webnovel

Massive Trick

Wanita kedua, Pria kaya yang suka menghianati istrinya, lalu pria yang terobsesi dengan wanitanya, Semua itu Ni'er telan bulat-bulat selama lebih dari satu dekade. Hingga akhirnya titik balik itu terjadi, dia pun melawan keadaan. Sekalipun beban besar dan tanggung jawab harus dipikulnya sendirian.. antara menjual perusahaan peninggalan leluhur atau menjual dirinya dalam hubungan pernikahan, manakah yang akan dia pilih? __--__ Hai, i am newbie here so please be kind to me dan menyadur tulisanku sebelum2nya please 1. Cerita ini hanya ada di WebNovel app, jika kalian menemuka cerita serupa please report bacause of plagiarism 2. Segala kemiripan nama dan lokasi hanyalah rekaan semata, tidak ada unsur untuk menjelekkan dan merugikan pihak manapun 3. cerita ini 100% dijamin adalah fiksi semata 4. Do not hesitate for DM or leave a comment 5. Jika kalian ingin melihat ceritaku yang lain just click @tlmnhlm or @talminahalim Sayonara ^_^

Talmina_Halim · Urban
Zu wenig Bewertungen
30 Chs

Kenyataan 2

Saat insiden terjadi, kak Jerome sudah membuang ponselku entah kemana, karena nenurut pendapatnya ponselku akan memantulkan sinyal GPS saat itu. Dan hingga saat ini akupun tidak memegang ponsel sama sekali.

"Apakah kau menemukan ponselku?"

"Iya dan sudah rusak... Akan kubelikan yang baru untukmu."

"Apakah data-datanya bisa diselamatkan?"

"Sedang diusahakan." Jawab Xuan lembut dengan tangannya mengusap kepalaku.

"Kau manja sekali akhir-akhir ini, apakah ibu hamil seperti itu?"

"Sepertinya moodku mudah sekali berubah- ubah. Terkadang semua hal terasa menjengkelkan kadang tidak merasakan apapun."

"Katakan apapun yang kau rasakan."

"Memangnya kau tidak kerja?"

"Aku sudah meminta ijin ke pusat agar sementara tanggung jawabku dipindahtangankan. Apalagi Pamanmu jelas menyetujuinya setelah melihat keponakan tersayangnya lebih butuh ditemani."

"Kapan aku bisa kembali ke kantor?"

"Dengan mood mu yang seperti ini? Apakah kau tidak akan menyesal jika nanti mengambil keputusan yang terburu-buru?"

"Keputusan ada di tangan presdir. Perusahaan ku sudah diakuisisi negara, remember?"

"Kadang kupikir kau masih menjadi Presdir Lim."

"Jadi apa boleh aku ke kantor?"

"Akan aku usahakan juga, tapi aku sarankan kau bekerja dari rumah seperti biasa."

Kesimpulannya adalah Xuan melarangku keluar dari rumah. Maksudku Kediaman Ouyang memanglah besar bahkan jika aku mau Xuan jelas akan bersedia mengantarkanku berkeliling ke setiap ruangan, tapi intinya adalah aku bosan. Dan aku harus mencari alasan untuk bisa ke Apartemen kak Jerome.

Menjadi menantu keluarga berpengaruh dan kaya raya tidak sepenuhnya membuatmu bahagia. Ada masa dimana aku merasa terkekang, bahkan tiba-tiba semua persoalanku sudah diatasi dengan sendirinya. Apakah itu perbuatan Xuan atau kakek Ouyang, aku juga tidak tahu. Tapi kesal sekali rasanya saat kesibukanmu yang sudah kau jalani tiap hari mendadak berubah. Sudah seminggu aku tidak menengok dapur, tidak juga menyiapkan pakaian dan sarapan untuk Xuan. Padahal saat di rumah sebelumnya, aku tidak semalas ini, ataukah memang aku dibuat untuk menjadi pemalas?

"Apakah aku bisa ke dapur?"

"Tentu, jika kau sudah baik-baik saja saat melihat api dan asap."

"Kau berlebihan sekali."

"Psikiater bicara padaku bahwa pasca insiden tersebut, aku harus menjauhkanmu dari hal-hal yang bisa mengingatkanmu pada kenangan buruk tersebut, tidak boleh membuatmu stress dan tertekan."

"But, i am stress now."

"Kapan kali terakhir kita jalan-jalan?" tanya Xuan dengan tetap mempertahankan emosinya.

"Sebelum kita bertengkar, sepulang bekerja, dengan tujuan pasar malam."

"Baiklah, malam ini kita jalan."

*

Aku dan Xuan seperti dua orang asing dalam kerumunan, desakan antrian karcis masuk membuatku terhuyung kesana kemari. Seperti desakan ombak yang sanggup menghanyutkanku ke pusaranya. Sekuat apapun aku mencoba, pada akhirnya genggaman Xuan terhadapku terlepas juga. Sejenak aku merasakan getir dan mulai takut bahwasanya pernikahan kami pun akan berakhir juga meski sekuat apa dia mencoba. Tunggu pernikahan ini bukan hanya milik Xuan seorang, aku juga tokoh wanita utama disini.

Entah aku harus merasa senang atau sedih setelah akhirnya aku terhanyut dengan deru ombak keramaian dan semakin menjauh dari Xuan. Ada sebuah celah untuk keluar dan setelah terbebas aku pun segera menarik napas panjang, mungkin inilah saat yang tepat untuk berkunjung ke apartemen kak Jerome.

Saat berada di apartemen tersebut, aku mencoba mencari lokasi brankasnya. Seluruh sisi ruangan ku obrak-abrik dan untungnya aku teringat pada sebuah cermin depan wastafel yang jarang Kak Jerome kunjungi. Dibalik cermin itulah tersembunyi brankas miliknya dan tidak terkunci. Ah, sepertinya sudah ada orang yang mengambilnya dan.. benar saja brankas itu kosong. Lalu dengan gontai aku pun keluar dan mengunci kembali apartemen tersebut.

"Tidak kusangka, pusara kerumunan itu menghanyutkanmu sejauh ini. Bahkan kaupun sepertinya dengan sengaja membawa kunci apartemen tersebut. Beri tahu aku, apakah kau sudah memiliki kunci cadangannya sejak dulu atau kau mengambilnya dari seseorang?"

Bulu kudukku meremang mendengarkan penuturan Xuan yang sarat emosi. Sehebat apapun jenderal muda itu, tapi luapan emosi itu jelas tergambar dari intonasi suaranya. Aku pun tidak berani melihat ke arah Xuan dan memilih untuk mengunci apartemen dan menyimpan kembali kunci tersebut.

"Berikan kuncinya."

"Ini pemberian kakak."

"Seorang baj*ngan yang sudah mencelakaimu masih kau sebut kakak?"

"Dia tidak.."

"Oh, jangan katakan penculikan kemarin adalah hasil konspirasi kalian."

"Bukan begitu..."

"Lalu kenapa kau masih mempercayai omong kosongnya?"

"Xuan.. kumohon jangan marah."

"Suami mana yang tidak marah melihat istrinya lebih percaya pada pria lain?"

"Aku bukan tidak percaya padamu, tapi.."

"Tapi kau menusukku dari belakang seolah apapun yang aku katakan tidak sepenuhnya benar."

"Xuan, kumohon biarkan aku tahu yang sebenarnya."

"Memangnya kau akan percaya pada kata-kataku?"

"Aku akan percaya."

"Apa jaminannya?"

"Lalu apa jaminan bahwa kata-katamu bisa kupegang?"

"Bukankah kau membawa bagian dari diriku? Jika kau pikir aku berdusta, kau boleh gugurkan anak itu."

Mendengar kata gugur dan anak dalam satu kalimat membuat kepalaku berputar. Apakah semudah itu dia akan mengorbankan anak kami? Demi apa? Tak mampu berpikir dan aku menyerahkan diri pada keadaan sambil limbung menguasai tubuhku dan kegelapan merayap di depan mataku.

*