webnovel

LOVE OF DREAM

BANYAK FLASHBACK DI AWAL BAB!!! "Ibu, dimana Ayah?" Hanya tiga kata, tetapi mampu membuat pertahanannya runtuh. Sesuatu yang sesak sudah ditahannya sejak lama, tetapi mendengar itu dari mulut putrinya sendiri dengan mudahnya hancur meluruh. Memiliki seorang putri yang tumbuh menjadi sosok gadis yang cantik. Hidup berdua bahagia, meskipun tanpa seseorang yang selalu berada disisi mereka. Namun, rasa bersalah selalu bersarang di dalam hatinya setiap kali anak gadisnya mempertanyakan sosok ayahnya sendiri. Sebagai seorang Ibu, ia merasa bersalah karena tidak bisa menjawabnya. Bahkan putrinya tidak pernah dibiarkan keluar dari Rumah dengan beberapa alasan yang terjadi pada masa lalu. Karena kejadian tersebut, rasa khawatir selalu menghantuinya dan membuatnya ingin selalu terjaga untuk anak gadis kesayangannya sendiri. Putrinya yang perlahan tumbuh menjadi gadis remaja, kini akhirnya Ibunya memutuskan untuk menyekolahkannya kembali selayaknya seperti seusianya yang lain. Tidak ingin membuat anaknya terlalu lama terbelenggu hanya karena dirinya. Akan tetapi sesuatu hal yang tidak pernah ia duga menjadikannya kembali bertemu dengan seseorang yang telah lama meninggalkan mereka. Seakan takdir memaksanya untuk mengingat kepahitan yang terjadi di masa lalu dan disanalah semuanya bermula. Dihadapkan pada sebuah pilihan, melindungi rasa sakit hatinya atau mewujudkan keinginan putrinya? Art by Pinterest

giantystory · Teenager
Zu wenig Bewertungen
300 Chs

KEBAHAGIAAN KECIL

Masih dalam tangis yang histeris, Ibunya Via terus berjalan mundur untuk menjaga jarak dari seseorang itu. Sedangkan seseorang itu dengan perasaan khawatir terus mendekati Ibu Via yang menjauhinya.

Nafas Ibu Via tersengal-sengal, "J-jangan mendekat!" Larangnya sembari satu tangannya memegangi kepalanya sendiri, entahlah, mendadak kepala Ibu Via menjadi pusing, benar-benar pusing.

"Mara," Panggil pria itu yang merupakan mantan Suami dari Ibu Via sendiri.

Benar, yang juga adalah Ayah kandung dari Via Lavista, putri satu-satunya mereka. Entah kenapa ini semua bisa terjadi, padahal Ibu Via menghubungi Dokter bukan pria bajingan ini.

"Kamu, dari mana kamu tahu alamat rumahku, hah? Jawab!" Tanya Ibu Via dengan sedikit membentaknya.

Pria itu menghela nafasnya sebentar lalu hendak menyentuh kedua pundak Ibu Via, "Mar, jangan kaya gini, anakku mana? Aku mau ketemu sama dia, kata kamu dia sakit, kan?"

Ibu Via yang mendengarnya geleng-geleng kepala, berpikir apa mungkin tadi dirinya bukan menghubungi Dokter, melainkan...

"Mara, dimana dia?" Tatapan Ibu Via mendadak tajam, seakan seseorang yang ada dihadapannya adalah orang yang paling ingin dirinya lenyapkan.

"Pergi." Usir Ibu Via dingin, membuat pria itu menatapnya tak percaya. "Mar-" Ibu Via menahan pria itu untuk melanjutkan ucapannya.

"Pergi, John! Aku bilang, pergi!"

John yang mendengarnya malah menatap balik dengan tajam pada Ibu Via itu, lalu semakin mempersempit jarak diantara keduanya yang membuat Ibu Via gemetaran, takut.

"Pergi, John, hiks! Aku mohon, hiks." Ketika melihat wanita itu menangis, John pun tanpa pikir panjang langsung membawa Ibu Via kedalam pelukannya, ia memeluknya dengan tulus seperti merasakan apa yang Ibu Via rasakan saat ini.

"Maaf," Ujarnya lirih. John merasa tak enak karena sudah sembarangan memeluk mamtan Istrinya itu secara tiba-tiba, "Bukan saatnya untuk bertengkar saat ini, anak kita adalah yang paling penting, tenanglah, jangan menangis." Lanjutnya lagi.

Ibu Via semakin histeris ketika berada dalam pelukannya, seolah sedang melampiaskan segala kekesalan, kekecewaan yang teramat dalam selama bertahun-tahun ini kepada John.

"Kamu jahat, John. K-kamu jahat, hiks!" Lirih Ibu Via yang kini dengan berani memukul-mukuli dada bidang John. Sedangkan John hanya bisa diam membiarkannya saja, ia tahu bahwa rasa sakit itu pasti benar-benar besar dan dalam untuk seorang wanita seperti Mara, mantan Istrinya dan Ibu sekaligus untuk Via, putri mereka.

John menyimpan dagunya diatas puncak kepala Ibunya Via, tanpa wanita itu sadari bahwa saat ini John juga tengah menangis. Entahlah, ia begitu bahagia karena akhirnya bisa bertemu kembali setelah bertahun-tahun lamanya menghilang.

Dengan tulus, John mengecup puncak kepala Ibu Via. Mengelus rambutnya dengan senyum yang mengembang, ternyata wangi rambut wanita ini masih sama seperti awal bertemu. Entah kenapa meskipun ia telah menyakitinya, namun segala hal tentangnya masih sangat John sukai.

"Ibu," Panggilan seseorang itu membuat John dan Ibu Via langsung melepaskan pelukannya. Ibu Via langsung menghapus air matanya dan berlari menghampiri Via.

"Vivi, kamu udah sadar, Sayang?" Tanya Ibu Via sembari memeluk Via dengan perasaan khawatir yang masih menyelimuti hatinya.

John berdiri mematung menatap putrinya itu yang sudah tumbuh menjadi gadis remaja, terlebih benar-benar cantik, ia bahkan tak kuasa menitikkan air matanya, benar-benar mirip seperti Ibu Via ketika masih muda dulu.

Via juga menatap John sedari tadi, baginya pria dewasa itu adalah orang asing. "Ibu, itu siapa?" Tanya Via dengan polos membuat Ibu Via langsung melepaskan pelukannya dan menatap Via dan John bergantian.

John menatap Ibu Via, sangat menanti sebuah momen dimana anaknya sendiri akan mengetahui fakta bahwa dirinya adalah Ayah kandungnya. Seketika seulas senyuman tipis pun terbit dari bibir itu.

Ibu Via tersenyum pada Via, "Dia... Om John, namanya. Teman Sekolah Ibu dulu." Ujar Ibu Via yang membuat Via hanya menganggukkan kepalanya.

Sedangkan John tak menyangka akan apa yang baru saja wanita itu katakan, entah kenapa rasanya begitu sesak mendengar ucapan itu begitu terdengar jelas ditelinganya.

Via berjalan menghampirinya sambil memberikan senyuman terbaiknya yang begitu tulus, "Hai, Om. Om teman Sekolahnya Ibu, ya? Kenalin Om, nama aku Via." Ujar Via dengan polosnya memperkenalkan diri pada John, ayah kandungnya sendiri yang ia yakini sebagai teman dari Ibunya sendiri.

John menatap Ibu Via yang kini siap kembali menitikkan air matanya, ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja Mara lakukan padanya.

"Apa yang kamu lakukan, Mara?" Batin John yang saat ini hatinya benar-benar sakit.

"Om, kok, diam aja?" Tanya Via lagi membuat Ibu Via dan John saling memutuskan kontak mata mereka berdua. John menatap Via dengan senyum yang dipaksakan, jadi sekarang ia harus berbohong pada putrinya sendiri, sebagai teman Sekolah Ibunya.

"Maaf, Iya, Om teman Sekolahnya Ibumu. Kamu cantik sekali, Sayang, mirip sekali seperti Ibumu waktu masih muda dulu." Ujar John yang kini menatap Ibu Via dengan tatapan terlukanya atas apa yang baru saja wanita itu lakukan.

Ibu Via hanya bisa menunduk dan tak berani membalas tatapan itu, karena jika tidak, pasti ia akan merasa bersalah. Dan, John sangat tahu kelemahannya seorang wanita yang hingga kini masih ia cintai itu.

"Vivi, makan dulu, yuk! Kamu belum makan, kan?" Via mengangguk sebagai jawaban, lalu berjalan menghampiri Ibu Via.

Via menoleh ke belakang menatap John dengan senyumannya, "Om, Via makan dulu, ya. Om, mau ikut Via makan, gak?" Tanya Via polos.

Lagi-lagi, John merasa ada yang janggal dengan sikap putrinya sendiri, sepertinya ada banyak yang disembunyikan oleh Mara dan ia akan meminta jawabannya nanti.

John pun mengangguk tersenyum, lalu mengikuti mereka berdua yang memasuki dapur. Ia tersenyum miris, bahkan dalam rumah ini tak ada satu pun foto dirinya, pantas saja jika Via putrinya itu tak mengenali dirinya sama sekali.

Ini semua seperti sengaja Mara lakukan, kali ini ia hanya bisa menghela nafas saja. John tak bisa melakukan apa-apa saat ini selain diam. Ia tak ingin merusak pertemuan pertamanya setelah sekian lamanya atau nanti akan kehilangan putrinya atau keduanya.

Sekarang semua tengah duduk dimeja makan, Via dengan senyumnya menatap John yang kini juga tengah menatapnya dalam-dalam. Ingin sekali John memeluk tubuh mungil putrinya itu. Demi apapun, putrinya benar-benar sangatlah cantik.

John yakin jika putrinya bersekolah nanti, pasti banyak para laki-laki yang mendekati anaknya ini. Ia sebagai Ayah takkan pernah membiarkan itu terjadi. Entahlah, John begitu ingin menjaga putrinya, satu yan dapat John lihat dari sifat putrinya yaitu kepolosan dan lugu.

Benar, Via masih begitu polos dan lugu. Sepertinya Mara tidak pernah membiarkan putrinya itu bergaul dengan anak-anak sebayanya disini.

Setelah Mara selesai memasak, ia pun ikut duduk bersama dimeja makan, lalu mengambilkan nasi serta lauk pauknya itu untuk putrinya. John pun tanpa malu hendak mengambil sendiri, tetapi ditahan oleh Via.

"Bu, ambilin juga buat Om John." Ujar Via mengangkat kedua alisnya, sedangkan Mara masih terkejut dengan permintaan putrinya itu.

"Hah?" John yang mendengarnya hanya bisa mengulum senyumnya, senang tetapi juga ia kasihan pada Mara, "Gak usah, Vi, Ayah bisa sendiri, kok." Ujarnya dengan senyum mengembang.

Suasana hening menyadarkan John dari kesalahannya, ia lalu menatap Mara yang kini menatapnya tajam sedangkan Via seperti terkejut dengan apa yang baru saja dirinya katakan. John merutuki kecerobohannya itu, "Ayok, selamat makan, jangan lupa baca doa dulu ya, Via." Ujar John berusaha mengalihkannya.

Mara, Ibu Via yang kini tengah memijit pangkat hidungnya pun ikut makan, sementara Via hanya diam dan sibuk dengan makanannya sendiri. John akhirnya bisa bernafas lega, tetapi tatapan tajam dari Mara benar-benar membuat John langsung ciut.

Biar begitu John sangat senang hari ini, seperti merasakan kehangatan keluarga seperti sebelumnya bersama wanita itu yang kini tengah memakan makanannya tanpa minat. Benar, John terus memperhatikan kedua orang yang ada dihadapannya saat ini dengan seksama. Ia benar-benar bahagia, apalagi kini ditambah dengan kehadiran sosok Via yang merupakan putrinya.

Dering ponsel John berbunyi membuat Ibu Via dan Via menatap kearahnya. John pun meraba saku celananya dan mematikan panggilannya, namun lagi-lagi ponsel itu berdering menyala. John jadi tak enak kepada mereka berdua, ia pun mengecek ponselnya terlebih dahulu dan terpampang jelas jika Istrinya itu yang menghubunginya.

John menepuk kepalanya sekali dan itu disaksikan sendiri oleh Mara dan Via. Mara sudah bisa menebaknya, ia tahu siapa yang menelpon John sedari tadi. Mengingat orang itu, ia benar-benar muak.