webnovel

Babak Pertama: Impianku

Suryana Pradipta. Itulah namaku, nama yang menurutku terdengar sangat bagus. Dipta, begitulah orang tua dan teman-teman memanggilku. Entah darimana inspirasi orang tuaku di 29 tahun yang lalu, sehingga mendapatkan nama yang kini menjadi identitasku.

Mencari arti Pradipta di belakang namaku itu, aku berprasangka baik, kalau maksud orang tuaku memberiku nama itu, mungkin, ingin aku bermanfaat bagi setiap orang di masa depan. Dan mungkin, teka-teki arti namaku ini akan terkuak di dalam kisahku yang akan kusajikan ini.

**

Selama aku menjalani masa sekolah, tak pernah terpikirkan sedikitpun dalam benakku, kalau aku ternyata harus mencintai salah satu kegiatan alam yang sangat menantang.

Mendaki gunung. Ya, mendaki gunung adalah hal ekstrim yang kucintai kemudian, yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Tepatnya saat aku mengenyam masa kuliah, aku diracuni oleh Yoyo—teman sekelasku, untuk mendaki gunung bersamanya.

"Dip, lihat nih bagus-bagus banget kan pemandangannya?" masih kuingat, racun Yoyo yang pertama kuterima ketika kami masih berada di dalam kelas dengan mata kuliah "Komunikasi Data".

Untungnya, Pak Yudhi, dosennya yang terkenal galak itu, tidak menyadari kalau aku dan Yoyo tengah memperhatikan hal yang lain, dan mengacuhkan mata kuliahnya yang sedang berlangsung itu.

"Dimana itu, Yo?" tanyaku berbisik penasaran menandakan racunnya sudah sedikit menembus sanubari.

"View puncak Cikuray, Bro." Jawab Yoyo seraya melebarkan senyumannya.

"Kesana yuk?" lanjutnya.

Aku tidak langsung menjawab ajakannya itu. Aku langsung mengalihkan pandanganku kepada Si Dosen Galak itu, karena sebenarnya aku takut dan tidak enak jika nanti Pak Yudhi menyadari kelakuan kami, sehingga dia akan mengeluarkan kami dari ruangan secara paksa.

"Keluar dari kelas saya!!!" itulah kata-kata yang kutakutkan yang selalu kudengar jika ada mahasiswa yang macam-macam di kelasnya. Aku hanya mengisyaratkan kepada Yoyo untuk melanjutkan pembicaraan setelah mata kuliah selesai. Syukur, Yoyo mengerti apa yang kuisyaratkan.

Di luar kelas setelah mata kuliah selesai, aku yang berhasil diracuni Yoyo, langsung antusias menyambut ajakan itu. Hanya saja, aku masih tidak berani jika kami mendaki hanya berdua.

Yoyo yang mengerti kekhawatiranku itu, memintaku untuk mengajak teman-teman kelas yang lain. Dan ajaibnya, setelah aku ajak teman-teman yang lain, mereka yang ikut bertambah banyak, total yang akan mendaki Gunung Cikuray menjadi enam belas orang.

2014 menjelang akhir tahun adalah kali pertamanya aku menginjakkan kaki di tanah tertinggi, di kota Garut itu. Bersama semua temanku yang ikut kala itu, semua terasa menyenangkan.

Mendaki gunung, bagai mengandung senyawa kafein yang dapat membuatku kecanduan dibuatnya. Semenjak itu, aku semakin ketagihan untuk terus mendaki gunung-gunung yang lain. Bahkan, aku dan Yoyo dipercaya sebagai orang yang memiliki komando akan kegiatan-kegiatan pendakian di kelasku.

Cikuray berlalu, April 2015, aku mengajak teman-temanku kembali untuk menyapa indahnya puncak tertinggi Jawa Barat, Gunung Ciremai, Gunung yang katanya terkenal angker seantero Jawa Barat.

Sayang seribu sayang, sebagian orang yang ikut ke Cikuray sebelumnya, tidak bisa ikut pendakian Gunung Ciremai, disebabkan oleh kesibukan PKL—Praktek Kerja Lapangan kala itu, sementara aku dan teman-teman yang masih melakukan pendakian, belum mendapat tempat untuk PKL.

Ah muncak dulu, PKL kemudian, itu mottoku dulu. Sehingga kami masih bebas menginjakkan kaki dimana saja.

Tapi apapun itu, aku bersyukur karena saat pendakian Ciremai, aku tidak mengalami hal mistis sama sekali. Tidak seperti apa yang sering diceritakan oleh orang-orang tentang Gunung Ciremai.

Hoax? Tidak, aku tidak berprasangka seperti itu. Hanya saja, apa yang kami alami selama di Ciremai, semuanya baik-baik saja, kami semua merasa senang, dan bersyukur dapat kembali dengan selamat ke rumah masing-masing.

Memang sih, ada sedikit pelajaran berharga yang kudapat dari mendaki Gunung Ciremai. Pelajaran itu datang dari temanku, Adi, ketika dia mengalami hipotermia hebat karena harus rela hujan-hujanan di Gowa Walet, untuk sekadar mendirikan tenda.

Tubuh Adi ketika itu perlahan menjadi dingin. Kami semua sempat panik. Menurut penuturannya, dari kaki sampai bawah dadanya mati rasa, dan Adi mengaku kalau dia sudah merasa ikhlas jika harus mati sore itu.

Bayangkan saja!. Tubuhnya basah kuyup terkena air hujan, dan ia tidak bisa mengganti pakaiannya karena air hujan masuk ke dalam tenda dan membasahi carriernya, sehingga membuat semua baju gantinya pun basah kuyup, dan lebih parahnya lagi, dia mengalami keadaan seperti itu selama kurang lebih 6 jam sebelum akhirnya dibawakan teh hangat oleh Haris yang peduli dengan keadaannya.

Memang salahnya juga, Adi sangat minim persiapan dan hanya membawa jaket tipis. Sedangkan teman-temanku yang lain, membawa perlengkapan yang memadai sehingga keadaan dingin pun dapat teratasi.

"Bro, besok pagi kita gak usah ke puncak yaa!" Hahaha, kata-kata itu masih terngiang di telingaku dan menjadi bahan candaan setiap kami bertemu. Hari itu Adi mendadak cengeng. Dasar, Adi, padahal kita sudah capek-capek mendaki dari Pos 1 Apuy ke Gowa Walet.

Kenangan demi kenangan mendaki gunung, sedikit-sedikit mulai tertulis di dalam lembaran kehidupanku. Bahkan sebelum kelulusan dan kesibukan menghampiriku, Aku selalu menyempatkan diri untuk menikmati indahnya gunung-gunung yang lain. Bukan hanya di kawasan Jawa Barat, beberapa gunung di Jawa Tengah pun sudah pernah aku daki.

Tentu, selama itu pula aku mendaki gunung, Yoyo selalu ada. Aku dan dia seperti tidak dapat dipisahkan kalau urusan mendaki gunung. Selalu bersama, dan selalu menuai cerita. Sebenarnya, masih ada satu gunung di Jawa Tengah yang belum aku daki. Yaitu Gunung Merapi. Ingin sekali aku menginjakkan kaki disana bersama sahabatku itu. Hai Merapi, kapan aku bisa menyapamu?.

***

[Berbulan-bulan kemudian...]

Dalam kantukku yang sudah sangat terasa dan langit malam minggu yang semakin menghitam, aku berniat untuk memode pesawatkan HP-ku yang ku simpan tak jauh dari kasurku ini.

Secara tak sengaja, aku melihat notifikasi Whatsapp dari Yoyo yang berisi ajakan mendaki Gunung Merapi. Gak salah nih?. Kukucek mataku untuk memastikan setiap baris kalimat yang tersaji dalam pesan itu.

Masih dalam perasaan tak percaya, ternyata benar bahwa itu adalah ajakan Yoyo kepadaku untuk mendaki Gunung Merapi. Rasa kantukku mendadak hilang, berganti dengan perasaan bahagia yang tak terkira. Karena kebetulan juga kuliahku sudah beres dan masih dalam keadaan menganggur, tak pikir panjang, aku menyetujui ajakannya.

Aku ingin, kebahagiaan ini tidak kurasakan sendirian, sehingga, aku mengajak beberapa teman semasa kuliahku yang masih ready untuk diajak mendaki: Ibang, Gundil, Mulki, dan satu orang saudaraku, Kucay. Hanya itulah dari sekian banyak dari teman-temanku yang masih belum mendapatkan pekerjaan, termasuk aku dan Yoyo.

Akhirnya, beberapa purnama sudah aku menanti kesempatan mendaki Gunung Merapi, kesempatan yang sangat jarang bagiku. Meskipun sebenarnya, ada sedikit was-was di dalam diriku karena setahun sebelumnya, ketika aku melihat berita, adanya pendaki yang tewas masuk ke dalam kawah karena terpeleset ketika ia hendak selfie di Puncak Garuda. Rasa was-wasku itu ternyata menghinggapi sanubari ibuku juga.

"Kamu gak usah ke merapi ya, Nak! Ibu khawatir." Bukannya aku ingin membangkang perintah ibuku. Namun, mengingat ini kesempatan langka bagiku, dan mungkin bisa saja ibuku belum mengetahui bahwa sebenarnya, ada kiat-kiat bagi kita para pendaki untuk tetap safety dalam pendakian.

Kekhawatiran ibuku itu berusaha aku obati dengan penuh keyakinan dan cinta. Aku hanya bilang, kalau aku akan baik-baik saja dan tidak akan macam-macam selama disana. Memang butuh waktu agak lama bagi ibuku untuk mengerti. Namun pada akhirnya, hatinya luluh dan terucap kalimat dari bibir manisnya, "Semoga kamu dijaga Allah, Nak." Ibuku mengizinkanku. Yes !!

Hari itu hari Senin. Masih ada waktuku untuk mepersiapkan semua perlengkapan, dari mulai membawa peralatan memasak sampai memesan tiket keberangkatan kereta dari stasiun Kiaracondong menuju stasiun Lempuyangan.

Seperti biasa sebelum keberangkatan, aku selalu meminta semua orang yang akan ikut mendaki, untuk berkumpul di rumahku, menyamakan persepsi setiap orang dengan berkoordinasi, supaya semua persiapan betul-betul matang.

Aku tidak ingin pendakian hanyalah sekadar pendakian biasa, tanpa persiapan mental yang betul-betul matang dan perlengkapan yang memadai. Karena itu bisa membuat kami semena-mena terhadap alam. Aku ingin menyatukan semua rasa, sehingga kami dapat bersahabat dengan alam.

"Gue ajak dua orang lagi ya, Dip, masih bisa kan?" Sahut Mulki.

"Siapa aja, Ki?" Tanyaku

"Pacar Gue si Desti, sama temen SMA Gue, Ega." Jawabnya.

Aku melirik ke arah Yoyo yang duduk di depanku. Dari isyarat matanya, aku dapat menangkap, Yoyo membolehkan pacar dan teman Mulki itu ikut pendakian.

"Boleh, Ki, tapi bisa dijamin kan temen Lu itu gak akan macem-macem? kalo Desti sih kita udah tahu semua lah, dia mah gak akan macem-macem." Tanyaku yang sedikit waspada, karena di antara kami semua belum ada yang mengenal Ega kecuali Mulki itu sendiri.

"Gue jamin lah, gak akan macem-macem juga itu orang." Jawabnya seraya meyakinkan kami semua.

Aku lantas meminta nomor identitas milik Desti dan Ega untuk kuisi di dalam formulir pemesanan tiket online. Bersyukur, masih ada kereta yang dapat menampung kami semua untuk menempuh asa mewujudkan impian yang selama ini hanya sebatas khayalan.

Kami mendapat jadwal kereta malam untuk hari Rabu, yang berangkat pukul 7 dari stasiun Kiaracondong menuju Lempuyangan. Koordinasi hari itupun berjalan lancar. Dan sudah diputuskan: Yoyo akan bertindak sebagai leader—karena dia sudah pernah beberapa kali mendaki Gunung Merapi, sedangkan aku menjadi sweeper—orang yang memantau rombongan dan keadaan sekitar dari belakang.

***

Suasana sedikit sesak menghiasi lingkungan stasiun. Di stasiun Kiaracondong sebelah selatan ini, kami semua menapakkan kaki untuk terakhir kalinya di Kota Bandung, sebelum kami semua berangkat menuju Lempuyangan. Aku, Ibang, Gundil, Yoyo, Kucay, Mulki, dan Desti sudah siap dengan semua perlengkapannya.

"Ki, mana temen Lu?" Aku sedikit panik mempertanyakan keberadaan Ega. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, tapi Ega belum juga menghampiri rombongan kami. Di luar mushola stasiun kala itu, Gundil, Yoyo, Kucay, dan Ibang memeriksa kembali barang-barang yang sudah berada di dalam cerrier.

"Bentar lagi juga dateng, rumahnya deket kok dari sini." Jawab Mulki menenangkanku.

"Itu dia." Telunjuk Mulki menunjuk seseorang yang berperawakan sedikit berisi menggunakan kemeja flanel, celana jeans pendek, topi koboy, dan sepatu gunung sambil menggendong cerrier di punggungnya, yang sedang celingak-celinguk di gerbang masuk stasiun.

"Ga, sini!!" teriak Mulki dari mushola stasiun.

Orang itupun menghampiri kami semua. Dia memperkenalkan diri dengan menyalami tangan kami satu persatu.

"Halo Bang, saya Ega." Ucapnya memperkenalkan diri dan kami pun menyambut hangat kehadirannya. Akupun beranjak dari duduk, untuk mengahampiri Yoyo membantunya memeriksa packing-an.

"Bentar lagi keretanya dateng, sini Gue bantuin." Tawarku.

Di belakangku, terdengar percakapan yang menyenangkan antara Mulki dan Ega. Percakapan yang hanya bisa keluar dari sahabat yang sudah sangat dekat. Semua nama hewan di Kebun Binatang, sepertinya sudah disebutkan oleh mereka berdua.

Sementara kulihat, Desti hanya menyandarkan kepalanya di bahu Mulki sambil memainkan Smartphone-nya. Percakapan antara Ega dan Mulki semakin lama terdengar semakin sensitif. Sampai akhirnya, kudengar Ega berkata, "Di Gunung Merapi, kita bisa ketemu setan apa aja, Bro?"

Kami berempat: Aku, Yoyo, Gundil, dan Ibang, seketika berhenti mengotak-ngatik packing-an, kecuali Kucay, dia seakan tidak peduli dengan kalimat itu. Aku terkejut dengan apa yang dilontarkan teman SMA Mulki itu. Serentak, kami berempat menoleh ke arah Ega. Mulki yang menyadari hal itu, segera menenangkan suasana.

"Hush, Lu gak boleh sompral, Ga!" Pintanya kepada Ega.

"Udah, kalian lanjut aja lagi!" Lanjut Mulki.

Kami pun membereskan semua logistik, berharap semua cerrier dapat nyaman dipakai. Tak lama, terdengar pemberitahuan dari pengeras suara stasiun, bahwa kereta tujuan akhir Blitar itu akan segera masuk stasiun Kiaracondong.

"Keretanya bentar lagi dateng tuh, Yuk siap-siap!" seruku kepada rombongan.

Kompak, teman-temanku menggendong cerriernya masing-masing.

"Bismillaah dulu, Guys" Ucap Mulki.

"Ah, Gak usah, kayak mau ngaji aja, hahaha." Timpal Ega sambil mendahului langkah kami.

"Bismillaahirrohmaanirrohiim" Teriak Ibang dari belakang. Aku tahu dia sengaja berteriak begitu karena sudah merasa sedikit kesal dengan sikap Ega. Kenapa dengan teman Mulki itu? Apa dia belum minum obat?

Kami semua berjalan masuk membelah kerumunan yang menghalangi akses jalan menuju peron tempat kereta akan datang menjemput. Kami berjajar untuk menunggu kereta masuk stasiun. Terlihat dari kejauhan, cahaya lampu kereta yang semakin lama semakin mendekat, membuatku tak sabar ingin segera menumpanginya, duduk manis menunggu pemberhentian di stasiun Lempuyangan.

Adrenalinku terus terpacu karena membayangkan langkah kaki ini meniti setiap jalur pendakian Gunung Merapi, sehingga dinginnya Kota Bandung tidak terlalu bisa aku rasakan.

Disamping rasa bahagiaku ini, aku harus tetap waspada kepada Ega. Karena kesan pertama yang aku dapat, tidak begitu baik kepadanya. Terhitung sudah dua kali dia membuatku tidak nyaman, kurasa, teman-temanku yang lain juga merasakannya. Terutama Yoyo. Walaupun dia sedikit pendiam, namun dia adalah lelaki yang sensitif.

Lutut kami saling beradu satu sama lain di dalam kereta. Tempat duduk yang saling berhadapan itu kami isi semua, kecuali Gundil dan Ibang, mereka mendapatkan tempat duduk yang terpisah, tapi tetap satu jajar.

Aku, Mulki, dan Desti mendapatkan nomor duduk ABC11. Desti memilih untuk berada dekat jendela, biar bisa senderan sana sini, katanya. Yoyo, Ega, dan Kucay mendapat nomor duduk ABC12.

Sedangkan Gundil dan Ibang, mendapat nomor duduk DE11 yang tepat berada di seberangku. Sebagian cerrier kami paksakan menjejali tempat penyimpanan barang yang berada di atas kepala penumpang. Sementara sebagian yang lainnya, terpaksa kami masukkan ke dalam kolong tempat duduk.

Kereta api Kahuripan tujuan akhir Blitar, membawa kami meninggalkan Bandung. Sejak keberangkatan kereta, aku melihat Yoyo yang duduk tepat di sebelah jendela terus melamun melihat ke luar jendela gerbong.

"Woy, Yo, kenapa Lu?" Aku menepuk pahanya sedikit keras.

"Ehh, Enggak, Dip." Yoyo terkejut.

"Kita ke toilet dulu yuk!" Serunya dengan suara yang sangat pelan. Akupun beranjak untuk memenuhi permintaan Yoyo.

Yoyo pun beranjak sambil membungkuk melangkahi Ega dan Mulki. Sempat-sempatnya, Yoyo menepuk paha Mulki seraya berkata, "Lu juga, ikut!"

Ada apa dengan Yoyo? Masa kita ke toilet bertiga?, Pikirku.

"Ada yang mau Gue obrolin." Bisiknya, ketika dia berhasil melangkahi Ega, Mulki, dan Kucay.

Aku yang terheran-heran dengan sikap Yoyo, hanya bisa mengikuti langkahnya dari belakang. Kulihat, Mulki bergerak malas. "Ki, buruan, Ki!" ajakku dengan paksa. Mungkin, ada hal penting dan genting yang harus disampaikan Yoyo. Kami bertiga berjalan mengikuti koridor yang ada menuju ujung gerbong.

"Kok, perasaan Gue gak enak ya?" Yoyo membuka percakapan dengan nada dan raut wajah mengguratkan kesedihan.

"Ah, itu Cuma perasaan Lu aja kali, Yo." Timpal Mulki.

Tidak, tidak mungkin itu hanya perasaan selintasnya, aku kenal betul sosok Yoyo. Dia adalah orang yang sangat sensitif. Kalau dia sudah berkata tidak enak, berarti memang akan terjadi apa-apa.

"Lu gak enaknya kenapa Yo?" tanyaku.

"Si Ega, Dip, Gue daritadi gak enak aja ada di deket dia. Gue perhatiin sifatnya juga kayak gitu, semoga aja kita tetep aman pas muncak nanti." Jelasnya.

Aku sedikit mendorong Mulki, "Lu, beneran gak sih si Ega itu anaknya baik-baik?"

"Ya... Yaa.. kayak yang Lu pada lihat aja, dia baik kan?" Ucap Mulki.

"Baik apanya?, orang dari tadi pas di stasiun sikapnya gak dijaga." Aku sedikit memarahi Mulki.

"Yaudah gini aja, Si Ega biar Gue yang tanganin. Gue bakal bilangin dia, supaya dia gak macem-macem lagi, dia pengen ikut banget soalnya, ini pertama kalinya dia naik gunung." Ucap Mulki.

Yoyo sedikit tertunduk, "Repot juga kalo pertama kali, kita yang udah berpengalaman mendaki, harus ekstra ngawasin dia!"

"Lu tukeran aja duduknya sama si Gundil, Yo, gimana?" Usulku.

"Boleh deh"

Kami kembali ke tempat duduk. Kulihat Gundil tengah asyik memainkan Hp-nya. "Bro, duduknya tukeran sama si Yoyo." Bisikku ke telinga Gundil, memintanya bertukar posisi duduk dengan Yoyo. Gundil sedikit terkejut. Dia lantas menuruti permintaanku dan duduk di samping jendela gerbong berhadapan dengan Desti. Yoyo menjadi tepat berada di seberangku. Meskipun sudah bertukar posisi, kulihat beberapa kali Yoyo masih suka melamun.

"Udah Yo, santai aja!" Ucapku menenangkannya.

Sudah beberapa stasiun kami lewati. Terhitung sejak masuk stasiun Banjar, kantukku sudah tidak tertahankan. Akupun memasang alarm tepat pukul 3 pagi karena khawatir stasiun Lempuyangan akan terlewat.

**

"Dip, Dipta, bangun." Gundil membangunkan tidur lelapku.

"Apaan sih, Dil, Emang udah nyampe?" tanyaku dengan mata yang masih terasa berat untuk dibuka sepenuhnya. Namun kulihat, jam masih menunjukkan Pukul 2 dini hari.

"Tadi, Uwa gue yang orang lokal sana nelpon. Katanya, mending jangan muncak pas malam jumat. Orang-orang lokal juga katanya gak berani kalo malam jumat harus muncak." Jelas Gundil.

"Waduh gimana dong?" Mulki ikut terbangun.

Satu persatu teman-temanku ikut terbangun, termasuk Ega.

"Ah itu kan Cuma mitos, Bang." Sahut Ega dengan gampangnya.

"Sssstt!!" Mulki berusaha memperingatkan Ega.

"Yaudah Dil, gini aja lah. Kita bikin simpel. Daripada kita ambil resiko, gimana kalo kita jalan-jalan aja dulu di Jogja gimana? Kebetulan kita belum pernah jalan-jalan di Jogja kan?" Usulku.

"Jalan-jalan aja ya, gak usah jajan." Sela Ibang.

Mendengar usulku itu, semua menyetujuinya. Kecuali dengan Ega, raut wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan dengan usulanku. Bodo amat, pikirku. Anak ini memang sedikit bermasalah sepertinya. Yang penting sebagian besar dari rombongan ini menyetujui usulanku. Jadi, mau tidak mau, harus mau.

Suasana gerbong yang hanya ditemani suara ngorok di setiap penjuru dan suara gesekan rel dengan ban kereta, membuatku terus terjaga. Hingga akhirnya, pukul 4 menjelang subuh, kereta sudah tiba di Stasiun Lempuyangan. Meski tak sedingin hawa di Bandung, aku cukup terkesan dengan kota Jogja.

Setelah kaki ini kupijakkan di atas lantai stasiun Lempuyangan, destinasi pertama yang ingin kukunjungi adalah sebuah mushola.

Setelah menghabiskan waktu dalam kekhusyukan, kami langsung bergerak menuju malioboro menyusuri jalan raya yang masih lengang. Ega tak hentinya mengeluh. Dia terus meracau kesana-sini. Kadang dia bilang kalau kita terlalu percaya mitos lah, gak punya nyali, atau bilang kalau kita sok-sokan.

Meski terus diingatkan oleh Mulki, sepanjang menyusuri jalan besar itu, Ega sesekali masih terus meracau. Memang sepertinya, dia tipe orang yang gak ada kapok-kapoknya.

Ibang yang semula berjalan di belakangku, mendadak mempercepat langkahnya menghampiriku.

"Perlu Gua hajar gak itu anak?"

"Sabar, Bang, biarin aja dia ngerasain akibatnya sendiri. Selow aja kita mah, simpen energi baik-baik buat besok muncak."

Begitulah seorang Ibang. Dia selalu ingin bertindak seketika, ketika ada yang membuatnya kesal. Kebetulan, dia ini adalah pendekar silat, jadi wajar kalau Ibang ingin memberi pelajaran secara fisik.

Beruntung, dia masih menghargai keberadaanku dan Yoyo di rombongan itu. Mungkin, kalau tidak ada kami berdua, Ega sudah menjadi bubur karena menerima hantaman keras dari kepalan Ibang yang sudah menjadi kelereng itu.