webnovel

Laksana

Adhinatha Laksana Bahuwirya, bukan manusia biasa, tapi bukan juga Iron Man

GwenXylona_ · Teenager
Zu wenig Bewertungen
26 Chs

Laksana | 07

•L A K S A N A•

"Lo nggak apa-apa??"

"Yang sakit dia, nyet. Gue mah sehat luar biasa" Haechan menunjuk Nana diatas ranjang dengan dagu ketika Jeksi justru bertanya pada dirinya, aneh si Jeksi ini.

Renda kemudian mendekati Nana, dilihat dari wajah anak itu yang babak belur memang wajar sih sakit, kemarin Nana nyaris digebukin pake balok kayu kalau anak-anak nggak ikut nyerbu Mark dan antek-anteknya. Biasanya Nana tidak mudah dikalahkan, tapi kemarin sepertinya Nana sedang banyak pikiran atau bagaimana Renda tidak tahu, yang jelas kemarin Nana lesu, tak seperti biasanya.

Tak lama Nana tiba-tiba terbangun, cowok itu terbatuk dan mengisyaratkan Renda untuk mengambilkan minum diatas nakas yang tentu saja Renda ambilkan. Nana terlihat memegangi perutnya dan sesekali dahinya terlipat dan meringis.

"Gila, lo kenapa? Rumah sakit aja yuk" ajak Renda setelah melihat Nana seperti itu.

"Bangsat lo Chan" Nana menatap sinis Haechan yang duduk di sofa, tapi yang ditatap cuma cengar-cengir seolah tak punya dosa.

"Lo apain, Chan?" Jeksi yang bertanya dari kursi game Nana.

Haechan nyengir "Gue kasih makan mie instan sama soda"

Renda dan Jeksi melotot kaget, ini manusia otaknya kemana?

"Wah si bangsat beneran, ngapain lo kasih orang sakit makan gituan???" Renda jadi emosi.

"Salahin dianya mau"

"Namanya juga sakit, pasti maulah dikasih yang aneh-aneh gitu, orang mulutnya aja pait" sahut Jeksi.

"Ih nggak ada otak, tambah sakit yang ada, gila lo!!" Renda beneran emosi, ya kali orang sakit dikasih soda, mana Nana itu orangnya emang suka cari penyakit.

"Gue kan awalnya nggak ngasih, tapi dia yang nyamper terus minta, salahin aja terus"

Tatapan tajam Renda yang awalnya untuk Haechan itu berubah ke Nana, begitu pula Jeksi, tapi Nana-nya hanya tak acuh dengan meraih ponsel diatas nakas. Sejujurnya tadi dia mimpi Ama hinga dirinya terkejut dan terbangun dan malah sakit perut plus mual.

"Na!! Gue nggak tahu lagi---"

"Gue harus pergi, kalian sono pindah hunian dikamar dia!" Nana beranjak memotong perkataan Renda, bikin tiga lainnya melotot tak percaya.

"Lo jangan ngadi---"

"Kemana???" Haechan mode galak on.

Nana menatapnya sinis "Kepo" ujarnya sedikit sadis lalu mengangkat panggilan telfon dari ayahnya "Hallo, Pa?"

"Padahal Papa mau bayarin uang pinaltinya"

"Jangan, aku bisa kesana sekarang."

"Suaramu aneh, sakit?"

"Nggak, tenang aja"

"Kamu kayak lagi sakit, beneran, pengar-pengar gimana gitu"

"Ish si Bapak, nggak ada kayak gituan, aku tutup ya, bye"

Setelah panggilannya berakhir, tepat saat dirinya berdiri didepan pintu kaca kamar mandi, Nana berbalik menatap tiga manusia lain dikamarnya "Ngapa liat-liat??!"

"Lo mau kemana?" Jeksi bertanya, nadanya lembut kayak puding.

"Bukannya kemarin lo marah-marah nggak jelas ya"

"I-itu, maaf"

"Secara nggak sengaja, lo yang bikin gue kayak gini"

Jeksi menatap Haechan bingung, cowok berkulit gelap itu juga menatapnya bingung, keduanya persis seperti pasangan perjodohan demi harta. Kemudian Jeksi menghela napas "Kemarin gue lagi sama Mbak Swy, dia lagi PMS, gue yang susah" elaknya.

"Kalau mau bohong tuh mbok ya yang nalar dikit" tukas Nana lalu masuk kedalam kamar mandi untuk mandi, bodohnya tidak ada yang mencegah, terlalu sibuk pada pikiran masing-masing.

¹³

"Ini kok lipstik semua?"

"Nggak kok, itu emang ada lipstik, tapi ada lip gloss, lip balm, lip tint, lip krim, lip primer, lip liner, lip stain, sama lip serum, sama lip plumer" jawab Mbak penata riasnya.

Haechan tercengang sesaat "Semuanya dipakai?"

"Ya nggak, cuma yang diperlukan aja sesuai kondisi. Adhinatha hari ini pucat banget, agak tebal make up-nya"

Nana hanya mengangguk pasrah saat wajahnya mulai dipoles. Sementara Haechan dengan wajah polosnya yang penasaran itu menatap terus bagaimaba si Mbak mendadani si adek. "Wajah lo emang sepucat itu sih, Na. Kelihatan tau" gumamnya.

Mbaknya mengangguk "Kamu sakit? Mending jangan dipaksain deh"

"Aku nggak apa-apa"

•••••

"Pengen gue cakarin" guman Jeksi.

Renda manggut-manggut "Pengen gue gampar"

Jeksi kemudian menatap Renda "Tapi cewek, cantik lagi"

"Cantik luarnya doang"

"Tapi kan yang dilihat orang luarnya doang"

"Iya juga, termasuk Nana. Buta matanya"

"Benar kata pujangga, cinta itu buta"

"Salah, kata pujangga itu 'Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga'. Hobah!!"

Jeksi tidak menyahut, kembali menatap Laksa yang sedang bersama bapak-bapak tajir disana, siang-siang begini beraninya Laksa seperti itu, apa nggak takut ketahuan sama pacarnya.

"Kalau mau yang tajir padahal disekolah banyak, bahkan Nana suka sama dia, kenapa nggak Nana aja yang diporitin. Atau anak lumba-lumba itu, si Cello"

Renda menepuk kepala Jeksi "Ya bagus lah dia nggak morotin Nana, gimana sih"

"Ya tapi kan kalau dia ngotak, harusnya milih Nana yang jelas-jelas suka sama dia, ngapain malah sama Om-om bentukannya kayak onde-onde gitu"

"Onde-onde hahaha, enak tuh. Balik yuk"

Dua remaja itu lalu berjalan keluar sari kafe, ketika didepan pintu setelah menutupnya dan udara panas mulai dirasakan, mata Jeksi bertemu dengan mata seseorang yang juga hendak masuk kedalam kafe, Jeksi terdiam sejenak, ingin menyapa tetapi ada Renda.

"Jeksi? Kebetulan banget, udah mau pulang?"

Dia duluan yang nyapa, mau tak mau Jeksi harus menanggapi dengan sopan, dia tersenyun "Iya, Dokter kok disini?"

"Kafenya punya saya"

"Oh kirain mau makan siang bareng Suster yang itu, hehe"

"Nanti dinner, kalau lunch nggak terlalu romantis"

Jeksi tertawa "Mari, Dokter. Selamat makan siang"

"Makasih udah datang, lain kali kesini lagi, menunya enak-enak loh"

"Promosi, Dok? Aku sama teman-teman sering kesini kok"

"Yaudah sana pulang, saya udah lapar mau makan, dadah"

Jeksi terkekeh, dokter itu emang nyebelin.

"Kok lo kenal sama dokter? Siapa?" tanya Renda yang sedari tadi hanya diam.

Jeksi gelagapan cari alasan yang masuk akal sedikit "Dokternya Oma"

•••••

"Kok nggak enak"

Haechan menyirit "Enak, bangke. Makanan wuenak gini, anjir. Jadi orang tuh mbok ya bersyukur, masih untung lo bisa makan"

"Bacot, orang tiba-tiba gue kepikiran Papa"

"Papa kenapa?"

Nana meletakkan sendoknya lalu merogoh ponsel dari dalam saku untuk menghubungi sang ayah, perasaannya tak karuan, merasa ada yang terjadi dengan ayahnya. Anak itu menelponnya, panggilan pertama, kedua, dan ketiga tak terjawab membuatnya kian panik. Wajahnya mulai kembali pucat karena takut, namun Nana belum menyerah, ia masih mencoba menelpon kontak 'Jayekti' itu dengan gusar.

Haechan disebrangnya terlihat menatap adiknya bingung, sepertinya Nana memang gampang panik kalau menyangkut orang yang dia sayang, atau emang Nana punya ikatan bantin kuat dengan ayahnya, kendati demikian, Haechan tak mengganggu Nana, masih diam menatapnya dengan sesekali menyuapkan bakso kedalam mulutnya.

Nana makin dibuat panik ketika kontak itu justru tak aktif, hanya ada suara Mbak oprator yang dirinya dengar, Nana betulan panik sekarang. Secepat kilat dia mencari kontak lain, kontak sahabat sekaligus asisten pribadi ayahnya. Sama saja nggak diangkat pada panggilan pertama dan kedua, baru pas ketiga panggilan tersambung. Nana sedikit lega.

"Hallo, Om"

"Hallo, Na. Kenapa?"

"Papa dimana? Aku mau ngomong"

Jeda sangat lama, Nana makin dugun-dugun karena hanya ada suara napas saja, apalagi ketika suara napas itu tak beraturan, terkadang pendek, terkadang panjang, terdengar bimbang. Nana memang se-peka itu, untung aja peka, bukan pekok.

"Papa mana aku mau ngomong, Om!?" tanyanya lagi sedikit keras.

"Maaf, Adhinatha. Papa kamu nggak bisa ngomong sama kamu sekarang"

"Om jangan ngadi-ngadi, disini sore berarti disana tengah malam, jangan bilang dia sibuk!!"

"Papa kamu tidur, Na"

"Ya bangunin dong, udah biasa kan Om bangunin Papa pas aku telpon, bangunin!!"

Dari sana ada helaan napas "Maaf"

Nana menatap nanar Haechan, jantungnya berpacu lebih dari biasanya saat kata maaf terlontar dan terdengar ditelinganya, kata itu terucap oleh bibir seorang pria baik yang justru membuat Nana takut, maaf yang terlontar dari bibir orang baik lebih menakutkan ketika didengar dari pada maaf dari pembunuh ulung.

"Aku mau Papa kenapa Om malah minta maaf? Bangunin Papa aku, Om!!"

"Setelah telponan sama kamu tadi, Papa kamu jatuh, Na"

Hening, Nana tidak tahu harus berbicara apa, bahkan Nana tidak ada  niatan untuk berbicara sebab semua kata-kata yang ia ketahui seakan lenyap, dia tidak bisa merangkainya. Hanya Papa satu-satunya yang ia punya, hanya Papa.

"Om nggak tahu harus gimana, sekarang masih di rumah sakit" lanjut si Om bikin Nana makin puyeng.

"P-Papa kenapa?"

"Kamu tenang, Jay kok sakit, ya nggak kuat, Na. Nanti Om kabari lagi"

"A-Aku susulin---"

"No no, kamu disana jaga diri baik-baik, Om jagain Papa kamu"

"Tapi---"

"Nanti Om kabari lagi, jangan terlalu dipikirin nanti kamu ikut sakit."

Nana mengangguk pasrah lalu mematikan sambungannya. Dia kemudian kembali menatap Haechan yang juga sedang menatapnya dengan alis terlipat.

"Papa kenapa?"

Nana menggeleng "Cabut"

"Loh loh,,, baksomu gimana?"

"Ayo cabut!!"

"Astagfirullah takut. Yaudah ayo tapi bayar dulu"

¹³

"Gue saranin nih ya, Dek. Gue bukan Mario Teguh, tapi gue juga pengen kayak dia yang ngasih banyak motivasi. Menurut gue, kalau lo ada masalah atau ada yang lo pikirin, jangan lampiasin itu semua ke diri lo sendiri"

Nana tidak menyahut, terlalu ogah buat naggepin perkataan Haechan yang menurutnya hanya copy-an dari google.

"Kalau ada apa-apa tuh ya cerita, lo nggak bisa pendam sendiri, lo sendiri yang bilang kalau kita makhluk sosial. Kalau ada sesuatu terua lo lampiasin kediri sendiri kayak gini, yang ada lo sakit, bukannya masalah itu selesai malah nambah-nambahin masalah"

Nana bergeming tak menoleh, menatap kendaraan lain yang mendahului mobilnya.

"Setiap makhluk itu punya tugas, sama kewajibannya sendiri-sendiri. Termasuk kita manusia, manusia itu tugasnya ringan, hanya mengikuti perjalanan takdir yang Tuhan buat. Sementara kewajibannya juga mudah, makan, minum, bobo, dan napas aja udah. Tahu bedannya tugas sama kewajiban?"

Nana menggeleng.

"Tugas itu sesuatu yang harus lo lakukan secara logis, dan efektif. Ketika lo berkewajiban akan sesuatu, pasti lo punya tugas atas kewajiban itu, tugas itu sifatnya logis, bisa lo nalar. Tapi kalau kewajiban itu sifatnya tetap, lo nggak bisa nebak bakal gimana nanti kewajiban lo dihari berikutnya, hari ini kewajiban lo sholat Jum'at karena hari Jum'at, beda lagi besok hari sabtu kewajibannya beda lagi"

Nana kini menoleh, menyamankan posisi duduknya dan dengan serius menatap Haechan, disana Haechan tersenyum "Tapi satu yang diambil dari kewajiban, kewajiban kita sebagai makhluk Tuhan adalah mengamalkan amalan baik, sholat, puasa, zakat, dan masih banyak lagi. Disamping kewajiban sebagai makhluk Tuhan, kita punya kewajiban sebagai manusia, simple, hanya bernapas, makan dan minum juga bobo."

Alis Nana terangkat satu bikin Haechan tertawa sejenak lalu kembali berkata "Intinya, kewajiban adalah sesuatu yang harus lo lakuin dan nggak bisa lo tinggalin, kalau sampai lo tinggalin akibatnya nanti akan fatal. Disini lo ninggalin makan, akibatnya banyak, lo bisa kena maag--tapikan lo emang punya maag, bisa masuk angin, bisa kelaparan, banyak kasus kematian karena kelaparan loh, Na"

"Gembel"

Haechan tertawa "Makanya mau se-buruk apapun masalah, yang namanya kewajiban tetaplah kewajiban, makan itu wajib buat lo--buat kita, disaat lo ada masalah bukan berarti lo bisa ninggalin gitu aja."

Nana hanya mengangguk, dia kemudian kembali menatap jalanan yang mulai gelap, ingin sekali tidur diatas kasur.

"Nanti gue bikinin" ucap Haechan random.

"Apaan?"

"Sesuatu. Oh iya, Mama pindah tugas, kemungkinan besar Mama ada buat kita" Haechan tersenyum dengan tangan terulur untuk menyentuh dahi Nana "Masih anget, tapi nggak apa-apa, lo kan setrong, kuy jalan"

"Hah??"

Haechan cuma nyengir "Pak tolong ketempat bazar ya" pintanya pada Pak Sopir.

Nana pasrah, lagian di bisa nunggu dimobil kalau Haechan mau ke bazar, bazar apaan emang? Nana nggak tahu, bodoamat.

Sementara Haechan kini senyum, senyuman penuh arti. Haechan itu tipe anak nakal dan tengilnya nyebut banget, tapi dia punya sisi dimana dia bertanggung jawab akan sesuatu, sedari kecil Mama mengajarkan padanya tentang tanggung jawab juga kejujuran. Jika iya maka harus mengatakan iya, begitu pula sebaliknya. Haechan menyayangi Nana, maka dia mengatakan dengan gamblang jika ia menyayanginya, kata Mama cara menyayangi orang itu berbeda-beda, termasuk Haechan, kata Mama Haechan adalah orang yang akan melakukan apapun untuk orang yang dia sayang, entah itu baik maupun buruk.

Cara Haechan menunjukkan kasih sayang juga berbeda, terkadang dengan kejahilan, terkadang dengan pertengkaran, terkadang dengan kasih sayang sungguhan seperti sekarang, Haechan tidak bisa ditebak, itu intinya.

Dan Nana pun mengakuinya.

"Setelah lihat lo kayak gini, gue jadi punya tekad"

Nana tak menyahut, hanya berdehem untuk menanggapi.

"Wajah lo galak, itu Tuhan kasih untuk menutupi segalanya, gue tahu lo dengar semuanya, kuping lo merah tadi. Mending turuti aja kemauan Papa, bayar uang pinalti kontrak"

Nana menggeleng "Gue nggak apa-apa"

"Siapa yang bilang lo kenapa-napa? Nggak ada. Dengan jawaban lo yang kayak gitu, justru bikin gue yakin lo kenapa-napa. Tekad gue cuma satu, selain bernapas lebih lama"

"Maksud lo?"

Haechan tersenyum "Jadiin lo prioritas. Gue sayang lo, Abang sayang sama Adeknya"

"..."

"Gue tunggu, nggak apa-apa, gue tahu"

•L A K S A N A•