webnovel

21 - Can't Be Together

Tidak membutuhkan waktu yang lama hingga seluruh kerajaan mengetahui bahwa terlahir lah seorang pangeran di Teratia.

Para pelayan di Istana Aurora sangat berisik, tetapi mencoba untuk tidak mengganggu satu eksistensi baru yang terbaring di ranjang khas bayi.

Bayi itu manis. Memiliki kulit putih kemerahan karena baru saja dilahirkan ke dunia. Tangisannya memenuhi seluruh ruangan, tetapi hal itu tidak membuat para pelayan mengeluh, justru mereka bersorak bahagia.

Terlebih ketika Permaisuri mereka ikut terharu. Bahkan air mata sampai menetes di sudut matanya.

Auste meminta pelayan agar dia bisa menggendong malaikat kecilnya. Ketika Auste melihat putranya, Auste merasa sesuatu di dadanya meledak karena sebuah kebahagiaan.

Bayi itu mungil sekali, dengan pipinya yang tembam dan lucu. Dia memiliki rambut abu keperakan Allan, dan ketika pangeran kecil itu membuka matanya, iris hijau khas Auste bertatakan di sana.

Menawan.

"Selamat, Yang Mulia Permaisuri," ujar Mira, pelayan pribadi Auste.

Mira adalah pelayan Auste di Mansion Apricot, tetapi dia memutuskan untuk mengikuti Auste ke istana.

Auste tersenyum. "Terima kasih, Mira."

Para pelayan di dalam mengucapkan selamat secara bergantian dengan wajah gembira.

Namun, ucapan itu langsung terhenti ketika seorang pelayan mengumumkan kedatangan raja mereka.

Ketika pintu tinggi itu dibuka, seorang pria tampan memasuki ruangan dengan pakaian mewahnya. Tentunya dengan warna putih sebagai simbol Kerajaan Teratia.

Allan mendekati Auste dengan ragu, tetapi tidak menyembunyikan senyum bahagia di wajahnya.

Melihat senyuman di wajah raja mereka yang dikenal tiran membuat para pelayan merasa sangat beruntung. Dengan kesadaran sendiri, pelayan satu-persatu meninggalkan kamar Auste, dan hanya menyisakan Mira serta dua pelayan lainnya yang berdiri di dekat pintu.

"Allan," panggil Auste dengan sorot lembut.

Allan juga melemparkan senyuman yang lembut.

Dia menatap buntelan di lengan Auste. Wajah bayi mungil itu mirip dengan Allan. 

"Alden," gumam Allan.

Auste tersenyum di wajahnya yang lelah. "Benar, Allan. Nama bayi ini Alden."

Allan mengecup pelipis Auste. "Alden Edelbert Teratia."

***

"Nona Helia! Ayo cepat! Kemarilah. Lihat apa yang Alden coba katakan!" Auste memekik dengan senang, meski bayi mungil itu rupanya hanya menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.

"Yang Mulia, tolong jangan terlalu bersemangat," kata Helia dengan senyum lelah.

Auste tersenyum. "Maafkan aku, Nona Helia. Kamu pasti lelah setelah mengunjungi Benua Barat."

Helia balas tersenyum. "Tidak apa-apa, Yang Mulia. Saya sendiri yang memutuskan untuk langsung mengunjungi Putra Mahkota."

Auste tersenyum lebar, lalu menarik Helia menuju ranjang bayi.

Beberapa pelayan yang ada di sekitar Alden terkikik geli karena perilaku manis Alden.

Helia melirik bayi di dalam keranjang bayi, dia cukup manis bagi Helia. Apalagi rambut abu-abu keperakan yang sangat mirip dengan Allan yang nyaris membuat Helia terus mengingat Allan.

"Putra Mahkota sangat manis."

Auste tersenyum pada pujian itu. "Terima kasih, Nona Helia. Kamu sudah membaca surat yang Allan kirimkan?"

Helia mengangguk pada pertanyaan Auste.

"Saya sudah membacanya, Yang Mulia. Bayi kalian berdua lahir satu bulan yang lalu. Sayang sekali saya tidak berada di sini untuk menyambut kelahiran Putra Mahkota."

Auste menggeleng lalu menggenggam kedua tangan Helia. "Tidak apa-apa, Nona Helia. Kamu pergi ke Benua Barat untuk urusan Kerajaan, tentu prioritasmu adalah urusan itu. Dan berhenti memanggil Alden dengan Putra Mahkota, kamu adalah bibi Alden, panggil saja namanya."

Helia tersenyum lemah. Benar, dia adalah Bibi Alden.

Allan sudah mengatakannya dalam surat jika Helia bisa menjadi Bibi angkat sekaligus ibu asuh dari Putra Mahkota.

Menjadi Bibi dan ibu asuh dari Alden berarti menjadi bagian dari melihat pertumbuhan Alden. Menyaksikannya mulai belajar bicara, berjalan, dan berlari.

"Saya sangat terhormat bisa menjadi Bibi dari Alden, Yang Mulia."

Auste terkekeh. "Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri."

"Sebuah kehormatan bagi saya."

Helia melayangkan senyuman di wajahnya yang cantik, meski hatinya kini pecah berkeping lagi.

***

Helia tidak tahu mengapa waktu berjalan dengan sangat cepat, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Belum sembuh. Seolah tidak akan pernah sembuh agar Helia tetap tersiksa.

Hatinya masih sakit ketika dia melihat Allan dan Auste bersama-sama. Bekerja dengan mereka berdua di dalam satu ruangan yang sama, atau melihat mereka menghabiskan banyak waktu hanya mereka berdua.

Helia hanya tidak mengetahui bagaimana cara membakar perasaannya hingga habis. Padahal Helia sangat ingin perasaan ini menghilang, seupaya dengan rasa sakitnya.

Rasa sakit membuat Helia menderita.

Hal ini membuat Helia mengingat sesuatu.

"Aku juga akan terus berada di sampingmu, Helia. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu."

Kalimat Allan di ulang tahunnya yang ke-17.

Helia tidak melupakannya. Bukan, mana mungkin Helia akan melupakan hal itu.

Mungkin hanya Helia saja yang senang dengan kalimat itu. Seolah terus berada di samping Helia dalam perspektif Allan dan Helia adalah dua hal yang bertolak belakang.

"... Bohong. Pembohong," gumam Helia tanpa sadar.

"Bibi? Siapa yang berbohong?"

Helia tersentak, lalu menatap anak berusia tiga tahun di pelukannya.

Ah, ya, dia sedang membacakan Putra Mahkota sebuah cerita sejarah.

Helia melayangkan senyuman, yang akhir-akhir ini menjadi senyuman palsu.

"Tidak, bukan apa-apa, Alden. Sampai mana tadi?"

"Hingga revolusi yang dilakukan Ayah!" kata Alden dengan antusias yang menggebu.

Helia tertawa, meski palsu.

Helia tertawa, meski luka di hatinya lagi-lagi tidak menerima ramuan penyembuhan. Dan luka itu membesar, seolah menyenangkan melihat Helia tersiksa.

"Aku sangat suka ketika Bibi dan Ayah bersama-sama!" Anak kecil yang sangat identik dengan Allan itu membuat Helia tersentak.

"Benar, ya. Bibi juga suka ketika ayahmu ada di samping Bibi."

Alden tertawa kekanakan. "Aku dengar Bibi sangat baik dan bagus dalam pedang? Ayah juga memuji Bibi yang seperti ini! Bibi sangat keren. Ditambah, dalam sejarah ini, Bibi dan Ayah bekerja sama untuk revolusi? Bukankah itu sangat menakjubkan?"

Helia tertawa lagi, mencubit gemas hidung Alden. "Benar. Bibi sangat baik dalam pedang. Bahkan master pedang seperti Allan sendiri yang memuji Bibi."

"Bibi sangat keren! Apa aku bisa seperti Bibi, ya?"

"Alden, Sayang. Kenapa kamu ingin seperti Bibi, tidak seperti ayah atau ibumu?"

Alden tertawa canggung. "Ayah sangat hebat, tapi Ayah sangat dingin pada orang-orang. Terkadang itu membuatku takut. Dan Ibu terus mengomel, ah, membuatku pusing. Ibu juga menyeretku ke dalam pertemuan bangsawan di mana aku sangat-sangat tidak tertarik."

"Apa? Tidak mungkin. Kamu harus dekat dengan ayahmu sendiri. Dan Permaisuri hanya ingin yang terbaik untukmu, Alden. Permaisuri yang tahu itu. Beliau adalah ... ibumu."

Helia menelan kepahitan dalam suaranya. Helia berpikiran bagaimana jika dia adalah Permaisuri sekarang, bukankah itu akan membuat Alden sebagai putranya?

Helia menggelengkan kepala atas bayangan bodoh itu.

"Benar! Ayah dan Ibu adalah orangtuaku, tapi Bibi sangat baik. Kenapa Bibi tidak menjadi ibu keduaku saja?"

"Pertanyaan macam apa itu, Alden? Tidak boleh. Kamu harus menerima Permaisuri sebagai ibumu."

Alden menghela napas. "Baik, baik, Bibi. Tolong lanjutkan ceritanya."

Helia membelai rambut abu keperakan Alden sebelum lanjut membaca sejarah mengenai dirinya dan Allan.

Hanya sejarah mengenai mereka berdua.

Hanya ada Allan dan Helia di dalam tinta hitam buku-buku. Tidak ada Auste.

Akan tetapi, meski hanya mereka berdua yang terekam dalam tinta hitam, mereka tidak akan pernah bisa benar-benar bersama.

***

Double update!

Ada yang benci sama auste? Siapa itu?! Auste polos, dia anak baik!

Jangan lupa vote dan komentar <3!

30 Juli 2022