webnovel

Menikahi Barista Ganteng

Cielo William adalah seorang gadis yang cantik dan bergelimang harta. Hidupnya tampak begitu sempurna karena di usianya yang matang, ia sukses menjalankan bisnis Hotel Poseidon milik ayahnya dan ia pun memiliki seorang kekasih yang tampan, serta kaya raya. Justin Sugiatno, kekasih Cielo yang sempurna dan ia sangat tergila-gila pada pria itu hingga orang tua mereka pun setuju untuk menjodohkan mereka. Awalnya kisah cinta mereka berjalan baik hingga akhirnya Cielo bertemu dengan seorang pria yang menyebalkan. Graciello Andreas, seorang karyawan di Hotel Poseidon, telah membuat perasaan Cielo jungkir balik. Setiap kali mereka bertemu, selalu saja terjadi masalah dan Cielo sangat kesal pada pria itu. Cielo dan Justin akan segera bertunangan, tapi sesuatu terjadi. Justin mabuk, dan pria itu nyaris menodai Cielo. Graciello pun datang untuk menolongnya. Semenjak kejadian itu, Cielo pun tidak ingin melanjutkan hubungannya dengan Justin, tapi ia terlalu takut untuk mengakuinya pada orang tuanya. Terpaksa, Cielo melakukan kawin kontrak dengan Graciello supaya orang tua Cielo percaya dan menjauhkan Justin dari hidupnya. Demi setumpuk uang untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang barista, Graciello pun setuju melakukan kawin kontrak tersebut. Apa yang akan terjadi jika kucing dan anjing disatukan dalam satu ranjang yang sama? Ikuti kisah perjalanan cinta Cielo. Hanya di Webnovel. PS: Buku ini adalah sekuel dari buku Terima Aku Apa Adanya.

Santi_Sunz · Urban
Zu wenig Bewertungen
402 Chs

6. Graciello

Di luar hujan rintik-rintik seolah menjelaskan perasaan pria yang tengah duduk di ruangan ganti sambil menatap secarik kertas yang telah mengakhiri masa kerjanya di tempat ini.

Graciello atau yang biasa akrab dipanggil Ello tak menyangka jika sang bos memecatnya karena ia telah tak sengaja menumpahkan kopi pada seorang pelanggan café. Sungguh, ia tidak bermaksud untuk menumpahkan kopi itu.

Tangannya tiba-tiba gugup ketika ia melihat wanita cantik yang menatapnya itu. Ya, wanita itu adalah wanita yang ia tumpahkan kopinya.

Betapa bodohnya ia karena tidak bisa mengatur tangannya dengan baik padahal ia telah membuat kopi itu seenak mungkin. Bagaimana bisa ia salah mengirim kopi tersebut? Seharusnya meja lima belas, bukan meja lima.

Belum lagi, temannya sebelumnya telah mengatai Ello tampan. Ia jadi semakin canggung dan sulit untuk berpikir jernih. Ia agak takut jika digoda oleh pengunjung karena yang disalahkan adalah dirinya.

Sang manager café begitu ketat memeriksa CCTV kalau sampai ada pelayan yang menggoda pelanggan maka citra cafe itu akan buruk. Kebetulan sekali Ello malah berurusan dengan secangkir kopi dan tamatlah riwayatnya.

Masalahnya, kopi itu telah menodai roknya yang putih dan ya, semua itu benar-benar kecelakaan yang parah. Ello malu sekali. Ia gugup dan takut jika wanita itu akan marah-marah padanya, memaki-makinya, tapi ternyata tidak. Hanya temannya saja yang memarahi Ello, tapi masih dalam batas wajar.

Dan di sinilah sekarang, Ello duduk di ruang ganti dan ini adalah benar-benar hari terakhirnya bekerja. Ia baru saja bekerja selama tiga bulan di sini. Baru saja ia melewati masa percobaan dan akhirnya, ia gagal.

Ello bahkan belum sempat membuat pertemanan dengan siapa pun. Tidak ada yang sedih waktu orang-orang tahu ia dipecat dari tempat itu.

Ello harus menguatkan diri, berjalan keluar dari tempat ini dengan tegar. Ia pulang ke kosannya dengan motor bebek kesayangannya sambil hujan-hujanan.

Selama ini, Ello bekerja serabutan untuk menabung. Ia ingin mewujudkan cita-citanya untuk sekolah barista dan membangun sebuah kedai kopi karena ia sangat mencintai dunia kopi. Sayangnya, sekolah untuk menjadi barista itu sangat mahal.

Uang gajinya selama ini tidak cukup untuk mengambil sekolah barista. Ello sempat menyerah dan tidak ingin menjadi seorang barista lagi karena percuma saja, ia tidak akan bisa mewujudkannya.

Sebenarnya, kalau ia mau, ia bisa meminta pada keluarganya, tapi Ello tidak mau. Selama ini, Ello hidup mandiri, terpisah dari keluarganya.

Sore itu, Ello mendapat sebuah surel dari Hotel Poseidon. Jantungnya seketika berdegup kencang. Ia membuka surel itu dan senyumnya merekah. Besok ia akan melakukan wawancara kerja di sana.

"Ah, syukurlah!" seru Ello sambil menengadahkan kepalanya ke atas.

Ello pun segera menyiapkan pakaian untuk wawancara besok. Ia tidak ingin terlambat dan ia harus tampil sebaik mungkin.

***

Keesokan harinya, Ello mengendarai motornya dan tiba di Hotel Poseidon yang megah. Ia bertanya pada satpam dan diarahkan menuju ke kantornya yang berada di gedung terpisah dari hotelnya.

Beberapa calon karyawan yang melamar ke sana ikut berdiri mengantre untuk masuk ke dalam ruangan wawancara. Ello jadi gugup. Ia takut sekali jika ia sampai salah bicara. Namun, kali ini ia harus lebih percaya diri.

Jika ia bisa bertahan di tempat ini dan mendapatkan gaji setiap bulan, maka ia akan bisa menabung untuk mewujudkan cita-citanya.

Ello menarik napas dalam-dalam dan meyakini dirinya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Antrean terus maju sedikit demi sedikit hingga tiba giliran Ello untuk masuk.

Di dalam ruangannya sangat dingin. Ello agak bergidik sedikit. Ia tersenyum ramah sambil berjabat tangan dengan sang pria paruh baya di hadapannya. Entah sudah berapa kali ia berjabat tangan hari ini. Semua orang diwawancara di hari yang sama sekaligus banyak orang.

Pria itu menatap daftar riwayat hidup Ello di secarik kertas sambil beberapa kali melirik Ello. Ia sudah mengikuti psikotes di tempat ini dan sepertinya pria itu sedang menilai hasil psikotesnya sambil melihat latar belakang kehidupannya.

"Graciello Andreas," ucap pria itu dengan suara yang dalam.

"Ya, Pak. Boleh panggil saya Ello," kata Ello yang tersenyum sambil mengangguk.

"Saya Pak Raul bagian HRD di tempat ini," kata pria itu dengan wajah serius. "Kamu tinggal di mana?"

"Saya tinggal di kosan daerah Bandung Selatan, Pak," jawab Ello.

Pria itu mengangguk. "Berarti tidak terlalu jauh dari sini ya. Kamu kalau kerja di sini pergi pulang naik apa?"

"Naik motor, Pak."

"Oh bagus. Apa kamu bersedia jika bekerja shift? Akan ada tiga shift yang harus kamu jalani."

"Saya bersedia, Pak!" seru Ello terlalu bersemangat.

"Dan lagi karena ini namanya hotel, apa kamu juga bersedia untuk bekerja di hari Sabtu, Minggu, dan tanggal merah?"

"Ya, Pak. Saya bersedia."

"Apa kamu sudah menikah?"

"Belum, Pak."

Lalu Pak Raul menjelaskan uang gaji yang akan diterima oleh Ello beserta bonus-bonusnya jika ia bekerja di hari Minggu dan tanggal merah. Ello akan diterima sebagai petugas kebersihan hotel. Akan ada pelatihan yang ia terima selama seminggu untuk mempelajari cara membersihkan kamar hotel.

Setelah bertanya-tanya dan Pak Raul selesai menjelaskan segalanya, pria itu pun menyerahkan secarik kertas untuk ditandatangani oleh Ello.

"Pak, jadi apa ini artinya saya diterima?" tanya Ello polos.

"Ya, selamat kamu diterima bekerja di sini. Apa Senin sudah bisa langsung bekerja?" tanya Pak Raul.

"Bisa, Pak!" Ello pun tersenyum sumringah dan kemudian menandatangi surat perjanjian itu.

Ello pun keluar dari ruangan itu dengan hari yang gembira. Ia sangat bersyukur karena di hari ia baru saja dipecat dari café, ia langsung diterima bekerja di Hotel Poseidon.

Siang itu, Ello sedang makan di pujasera dekat kosannya. Tiba-tiba, pamannya menelepon. Sudah lama rasanya, pamannya itu tidak pernah menghubunginya. Sama halnya dengan Ello yang menghindari pamannya.

Terpaksa Ello mengangkat telepon itu. "Halo, Om Gavin."

"Halo, Ello. Apa kabar? Sudah lama sekali kamu tidak pernah menelepon Om," ucap pamannya.

"Iya, Om. Kabar aku baik-baik saja. Kamu bekerja di mana sekarang?"

"Aku baru diterima bekerja di hotel."

"Oh ya? Kamu serius? Di bagian apa? Manager atau kepala cabang?"

Ello berdeham. Pamannya itu terkadang kalau berbicara sangat berlebihan.

"Bukan, Om. Pokoknya, aku bisa dapat pekerjaan sudah cukup."

Pamannya mendecak kesal. "Mau sampai kapan kamu hidup seperti itu terus? Sudahlah, kamu pulang ke rumah dan tinggal bersamaku di sini."

"Tidak usah, Om. Aku bisa hidup sendiri dengan baik di sini. Tenang saja, Om. Tolong sampaikan salamku untuk nenek."

"Kamu sampaikan saja sendiri," ucap pamannya agak ketus.