webnovel

Laksana

Adhinatha Laksana Bahuwirya, bukan manusia biasa, tapi bukan juga Iron Man

GwenXylona_ · Teenager
Zu wenig Bewertungen
26 Chs

Laksana | 16

•L A K S A N A•

"Hubungan Adhinatha sama Kak Mark dulu sebelum kayak gini ternyata mengejutkan, Renda"

Renda menyirit bingung, dia beranjak dari sofa menuju balkon kamarnya, tak lupa mengunci pintu kaca itu supaya Nana dan Jeksi didalam tak mendengarnya. "Mengejutkan gimana?" tanyanya penasaran, namun lirih, takut Nana dengar, kan telinga Nana sensitifnya melebihi tumbuhan puteri malu.

"Kayak lo, Jeksi, dan Nana."

"Maksudnya?"

Laksa disebrang tertawa "Lo bodoh ternyata. Like Mark and his lil bro, I see"

"M-maksudnya,,, sahabat?"

"Menurut gue, lebih dari itu. Soalnya Kak Mark bilang kalau Adhinatha itu orang paling berharga yang dia punya, yang paling dia lindungi melebihi dirinya sendiri."

"Kata Mark?"

Tanpa Renda tahu jika Laksa disebrang sana nyengir. "Iya hehe. Gue sengaja bikin dia mabuk, abis itu gue pancing"

"Berani juga lo sama dia"

"Demi lo--ah nggak, demi Adhinatha kan?"

Renda terdiam sejenak kemudian menghela napas. "Lo itu sebenarnya baik, Laksa. Cuma lo salah jalan"

"Nggak, Renda. Gue nggak salah jalan, tapi emang jalan gue begini"

Renda tertegun "Kalau begitu nanti gue bilang ke Papa biar gue ngaku kalau lo sebenarnya nggak salah dan Papa bantu lo lagi---"

"No!! Gue lebih suka begini, gue nggak suka dikasihani, jadi lebih baik begini. Simbiosis mutualisme aja"

"Tapi kesannya kayak gue jahat banget"

Laksa tertawa "Lo emang jahat kali. Orang baik mana ada yang jauhin dua insan saling mencintai?"

Renda tersenyum miris. "Dan orang jahat mana yang pengen yang terbaik buat sahabatnya? Jadi sebenarnya gue ini jahat atau baik?"

"Lo baik, saking baiknya gue sampai iri sama Adhinatha yang punya sahabat kayak lo"

"Karena Adhinatha itu ngigatin gue sama seseorang, orang paling gue sayang 5 tahun lalu"

"Rega??"

Renda tercekat, napasnya tertahan lalu memberat saat nama tersebut kembali dirinya dengar, tetapi dia bibir orang lain yang bahkan tidak sedekat itu. "L-lo tahu? M-maksudnya,,, gue---"

"Gue tahu, Ren. Tapi jangan menyayangi orang lain hanya karena ada bayangan orang yang lo sayang didalam dirinya."

Rena tersenyum getir. "Nggak gitu, bagi gue, Adhinatha itu bukan orang lain"

"Kalau butuh teman lo kesini aja, sekalian ketemu Mama. Sekarang Kak Mark udah datang, jadi lo tahu kan harus apa?"

"Harus buru-buru gue matiin. Yaudah bye!" tukasnya sembari menyudahi sambungan. Cowok itu menatap langit malam yang tak ada taburan cahayanya, gelap gulita.

Lalu dia kembali kedalam kamar, dan hanya untuk disuguhi pemandangan dimana kedua sahabatnya, malah plus Haechan menatapnya meminta penjelasan penuh. Renda hanya menghembuskan napasnya lelah sembari berjalan menuju ranjang dan menghempaskan dirinya disana. "Kalian pulang aja, pusing gue" usirnya.

Ketiganya menyirit, "Lo nyembunyiin sesuatu kan?" tanyanya kok bisa barengan gitu.

Renda berdiri lagi, mata cowok itu berkaca-kaca, dan dengan lemas berjalan keluar kamar, baru saja hendak membuka pintu, dari luar Papa Renda sudah terlebih dahulu mendorong pintu tersebut bikin pasangan ayah-anak itu saling pandang sesaat.

"Papa hiks,,, Rega--"

Papa Cahyo tercekat sesaat lalu memeluk putra semata wayangnya tersebut "Ren-Ren,,, udah ya" lirih Papa dengan tangan mengelus punggung Renda, dan bukannya tenang anaknya malah kejer bikin Papa Cahyo kelimpungan panik.

"Udah,,, kamu sebelumnya udah nggak kayak gini, kenapa begini lagi?"

"A-aku salah kalau menganggap orang lain itu Rega?"

"Nope,,, nggak salah, tapi jiwa mereka beda dan dia bukan Rega, jadi jangan menganggap kalau itu Rega, sayang."

"Seharusnya aku yang ketemu Tuhan duluan, kenapa---"

"Papa nggak suka kamu nyalahin diri terus, bukan karena kamu. Bukan."

"Gendong"

Papa sedikit terkekeh lalu menatap ketiga sahabat anaknya didalam sana yang terbengong heran "Maaf ya, Rendanya lagi mode bayi. Kalian disini dulu atau pulang terserah" ucapnya dengan nada menggoda Renda lalu mengangkat Renda dan membawanya kekamarnya dan kamar Mama.

Setelah Papa Cahyo tak lagi ada didepan pintu, Haechan menatap adiknya yang tengah duduk disofa sebrang, "Na...".

"Hmm?"

"Lo kemana aja? Pulang yuk"

Nana manggut-manggut, "Bukan urusan lo dan, apa hak lo nyuruh gue pulang" dia menatap Haechan dua detik kemudian memasukkan ponsel kedalam saku, cowok itu beranjak dari duduknya kemudian pergi.

"Jeksi, tolong nanti jam pulang kerja bokap gue, lo kekantornya, pastiin dimobilnya nggak ada gas air mata atau benda lain!!" seru Nana sebelum pergi.

Haechan terdiam sesaat, "Itu Nana tahu dari mana kalau bakalan ada yang ngasih gituan ke mobil Papa?"

Jeksi terkekeh "Jangan pernah lo sepelein instingnya Nana, atau lo bakal nyesal!"

•••••

"Loh,,,, Adhinatha kan?"

Nana berhenti berjalan untuk menatap pria berpakaian dokter didepannya, "Maaf,,, anda mengenali saya?" tanyanya halus.

"Kamu yang diakuin anak sama Takoya---ah Yuta maksudnya"

"Dokter ini yang periksa aku pas di kafe?" Nana balik nanya.

Tala tersenyum dan mengangguk "Kamu udah sembuh?"

"Obat dari Dokter sangat membantu, nanti saya temui Dokter jika ada yang salah dengan tubuh saya"

"Anak pintar, Dokter suka. Kalau ada apa-apa hubungi Dokter ya" Tala menyerahkan kartu namanya pada Nana yang langsung diterima oleh cowok itu.

"Dokter ini psikiater? Kok disini tulisannya onkologi?"

Tala tersenyum "Spesialis onkologi dan psikiater. Tapi saya lebih ke onkologi, dan hanya menangani pasien seperti kamu jika kepepet butuh uang"

Nana ternganga "Wah,,, berarti nanti saya bayar mahal dong. Dan IQ Dokter berapa? Wah beneran, saya yang biasanya bangga sama dua teman saya sekarang insecure"

Tala tertawa, tangannya terulur mengusak rambut Nana. "Kemampuan orang itu beda-beda, jadi jangan merasa kurang dalam diri kamu, bahkan orang pintar pun kalah dengan orang cerdik, belum tentu kepintaran itu mendorong kamu untuk bahagia, karena didunia banyak sekali orang pintar. Maka Dokter sarankan ke kamu supaya kamu jadi orang baik, bukan orang pintar"

"Kalau saya orang pintar, pasti banyak yang sewa jasa saya buat ngepet, Dok." sahut Nana disertai cengiran andalannya bikin Tala sedikit emosi sih, tapi dia tahan.

"Bisa-bisanya kamu sama nyebelinnya dengan Yuta. Oh iya, semua biaya kamu ditanggung sama dia, jadi tenang aja, santai. Gitu-gitu dia masih Liu"

Alis anak 17 tahun itu menyatu, "Liu?? Maksud Dokter?" tanyanya bingung, Nana masih ingat betul jika Om-Om itu mengatakan padanya jika namanya 'Yuta, Nakajima Yuta'.

"Kamu tahunya Nakajima kan? Iya dia itu Nakajima, cuma Ibunya menikah lagi sama Liu, dan dia nggak mengganti marganya ikut ayah sambungnya, dia masih bertahan di Nakajima"

Nana manggut-manggut, "Dokter tahu segalanya ya, udah kayak admin akun gosip"

Wajah Tala sedikit berubah "Nyebelin beneran ternyata" ujarnya datar.

Nana nyengir "Dokter marah? Aduh cute banget, tadi masih senyum ke saya, sekarang wajah Dokter udah kayak mau makan saya"

Wajah Tala berubah sangat datar sedatar datarnya datar "Saya permisi" ujarnya lalu pergi dari hadapan Nana yang malah ngakak.

Nana menatap punggung Sang dokter sambil tertawa "Dokter pendek lucu amat. Tapi Liu yang dimaksud itu apa keluarganya Ama ya? Tapi kan banyak yang pake marga itu di Indonesia." gumamnya lalu menggelengkan kepalanya dan lanjut berjalan dilorong rumah sakit itu menuju salah satu ruangan.

Nana membuka dan masuk pada ruangan nomor 203 begitu saja tanpa permisi pada penghuninya didalam, dan ketika matanya menangkap sosok Felix sedang berbaring diatas brankar Nana justru ngakak keras, Felix disana melongos sebal pada sahabatnya yang satu itu.

"Ngapain sih datang-datang ngakak?"

"Pak Beni ogah punya model bentukannya kayak lo!" sarkas Nana sambil mendekati Felix dan duduk dikursi dekatnya.

"Lo pikir gue nggak tahu kalau yang bikin gue kayak gini itu lo!?" desis Felix.

Nana hanya nyengir "Ya sori, salah siapa mau sabotase rumah Aeera Laksa"

"Sumpah, namanya bikin mual. Lagian kenapa sih sama tuh cewek? Dia udah bikin nyokap sama bokap gue pisah"

"Bukan, bukan dia yang bikin orangtua lo cerai"

"Cewek itu nggak sebaik yang lo kira, Nath!!"

"Iya gue tahu, tapi emang bukan dia"

"Bisa kasih bukti?"

"Lo sembuh dulu, nanti gue kasih tahu gimana aslinya bonyok lo"

Felix menyirit "Maksudnya?"

"Emang ada sangkutannya sama cewek itu, tapi bukan itu masalahnya. Nanti lo tahu sendiri, gue pamit. Cepat sembuh---ah nggak, mati aja nggak apa-apa gue ikhlas kok, nanti job lo bisa gue ambil"

"Kurang ajar lo, mana kesini nggak bawa apa-apa, ngata-ngatain lagi, bangke!"

¹³

"Maaf, Om"

"Jeksi??"

"I-itu,,, anu, Nana nyuruh aku mastiin nggak ada gas air matanya dimobil Om"

Jay terkekeh "Udah Om beresin sendiri. By the way, Nana baik-baik aja kan?"

Jeksi mengangguk "Tadi sehat luar biasa. Maaf sebelumnya, tapi Nana kenapa?"

"Mentalnya dia sejak kejadian bunuh diri salah satu teman seangkatan kalian itu sedikit terguncang. Jadi tolong jaga perasaannya dia"

"M-memangnya Om nggak bisa?"

Papa Jay tersenyum getir "Dia masih marah sama Om"

"Maaf??"

"Udahlah,,, intinya Nana ngambek sama Om, nanti kamu coba minta alamat apartemennya yang baru kalau kamu mau main kesana. Om pamit ya, Jeksi. Makasih udah jalani tugas dari Nana" Jay memasuki mobilnya dengan tenang.

"Iya, Om. Hati-hati"

"Kamu juga"

Hari ini, Jay tak langsung pulang kerumah, melainkan pulang kerunahnya Dory. Entahlah, tetapi yang jelas Dory meminta dirinya untuk kerumah, Jay mah iya-iya aja, soalnya istrinya Dory kalau ada dia baiknya minta ampun, semua jenis kue kering dan makanan ringan lainnya tersaji apik dimeja, mana rasanya ulala endulita semua. Pokoknya sampai bikin Dory cemburu dan bertanya jika 'Suami kamu itu aku atau Jayekti sih, Beb?' dan dengan santainya si Bebeb menjawab 'Kalau bisa dapatin Jay kenapa nggak'.

Setibanya dirumah Dory, Jay disuguhi pemandangan Shasya sedang bermain dengan seekor anjing berwarna putih bersih diteras. Jay tersenyum ketika gadis itu juga tersenyum kearahnya, lalu dia berjalan lebih cepat untuk menghampiri gadis cantik putri sulung Dory itu "Hai, Shasya. Kabarnya gimana?" sapanya.

"Hallo, Om. Aku baik dong, ditambah ketemu Om, malah makin baik" gadis cantik itu tersenyum kuda kearah Jay yang terkekeh dan bergerak mengusap rambutnya.

"Namanya siapa?" tanya Jay.

Shasya memeluk anjing itu sayang "Namanya Vivi, bagus kan?"

"Betina?"

"Jantan, Om. Tapi namanya Vivi"

"Kenapa?"

"Biar sama kayak punya Oh Sehun"

"Om Segun siapa?"

Shasya mendengus "Oh Sehun, Om. Bukan Om Segun"

Jay hanya manggut-manggut, dia nggak kenal dengan Oh Sehun itu, menurutnya namanya aneh. Dia menatap pintu utama yang terbuka lebar, "Papa ada, Sya?" tanyanya lagi.

"Ada, Om masuk aja, nanti diruang tamu ada---"

"Ada Papanya?"

Shasya menggeleng "Ada Gavin lagi main game"

Jay mendengus, sepertinya bakat nyebelin Dory itu sepenuhnya turun ke anak gadisnya, berbeda dengan Gavin---adiknya Shasya yang kalau nggak ditanya duluan jangan harap bisa dengar suara cowok itu. Tidak lagi menghadapi Shasya, Jay masuk begitu saja kedalam rumah, dan benar jika ada Gavin sedang tiduran di sofa dengan ponsel miring dan airpod ditelinga.

Jay kira beneran main game, lah pas dia intip ternyata nonton---kalau nontonya film aksi, atau minimal acara musik gitu masih Jay wajarkan, lah ini anak laki-laki seorang Dory yang biasanya sangar kok nonton drakor?? Jay mencolek bahu anak itu sambil nyengir, sementara Gavin gelagapan panik ketahuan nonton drakor.

Pemuda itu menggaruk tengkuknya "Om, hihihi."

Jay yang awalnya berjongkok didekat sofa itu berdiri dan duduk disingle sofa belakangnya "Gavin, hihihi." balasnya.

"Ehe,,, Om"

"Ehe,,, Gavin"

"Om, hehe"

"Gavin, hehe"

Wajah cowok seumuran Nana itu memerah malu beneran, "A-aku panggilin Papa dulu ya, Om"

"Panggil---"

"Nggak usah, Papa udah disini." sahut Dory tiba-tiba nongol dari balik tembok.

Gavin berdiri "Yaudah aku naik, dadah, Om"

"Eh bentar dulu, kamu kan dekat sama Adhinatha, jadi tahu dong tentang dia?"

"Dekat gimana? Aku kalau sama dia cuma dijadiin babu" dengkus Gavin sebal.

"Kok gitu?" Jay bertanya bingung, sekaligus penasaran.

Gavin membuang napasnya "Iya, Natha itu ingat aku teman kalau dia lagi butuh bantuan doang, Om" jawabnya kelewat jujur.

"Sama dong, boy. Papa juga cuma dijadiin babu sama bapaknya Natha" Dory menepuk bahu anak bontotnya.

Sedangkan Jay hanya melongos, tangan kanannya mengambil keripik dari atas meja, 'Lah kan gue atasan lo, goblok!!' geramnya dalam hati.

Setelah Gavin menghilang dibalik tembok, Dory memasang wajah serius menatap Jay didepannya, "Ekhem,,, jadi gini" basa-basinya.

"Langsung aja, Bang!"

"Oh, jadi ini sebagai sahabat, bukan sebagai atasan?"

"Karepmu!"

"Pas gue kesana, Nana baik-baik aja, sehat walafiat, apartemennya juga terawat rapi---yang pasti mewah, nggak kekurangan makanan, pokoknya hidupnya enak. Dan dia punya permintaan"

"Apa?"

"Beliin anjing buat dia teman, sama minta tolong sama gue buat ambilin hoodie ijo kesayangan dan piyama kelinci kesayangan, udah itu"

"Ha??"

"Kenapa?"

"Gue kira permintaannya itu agak waras dikit"

"Lah emangnya itu nggak waras? Oh iya,,, dia beli motor baru, dan uangnya dia ambil dari lo"

"..."

"Nana ambil uang lo di laci sebanyak 500 juta cash buat beli apartemen dan motor baru, pinter ya anak lo" Dory terkekeh sebelum melanjutkan "Lo nggak sadar duit setengah M lenyap?"

Jay menggeleng "Nggak sadar beneran, itu duit cash mau gue masukin bank, dan pas di bank jumlahnya cuma 1,2 M. Gue kira emang cuma segitu, nggak ada yang ilang"

"Pusing gue dengernya. Dan satu lagi yang lebih mencengangkan"

"Apa?"

"Nakajima Yuta itu, ayah angkatnya Nana disana"

"APA??"

"Dan dia bilang kalau Nana itu keponakannya"

"Ha???"

"Benar kalau dia itu Abangnya Rossa?"

"BUKAN,,, BUKAN, NANA BUKAN KEPONAKANNYA!!!"

•L A K S A N A•