entah terbawa angin atau menguap kembali menjadi partikel paling kecil daripada awan itu sendiri. Terik matahari membuat jalanan aspal terlihat mengkilap seperti tersiram air. Beruntung Ac Honda Civic ini berfungsi dengan baik, kalau tidak, pasti keadaan di dalam sini lebih mengerikan daripada di luar sana.

"Kita menepi di depan sana," kata Lucas tiba-tiba yang sontak membuatku memelototinya. Dia pasti sudah gila. Untuk apa keluar dalam cuaca panas seperti ini sementara kau bisa menghabiskan waktu nyaman di dalam ruangan ber-AC.

"Kau bercanda kan?"

"Bensinnya hampir habis.." Dia menoleh ke arahku, meringis, tetapi ekspresi penyesalan miliknya tak berhasil meluluhkanku. Setidaknya untuk saat ini.

"Bagus! Benar-benar bagus!"

"Oh ayolah jangan marah." Lucas menyenggol lenganku pelan. "Di sana ada minimarket, akan ku belikan eskrim."

"Rasa cokelat."

"Baik, rasa cokelat."

Papan bersimbol pengisian bahan bakar sudah terlihat, beberapa ratus meter lagi dan kami sudah melihat pom bensin milik pemerintah daerah yang cukup terawat. Mungkin karena ini adalah jalur perlintasan yang sering dilewati banyak kendaraan untuk berpergian dalam jarak lumayan jauh, kebanyakan yang melintas adalah truk-truk pengangkut barang besar, berton-ton kayu, apapun selain kendaraan umum pengangkut masa.