Aku merasa bersalah setiap kali memikirkan Namira saat bersama Yoona, istriku. Sudah jelas jika Namira hanyalah masa lalu, dan Yoona adalah masa kini. Namun, tak dapat kupungkiri jika aku masih menaruh perasaan pada Namira.
Setelah pertemuan kami beberapa hari lalu, Namira kembali menghilang seperti tiga tahun yang lalu. Aku tidak tahu ke mana dia membawa bayinya pergi. Aku juga bingung hendak menanyakan keberadaan Namira pada siapa.
Sebenarnya, aku ingin sekali mencari ke mana pun Namira hingga kutemukan. Tapi, aku juga memikirkan perasaan Yoona. Yoona juga baru saja melahirkan bayi keduaku beberapa bulan yang lalu.
Anak keduaku sepantaran dengan anak Namira. Mungkin suatu saat nanti mereka akan berteman jika kami bertemu kembali. Namun, sungguh! Aku masih begitu membenci bayi Namira dari lelaki tua berkebangsaan Jepang, Daisuke.
Daisuke telah merenggut kesucian Namiraku. Lelaki tua itu dengan lancangnya menggagahi perempuan polos yang hanya ingin mengadu nasib menjadi TKW. Meski aku masih sangat mencintai Namira, tapi aku membenci bayinya. Bayi itu memiliki darah Daisuke., dan aku tidak suka itu.
"Babe!" Kakak memanggilku saat ayunannya mulai berhenti. Aku paham dan mulai menarik ayunan itu ke belakang. Setelahnya, anak pertamaku itu berteriak kegirangan. Aku tersenyum melihatnya.
Ah iya, kami selalu menyebut anak pertamaku itu dengan sebutan 'kakak'. Tunggu! Adakah yang mengira jika bocah mungil cantik ini bukan anak kandungku? Dugaan kalian salah besar! Jia adalah putri pertamaku, dan Jeje adalah putra keduaku. Mereka memang anak-anak kandungku dari Yoona.
Awalnya, memang aku menikahi Yoona untuk menutupi kehamilan Yoon dengan pacarnya. Namun, bayi itu luruh setelah beberapa minggu. Mungkin Tuhan bersikap adil. Aku tidak akan dapat membayangkan jika aku harus merawat anak dari orang lain. Meski terdengar kejam, aku memang bersyukur saat Yoona kehilangan bayi pertamanya. Baiklah, aku memang sejahat itu.
Aku bahkan membenci anak dari cinta pertamaku, bagaimana bisa aku tidak membenci anak lain dari istriku, heh? Ah, aku sungguh berdosa! Aku mengutuk bayi yang bahkan tidak diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Namun, memang inilah diriku. Lelaki yang tidak pernah dapat menggapai cintanya.
"Babe!"
Lagi-lagi putriku memanggilku dengan suara imutnya. Di usianya yang baru menginjak 2 tahun, ia sudah memiliki bayi. Ya, mumpung aku masih perkasa, Bro! Tidak apa-apa, Yoona tidak keberatan akan hal ini. Meskipun ia akan kewalahan tentunya.
Putriku sudah tidak meminum ASI sejak Yoona mengandung satu bulan. Sebenarnya, aku kasihan pada putri pertamaku itu. Aku tahu, seharusnya bayi itu baru disapih ketika usianya sudah 2 tahun. Jia, putriku yang imut ini sudah tidak netek pada mamanya pada usia satu tahun.
Aku tidak menyia-nyiakan itu, bukan? Tentu saja aku yang mengambil alih. Ini bukan jorok, tapi manusiawi!
Aku mendekat ke arah putriku yang masih duduk di ayunan. Aku berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan gadis mungil ini.
"Ada apa, Kakak? Kakak sudah lelah mainnya?" Aku bertanya dengan lembut padanya. Kuusap lembut rambut hitam tebalnya. Wajah putriku benar-benar cantik. Perpaduan gen antara warga Indonesia dan Korea Selatan ini dapat menghasilkan makhluk semenggemaskan ini. Aku bersyukur pada Tuhan.
"Babe ... es kim!" ucap Jia.
"Apa, Nak? Kakak ingin bertemu Kakek Kim?" Aku menyahut. Ah, jadi ingat mertuaku, Kim Jaerim.
Yoona memutuskan untuk tidak terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan pasar gelap. Yoona tidak ingin meneruskan organisasi ayahnya. Istriku itu memilih hidup mandiri bersamaku. Ia lebih suka hidup sederhana denganku, katanya. Meskipun kini aku hanya menjadi penjual onde-onde keliling, tapi Yoona mendukung apa pun pekerjaanku.
"Ea Kim, Babe!" Putriku mengulangi lagi ucapannya. Jangan lupakan bibirnya yang saat ini mengerucut kesal. Aku jadi gemas sampai ingin menggigit pipi putri kecilku ini.
"Kakek Kim itu tidak jualan es, Nak. Dia jualan yang lainnya," ucapku. Aku hampir saja keceplosan mengatakan jika Kakek Kim-nya penyelunduk senjata, emas dan obat-obatan. Walaupun keceplosan pun, aku yakin Jia tidak akan mengerti semua hal itu.
"Qaqa ... mau ... es kim!" Lagi-lagi putriku ini membahas nama kakeknya. Mungkin dia sangat merindukan kakeknyanya. Terakhir kali kami bertemu saat Yoona melahirkan Jeje.
"Baiklah, nanti kalau Dede udah besar, kita sama-sama mengunjungi Kakek Kim, ya?" bujukku padanya.
Putriku itu bangkit dari ayunan. ia menghentakkan kaki berkali-kali di tanah taman, membuat debu di bawah sepatu warna merahnya berterbangan.
"Es kim, Babe!" Jia berteriak lagi. Kali ini dia sambil menarik ujung jaketku untuk mengikutinya. Jia menunjuk ke arah penjual es krim yang berada jauh di pinggir jalan sana. Oh, aku mengerti sekarang.
"Kakak Jia mau es krim itu?" tanyaku lagi.
Dia mengangguk cepat, membuat rambut tebalnya berterbangan mengikuti gerakan kepala. Aku menggendong putriku itu dan menuju ke penjual es krim.
Jia memilih sendiri es krim kesukaannya. Meski Yoona sudah memperingatkan untuk tidak boleh membelikan Jia es, tapi aku tidak tega saat melihat wajah Jia seolah begitu menginginkan makan es krim. Yoona pasti tidak akan tahu, bukan?
"Es terooossss!!" Tiba-tiba aku mendenga suara menyeramkan seperti panggilan kematian.
Bersambung ....