Di dalam kamarnya, Hargus tidak benar-benar tidur. Ia justru berbaring dengan gelisah. Tubuhnya bergulingan ke kanan dan kiri. Matanya terbuka lebar.
"Bagaimana aku bisa menyimpulkan semua kejadian ini dan memahami polanya? Aku tak mau orang itu masuk lagi ke dalam kehidupan kami," pikirnya.
"Kehadirannya saja bisa membuat Bu Boss begitu traumatik? Bagaimana kalau aku sedang tidak bersamanya dan orang itu kembali datang mengganggu?" Bermacam pertanyaan muncul begitu saja dari dalam pikiran Hargus.
Lama Hargus terdiam. Ketika memikirkan lelaki yang menolong Henny, ia seperti mendapat ide.
"Aha! Aku harus ketemu dia. Mungkin dia bisa membantuku," ucapnya. "Yang jelas kami harus bersiaga sebelum gerombolan mereka berkumpul dan kembali menyerang kami."
Hargus mengambil tas kecilnya dan mengeluarkan ponsel pintarnya. Ia membuka aplikasi untuk menggambar dan mulai membuat sketsa wajah seorang pria. Sesekali matanya terpejam untuk mengingat lagi memorinya akan sosok lelaki itu.
"Benar. Namanya memang Hansen. Tapi aku tak tahu siapa namanya sekarang. Aku harus menanyakannya pada Mama besok," gumamnya lagi.
Hargus terus menggambar hingga terlukis sebuah wajah yang cukup jelas. Ia tampak puas dengan hasil pekerjaannya.
"Terima kasih untuk semua kecerdasanku," ujarnya tersenyum penuh percaya diri.
Hargus menyimpan sketsa itu dan menyimpannya. Iseng ia mengirimkan itu pada Henny melalui pesan instan.
Hargus :
'Apa kau pernah melihat pria ini?'
Pesan terkirim. Sedetik kemudian sudah terlihat tanda centang biru dua, tanda Henny sudah membuka dan membacanya.
"Oh dia belum tidur rupanya," ucap Hargus.
Henny tampak mengetik pesan di layar layanan pesan itu. Hargus menunggunya.
Pesan masuk dan Hargus langsung membacanya.
Henny :
'Aku ketemu dia sudah dua kali!'
Henny memberikan emoticon seru, mungkin dia kaget atau senang. Hargus tak paham maksud wanita itu.
Ia pun membalas pesannya lagi.
Hargus :
'Di mana? Siapa namanya?'
Henny kembali membalas pesan itu.
Henny :
'Pertama di kafe, beberapa bulan yang lalu. Kedua, kemarin saat aku keserempet motor. Dia yang menolong dan membawaku ke rumah sakit.'
'Hebat bukan?'
Hargus :
"Nama? Alamat?'
Henny :
'Surya Dewangga. Alamat mana aku tahu? Dia tinggal di Jakarta.'
Hargus :
'Aduh, jauh ya?' Hargus memberikan emotikon sedih di pesan yang dia kirimkan.
Henny membalasnya dengan emotikon tertawa.
Henny :
'Iya, jauh. Tapi mungkin sekarang dia masih ada di kota ini.'
Hargus :
'Benarkah? Berapa lama?'
Henny :
'Dia bilang sedang liburan bersama keluarga. Mungkin semingguan.'
Hargus :
'Boleh minta nomer ponselnya?'
Henny membalas dengan emot tertawa.
Henny :
'Mana aku punya?'
Hargus :
'Sedih. Harusnya Bu Boss memintanya.'
Henny :
'Buat apa? Memangnya aku apa meminta nomer orang asing?'
Hargus :
'Dia bukan orang asing.'
Henny :
'Masa? Lalu siapa?'
Hargus :
'Suamimu.'
Ruang pesan itu kemudian sepi. Henny tak lagi membalas pesan dari Hargus.
***
Henny termangu membaca pesan terakhir dari Hargus. 'Suami? Pasangan maksudnya? Ah, mana mungkin?' bisik hati Henny sambill mengacak-acak rambutnya.
Perempuan itu kemudian mengingat-ingat kembali pertemuannya dengan Surya. Saat di kafe beberapa bulan yang lalu, juga saat dia menolongnya di jalan.
Semua peristiwa itu masih teringat dengan jelas. Memang, sosok lelaki itu begitu perhatian dan menyenangkan, seolah seorang sahabat yang sudah lama tak bertemu. Mereka bisa begitu saja langsung akrab.
Henny memejamkam matanya, tapi ia tak bisa lagi tidur. Ia terus mengingat sosok yang hadir dalam mimpi-mimpinya dengan Surya. Mereka memang mirip, hampir serupa. Bedanya hanya di warna kulit, Hansen berkulit putih sementara Surya berkulit cokelat. Tapi sepintas mereka seperti identik.
Bosan karena tak juga bisa tidur, Henny keluar kamar. Ia bermaksud membuat kopi dan memakan kudapan. Ditinggalkannya Nuning yang tertidur pulas di kasurnya.
Di tengah sunyinya malam, Henny duduk termenung di ruangan keluarga. Segelas kopi dan beberapa potong biskuit menemaninya. Kopi manis dan pahit itu disesapnya dengan nikmat. Matanya semakin terbuka dan rasa kantuk sudah hilang sama sekali.
Entah berapa jam Henny berada di ruangan itu. Ia baru tersadar kalau waktu sudah menjelang pagi saat mendengar suara adzan subuh yang bersahut-sahutan.
Henny beranjak dan kembali ke kamarnya. Ia tak mau Nuning menjumpainya di ruang keluarga dan tahu jika ia tak bisa lagi tidur semalaman. Henny mencoba tidur di samping Nuning yang masih juga lelap. Terdengar suara dengkuran halus.
"Walah, malah ngorok dia, bagaimana aku bisa tidur?" gerutu Henny sambil menarik bantal dan sedikit menjauh dari Nuning. Ditariknya selimut yang menutupi tubuh pembantunya itu.
Rupanya Nuning merasakan jika selimutnya ditarik, ia menariknya kembali hingga terjadi tarik-tarikan. "Ning! Bangun, sudah siang," omel Henny.
Perempuan itu mencoba membuka matanya, mengucek-ucek dan menguap sebentar. "Sudah pagi ya, Mbak?" tanyanya.
"Sudah, makanya bangun. Gantian tidurnya," ujar Henny.
"Lho, Mbak Henny nggak tidur?" tanya Nuning heran.
Henny menggeleng. "Nggak. Mana bisa tidur mendengar kamu ngorok," ketusnya.
"Apa? Aku ngorok? Nggak ah, Mbak Henny pasti bohong," elaknya.
"Eh, benar lho kamu ngorok. Makanya aku nggak bisa tidur," jelas Henny.
"Kenapa nggak bangunkan aku dari tadi?" ucap Nuning sungkan.
"Nggak lah, kasihan. Kamu ngorok pasti karena capek 'kan?" Henny kembali bersikap baik pada Nuning. "Lagipula aku yang memintamu menemani tidur."
"Nah, itu tahu. Jadi ya, maaf kalau terganggu …" Nuning tersenyum meringis.
"Iya, nggak apa-apa. Jadi sekarang kamu mau ke pasar atau tidur lagi?" tanya Henny sambil menguap. Rasa kantuk itu rupanya kembali saat sudah pagi begini.
"Aku mau ke pasar, Mbak. Kebetulan ada yang menginap di rumah, jadi sekalian saja nanti dibuatkan sarapan," ujar Nuning.
"Oke, boleh. Nanti kalau dia sudah bangun, ajak saja sarapan. Aku usahakan bangun, tapi kalau belum bangun, biar aku tidur sampai siang ya," kata Henny panjang lebar.
"Lalu dia nanti bagaimana kalau pergi? Atau dia suruh menunggu Mbak Henny bangun?"
"Terserah dia. Mungkin dia akan langsung pergi ke kafe. Hari ini tidak libur," jawab Henny.
Nuning mengerti. Ia cepat membereskan tempat tidurnya dan berlalu dari kamar Henny.
"Pintu tolong ditutup ya!" ucap Henny lirih. Ia sudah mulai tertidur.
"Ya, Mbak." Nuning menjawab sambil menutup pintu dengan hati-hati.
***
Sementara itu di hotel tempat Surya dan keluarganya menginap, pria itu tampak sedang bersantai di pinggir kolam renang sambil menikmati sarapan paginya. Ia duduk menunggui Lissa dan Bella yang sedang berenang di air dingin itu. Zacky menemaninya, duduk di kursi panjang sebelahnya.
"Kamu nggak ikut renang, Zack?" tanya Surya pada anak lelakinya itu.
"Malas, Yah. Dingin." Zacky menjawab sambil kedua tangannya bersedekap.
"Ya, memang dingin. Tapi 'kan segar, bangun tidur, olah raga renang, dan nanti sekalian mandi pagi," ujar Surya.
"Ayah sendiri kenapa tak ikut renang?" Zacky balik bertanya.
Surya tertawa sekilas. "Ibumu lupa membawakan baju renang," jawab Surya. Padahal dia memang tidak memesan untuk dibawakan baju renang.
"Alah, paling Ayah saja yang juga malas renang," ujar Zacky.
Surya kembali tertawa, tapi tak menanggapi. Anak sulungnya itu memang mudah menebak jalan pikirannya.
"Eh. Yah. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar tante yang kita tolong kemarin itu ya?" tanya Zacky tiba-tiba. Ia teringat pada Henny yang mereka antar ke rumah sakit.
"Oh, iya ya. Ayah lupa belum menanyakannya," ucap Surya singkat. "Tapi kayaknya baik-baik saja," imbuhnya.
"Kita tak pernah tahu, kata dokter kalau dia sampai muntah, harus cek lagi dan scan kepala." Zacky mengingat pesan dari dokter yang memeriksa Henny.
"Betul juga sih. Kepalanya terbentur aspal, pasti sakit sekali itu," ujar Surya sambil mengernyitkan dahi, seolah ia sendiri yang terbentur.
"Ya, makanya coba Ayah tanyakan kabar dia," bujuk Zacky.
***
Surya tampak berpikir sebentar. Ia mengambil ponsel pintar yang ada di meja lalu mencari nama Henny di kontak pencarian. "Ayah belum menyimpan nomernya. Jadi tak tahu bagaimana menghubungi dia," ucap Surya.
"Kalau tidak salah dulu Ayah diberi kartu namanya, dia bilang ada nomernya di sana," kata Zacky.
Surya mengambil dompet yang ada di saku bajunya lalu membuka dan mencari kartu nama yang biasa ia selipkan di sana. "Ini dia …" ucapnya.
"Masih ada, Yah?" tanya Zacky.
"Masih Ayah simpan. Sebentar catat dulu nomernya," ujar Surya. Jarinya kemudian sibuk menyentuh layar ponsel dan memasukkan kontak Henny di dalamnya.
Ia kemudian mengirimkan pesan pendek menanyakan kabar Henny.
Surya
'Hallo, apa kabar? Bagaimana dengan sakitnya? Apa ada keluhan? Saya, Surya. Yang mengantar ke rumah sakit.'
Pesan terkirim. Surya sejenak menunggu pesan itu dibaca. Tapi setelah sekian lama tak juga terlihat dua centang biru. Orang yang ia kirimi pesan belum membacanya.
"Sudah ditanyakan, Yah?" tanya Zacky lagi.
"Sudah, tapi belum dibaca. Mungkin masih sibuk ," jawab HSurya. "Sudahlah, kenapa kamu malah jadi perhatian sama dia? Bukannya dulu nggak suka karena Ayah ajak ke kafenya yang seram?" goda Surya
"Bukan begitu, aku kasihan …" ujar Zacky jujur.
"Kenapa kasihan? Karena ia tertabrak?" tanya Surya mencoba memahami pikiran putranya.
"Karena itu juga, karena yang lain juga … Entahlah, aku tak mengerti, tapi aku kasihan kalau ingat tante itu," ungkap Zacky.
Surya menepuk bahu Zacky. "Dia hanya orang yang baru kita kenal, ketemu baru dua kali, kamu sedemikian perhatian sama dia," ujar lelaki itu sambil tersenyum.
"Memangnya Ayah sendiri nggak memikirkan dia?" Pertanyaan Zacky begitu menohok Surya.
"Ayah …" kalimatnya terhenti dan menggantung. Ia mencari jawaban yang tepat.
"Ayah, harus bisa melupakan dia." Surya tersenyum datar.
***