webnovel

Hantu Perempuan Rambut Berjuntai-juntai

Pagi ini Ari berangkat sekolah lebih pagi. Dia tidak membonceng ibunya. Pagi-pagi sekali dia sengaja berangkat naik bus. Sampai di sekolah dia cari tempat bersembunyi dekat parkir mobil. Ari berdiri di belakang papan majalah dinding. Tidak akan ada yang melihatnya di situ dan dia leluasa melihat area parkir. Ari masih penasaran dengan Tata. Satu persatu murid-murid berdatangan. Area parkir mulai penuh. Dan satu mobil Mercy warna hitam masuk dan parkir di tempat tak jauh dari Ari. Ari tahu mobil itu. Sopirnya pun keluar membukakan pintu belakang. Ari pun kenal sopirnya. Dia yang selalu mengantar Tata ke klinik psikiatri. Saat Tata keluar dari mobil, dua murid perempuan menyambutnya. Mobil mereka mungkin terparkir di tempat lain. Mereka begitu ceria dan sepertinya sedang menunggu temannya yang lain. Hingga dua anak perempuan datang lagi dan mereka mulai berjalan meninggalkan area parkir sambil bercanda dan tertawa. Ari masih di tempatnya. Anak perempuan itu benar-benar Tata. Ari mulai berpikir Tata sekarang berubah. Karena dulu Tata begitu polos dan lembut. Mungkin karena Tata orang kaya, sekarang dia hanya mau berteman dengan anak yang kaya. Atau Tata sudah sembuh dan tidak melihat hantu lagi?

Ari keluar dari persembunyian menuju kelasnya. Dia sempat melihat anak perempuan yang duduk di bangku depannya. Anak itu keluar dari mobil BMW. Masih memakai jaket yang sama. Tudungnya dipasang di kepala. Ari melihat anak itu begitu misterius. Sampai di kelas, Haki sudah memanggil Ari. Dia ada di sudut kelas, tangannya menggenggam smartphone-nya yang disembunyikan di bawah meja.

"Gue udah edit nih, Ri," Haki memperlihatkan ponselnya ke Ari. Hasil editan video yang Haki ambil di sekolahan kemarin.

"Ini udah di Youtube?" tanya Ari sembari serius menonton video Haki.

"Udah lah! Lihat dong subscriber-nya," Haki menunjukkan angka subscriber-nya di akun Youtube-nya,"Lo subscribe juga dong!"

"Gua nggak punya Youtube," jawab Ari seadanya.

Haki memasukkan ponselnya ke dalam tas karena banyak murid yang sudah mulai berdatangan di sekitar mereka.

"Ri, gambar kamu kemaren keren buat dimasukkin ke mading. Aku kenal pengurus madingnya," kata Haki beralih pembicaraan.

"Jangan Ki," Ari langsung menyahut.

"Lho kenapa? Itu gambar keren banget. Orang pasti pada bertanya-tanya, gambar apaan nih!"

"Justru itu! Ntar orang jadi heboh,"

"Lo gimana sih Ri! Jaman sekarang orang kalau mau terkenal musti bikin heboh dulu!"

Ari masih tidak menggubris perkataan Haki. Sementara bel masuk berbunyi. Pak Riza masuk mengisi pelajaran agama di jam pertama. Ari sempat memperhatikan anak perempuan yang memakai jaket di depannya. Namanya Nara. Ari tahu dari daftar absensi. Tudung kepalanya tidak dipakai. Pertanda dia baik-baik saja. Ari perhatikan di jendela memang tidak ada apa-apa. Pak Riza mulai menjelaskan tentang Keimanan. Kita harus beriman kepada yang ghaib, yaitu percaya kepada Tuhan, Malaikat, Jin, Ruh, Hari Kebangkitan, Alam Kubur, Surga-Neraka, Setan dan yang lainnya. Lalu ada anak yang dijuluki Profesor mulai bertanya. Bukan karena anaknya genius, tapi karena dia cerewet, suka bertanya bahkan untuk hal-hal yang tidak nyambung sama pelajarannya. Anaknya kecil kurus tapi kepalanya besar dan dahinya lebar. Seperti biasa anak yang lain pun jadi pada tertawa karenanya.

"Pak, kalau setan itu kan gaib, tapi kenapa ada orang yang bisa melihat setan?" Profesor bertanya lagi. Kali ini tawa seisi kelas semakin riuh.

Pak Riza pun ikut tertawa, tetapi dia berusaha sabar," kalau masalah itu nanti ada pembahasannya sendiri, tentang jin dan lain-lain, sekarang kita sedang bahas keimanan dulu."

Ari suka mendengarkan pelajaran Pak Riza. Karena orangnya masih muda. Walau masih culun tapi cara ngomongnya Ari suka. Hari ini ada pelajaran dari Pak Riza yang dia catat : Ghaib bukan lawan kata dari wujud, melainkan lawan kata dari syahid atau hadir, yaitu sesuatu yang dapat ditangkap panca indera. Jadi sejatinya yang ghaib dan yang hadir adalah eksistensinya sama sama wujud atau "ada".

Saat istirahat, Ari berjalan di teras kelas menuju toilet. Pagi tadi di kelas, dia tidak melihat anak perempuan melayang dengan kaki hancur. Tapi siang ini dia melihatnya. Dia ada di depan kelas lain. Dari teras, Ari melihat dia sedang melongok ke kelas itu dari lubang ventilasi. Ari sempat berhenti dan terperangah. Ternyata anak itu suka jalan-jalan dari kelas ke kelas. Sampai suara Haki mengagetkannya di belakang.

"Ada apa Ri?" Haki menepuk bahu Ari,"Kamu lihat yang di gambar kamu lagi?"

"Nggak! Nggak ada apa-apa kok," kata Ari menutupi. Dia langsung jalan ke toilet.

Usai sekolah, Ari tidak langsung pulang. Hari ini dia ada kegiatan ekstrakurikuler. Ari ikut ekstrakurikuler melukis. Ari memang suka menggambar, tapi dia belum pernah melukis. Di ruang melukis, ternyata ada satu teman sekelas Ari yang ikut.

"Hai, Ari ya?" Dia menyapa duluan melihat Ari datang.

"Toha ya?" Ari membalas sembari mengulurkan tangannya. Mereka pun bersalaman. Walau sekelas mereka belum pernah ngobrol.

"Toha ini dari SMP sudah maestro melukisnya!" seorang anak di samping Toha menyela. Ari mengira dia temen SMP Toha. "Bakat keturunan dari bokapnya. Tapi bokapnya spesialis pelukis hantu. Dia paranormal terkenal…" Belum sempat anak itu melanjutkan kata-katanya, Toha sudah meninju bahunya dan melototkan matanya ke anak itu. Anak itu pun meringis kesakitan sambil tertawa berseloroh.

Lalu ada Haki masuk ke ruangan. Dia membawa gulungan kertas karton. Di sebelahnya ada sorang anak perempuan.

"Nah ini Ari yang aku ceritakan itu," Haki mendekati Ari dan berbicara kepada anak perempan di sebelahnya. "Ri, ini Rida. Dia pengurus mading baru dari angkatan kita," Haki memperkenalkan anak perempuan bernama Rida ke Ari. Rida mengulurkan tangannya ke Ari sembari menyebut namanya. Ari menyambutnya dan sempat terbata menyebut namanya.

"Iya, Haki bilang kamu punya gambar yang bagus-bagus untuk ditampilkan di mading," kata Rida.

Ari mengangguk pelan lalu memandangi Haki. Haki cuma senyum sok percaya diri.

"Karena saat ini kan kita sedang kekurangan naskah," Rida menambahkan,"Aku perwakilan dari angkatan kita. Kita lagi ditarget nih untuk bisa tampil dua kali seminggu buat mading yang ada di sekitar kelas 10. Makanya aku minta dengan sangat, temen-temen di ekstrakurikuler lukis ini bisa menyumbangkan karyanya. Nanti boleh dikoordinasi sama Ari. Terus naskah bisa diserahkan ke Haki atau langsung ke aku juga boleh."

Lima anak kelas 10 yang ikut ekstrakurikuler melukis spontan manggut-manggut sambil memandangi Ari. Ari masih bengong sambil memandangi Haki. Tapi Haki dan Rida cepat-cepat pamit karena senior-senior ekstrakurikuler melukis sudah berdatangan. Anak-anak senior itu mengajak Ari dan teman-temannya ke gudang lantai 3 untuk mengambil peralatan melukis.

Di gudang lantai 3 Ari dan teman-temannya mengambil peralatan yang diperlukan. Saat mereka keluar, seorang anak iseng mendekat ruang pojok sebelah gudang yang pintunya tertutup.

"Jangan masuk ke sana!" seorang anak senior spontan berteriak. Anak itu pun kaget dan menjauh dari pintu ruang itu.

"Ada apa sih Kak?" seorang anak junior nyletuk bertanya.

"Itu dulu ruang ekstrakulikuler drama. Udah lama ditutup. Nggak ada yang masuk ke sana," kata anak senior yang cepat-cepat berjalan menyusul yang lain. Anak yang lain spontan mengikutinya meninggalkan tempat itu. Ari dan Toha sempat berpandangan. Tapi Ari tidak merasakan apa-apa seperti yang sering dia rasakan.

Keesokan harinya Ari berangkat sekolah membonceng ibunya. Ibunya sempat heran, tumben-tumbenan anak ini mau naik motor bersamanya, masuk sampai ke dalam lagi. Ari sengaja, karena hari ini dia ingin minta tolong ibunya. Dia masih penasaran dengan Tata. Dia ingin memuaskan rasa penasaran yang menganggu pikirannya. Sampai di depan gedung Tata Usaha Ari minta tolong ibunya untuk meminjam Buku Induk Siswa. Alasannya untuk cek, karena ada anak di kelasnya namanya tidak tercantum di absen. Ibunya masih heran, tetapi Ari memaksa.

"Ok, tapi sebentar saja ya. Buku itu nggak boleh sembarang dikeluarin. Mama nggak enak sama yang lain," kata ibu Ari.

"Iya Ma, Ari ngeceknya cepet kok,"jawab Ari serius.

Kantor Tata Usaha masih sepi. Ari duduk di ruang tunggu. Sebentar kemudian ibunya membawa buku yang cukup besar yang berisi data murid sekolah itu.

"Nih, lima menit ya!" kata Ibu Ari.

"Iya Ma!" Ari antusias menerimanya. Lalu ibu Ari kembali ke ruang kerjanya.

Sudah hampir 4 menit Ari membolak-balik buku tebal itu. Keringatnya mulai menetes.

"Udah belum?" Ibu Ari menghampiri.

"Belum Ma, sebentar lagi," pinta Ari sembari melototi buku di tangannya.

"Semenit lagi Ya!"

"Iya!"

Ari menambah konsentrasinya. Tangannya cepat membuka-buka lembaran buku. Sampai di suatu lembar Ari berhenti. Dia menemukannya. Foto anak perempuan yang dia kenal. Foto Tata yang dulu. Yang masih polos. Rambutnya dikepang dua dan ada poni di dahinya. Tertulis nama Tata : Permata Putri. Tata ada di kelas 10-1. Itu kelas kumpulan anak-anak dengan nilai tertinggi. Lalu sesuatu membuat Ari terbelalak. Tanggal lahir Tata : 7 November 2004. Itu tanggal kelahirannya. Ari sempat melihat ibunya keluar dari ruangan. Cepat-cepat Ari mengeluarkan ponselnya yang sengaja dia bawa hari ini dan mengambil foto lembar yang terbuka itu. Lalu dia masukkan lagi ponselnya ke tas.

"Udah kan?" kata ibu Ari.

"Udah Ma," Ari mengembalikan buku itu. Berusaha terlihat tenang. Tapi sebenarnya hatinya sedang bergejolak. Tata semakin menganggu pikirannya.

Ari pun keluar dari gedung Tata Usaha. Di luar dia berpapasan dengan Toha yang baru sampai. Toha berjalan menuntut sepeda bututnya. Meraka pun saling menyapa. Ari berjalan menemani Toha menuju parkir sepeda.

"Lo udah bikin gambar buat mading?" tanya Toha.

"Belum. Lo?" Ari balik tanya.

"Aku udah bikin satu. Ntar gue kasih ke lo ya."

"Iya."

Di teras depan ruang guru, Ari dan Toha melihat Rida sedang berjalan cepat menenteng gulungan karton.

"Itu si Rida," kata Toha. "Cakep dia itu Ri." kata Toha sembari masih memandangi Rida di kejauhan.

Menurut Ari, Rida tidak cuma cakep. Dia itu ramah dan tidak sombong.

"Mending lo mintain gambar-gambar buat mading ke anak lukis, lalu lo serahin sendiri ke Rida. Terus lo deketin deh tuh si Rida," tambah Toha sambil memarkir sepedanya.

Ari memandang Toha serius. Lalu dia pandangi Rida yang mulai berbaur di tengah anak-anak yang baru berdatangan.

Ari dan Toha berjalan menuju kelas. Belum sampai kelas, Ari sempat memandang gedung lantai 3 yang kemarin mereka di sana mengambil peralatan lukis. Karena anak perempuan berkaki hancur itu muncul di sana. Dia sedang melayang di lantai 3. Sekilas Ari melihatnya bergerak lalu menghilang di depan salah satu ruang. Itu ruang yang kakak senior bilang bekas ruang ekstrakulikuler drama. Ari sempat terperangah. Dan baru dia sadari Toha sedang memperhatikannya. Ari langsung menutupi tingkah anehnya dengan alasan mau ke toilet dulu.

Saat Ari masuk kelas, bel masuk berbunyi. Ari duduk di bangkunya. Haki sudah ada di sebelahnya.

"Ri, gue ada ide keren nih," Haki berbisik di dekat Ari. Ari cuma memandangi Haki. "Gimana kalau kita bikin vlog mengenai hantu yang ada di sekolah ini."

"Apaan sih, ada-ada aja kamu Ki," jawab Ari spontan.

"Ri, gue udah lama tahu kalau lo bisa ngelihat yang gitu-gitu. Dulu kan mama kamu suka cerita ke mamaku," kata Haki masih dengan suara pelan.

Ari makin serius memandang Haki.

"Ri, percaya deh, kita pasti sukses. Kita akan jadi team yang hebat," tambah Haki.

Kini Ari tidak ingin menggubris perkataan Haki lagi.

"Mana gambar yang mau dikasih ke mading Ri?" Haki mencoba mengubah topik pembicaraan.

"Belum. Belum aku gambar," jawab Ari.

"Itu yang kemarin aja keren. Namanya siapa itu. Lo musti kasih nama gambar lo itu. Biar nanti mudah diingat orang," kata Haki berteori.

"Namanya Awuk," jawab Ari ngasal. Tapi Ari pikir nama itu pas juga.

Lalu seorang guru masuk ke kelas. Suasana kelas yang tadinya riuh pun jadi tenang.

Siang ini ada pelajaran olah raga. Kali ini olah raga basket dilakukan di lapangan depan sekolah. Ari tidak pintar olah raga. Sesi ini dia masuk dalam team. Kebetulan dia sedang mendapat bola. Sebisa mungkin dia berusaha men-drible bola. Tapi langkahnya kesrimpet. Bola pun kena kakinya dan mental jauh keluar lapangan. Bola itu menggelinding ke arah pepohonan. Dengan perasaan malu, Ari berlari untuk mengambil bola. Bola itu tadi jatuh di bawah pohon beringin. Pohon tua dan paling besar di situ dengan sulur-sulurnya yang sampai ke tanah. Di bawah pohon Ari mencari bola itu. Tampaknya bola itu masuk ke dalam sulur-sukur pohon. Ari berusaha menyibak sulur-sulur yang ada di situ. Tak berapa lama Ari melihatnya. Susah payah Ari mengambilnya karena bola itu masuk ke sulur-sulur yang rapat. Saat telah mengambil bola, Ari melihat ada yang aneh di depannya. Di antara sulur-sulur ada juntaian-juntaian panjang. Tapi bukan sulur. Itu seperti rambut. Perasaan Ari pun mulai tidak enak. Rambut itu begitu banyak menjuntai hingga ujungnya terserak di antara akar-akar pohon. Rambut itu panjang ke atas. Ari pun mendongak berusaha mencari asal rambut. Dan di salah satu dahan yang tinggi, di antara daun-daun beringin ada seorang perempuan berbaju putih dengan kelopak mata gelap dan kuku panjang-panjang di jarinya. Dia yang punya rambut itu.

"Ri cepetan balik ke sini," Seseorang berteriak dari pinggir lapangan.

Ari pun cepat berlari meninggalkan pohon beringin. Anak yang berteriak tadi masih melambaikan tangannya, menyuruh Ari balik ke lapangan. Ari tahu namanya Wira. Satu-satunya anak yang paling bisa main basket di kelasnya. Ari pun bergabung dengan teman-temannya di lapangan.

Pulang sekolah, Ari berjalan cepat menuju halte bus. Saat berjalan di trotoar dia berpapasan dengan Wira yang naik vespanya.

"Ri, kamu nggak pa pa kan?" Tanya Wira sembari menghentikan vespanya di depan Ari.

"Nggak, nggak pa pa," jawab Ari polos.

"Beneran ngga pa pa?"

"Beneran…"

Lalu Wira meninggalkan Ari, melarikan vespanya. Ari masih heran dengan pertanyaan Wira tadi. Tapi tidak terlalu dipikirkannya. Dia ingin cepat-cepat sampai ke rumah karena ada sesuatu yang harus dia lakukan. Setiba di rumah, Ari cuma melepas sepatunya. Dia langsung menuju mejanya, mengambil kertas dan pensil. Jari Ari mulai cepat menggerakkan pensilnya. Dia ingin menggambar apa yang dilihatnya di pohon beringin. Terlintas di pikirannya anak perempuan bernama Rida. Anak yang cakep, ramah dan tidak sombong. Kali ini dia ingin menggambar yang sebagus-bagusnya. Dia menggambar perempuan berbaju putih yang bertengger di pohon beringin. Rambutnya panjang berjuntai-juntai sampai ke tanah.