webnovel

21. Telepon Pertama

Zara sedang sibuk menulis jawaban dari soal Biologi yang baru saja ia pecahkan akar permasalahannya. Sejak satu jam yang lalu, Zara sibuk belajar sendirian. Saat ia bingung, ia bertanya pada Alvaro, tetapi bukannya membantu memberi jawaban, cowok itu justru meledek Zara, hingga membuat gadis itu terbakar emosi.

Akhirnya, Zara kembali ke kamarnya lagi dan mencoba untuk menyelesaikan tugasnya sendiri, dengan bantuan buku dan internet, Zara bisa memahami maksud dari soal itu.

Meskipun sudah berjam-jam gadis itu belajar, tetapi Zara seperti tidak merasa lelah dan jenuh, justru gadis itu semakin bersemangat saat berhasil menemukan jawaban dari soal yang menurutnya sangat sulit itu. Ada rasa bangga tersendiri untuknya. Seperti itulah kebiasaannya sehari-hari.

"Akhirnya, selesai juga tugas gue. Kalau kayak gini, gue bisa tenang main hp. Nggak akan ada lagi yang ngomel-ngomel. Si Alvaro mah kebiasaan ngomel mulu, tapi giliran di suruh bantuin nggak mau. Ada aja alasannya." Gerutu Zara pelan.

Tangan bergerak dengan cepat merapikan buku-bukunya. Ia menata buku untuk jadwal pelajaran besok juga. Setiap hari selalu begini rutinitas Zara, jadi keesokan harinya ia tidak akan terburu-buru, hingga menyebabkan ada barang yang tertinggal.

Setelah selesai menata bukunya, Zara mencuci muka sekalian, jika tidak seperti ini, takutnya ia akan ketiduran dan tidak membersihkan wajah terlebih dahulu sebelum tidur.

Selesai mencuci muka, Zara memakai skincare rutinnya di malam hari. Dirasa semua sudah selesai, barulah Zara merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Punggungnya yang dari tadi rasanya pegal-pegal itu langsung hilang rasa pegalnya.

"Saatnya menonton film. Masih jam delapan, jadi masih ada waktu satu jam buat gue bisa dapat minimal satu episode." Kata Zara sambil tersenyum senang.

Baru saja, gadis itu membuka aplikasi yang biasa ia gunakan untuk menonton film, sudah di ganggu oleh panggilan suara dari nomor tak di kenal.

Zara mengerutkan keningnya. Ia selalu takut jika ada yang menelpon dengan nomor tidak di kenal seperti ini. Namun, karena rasa penasarannya yang tinggi, Nara menjawab panggilan itu.

Panggilan suara on.

"Halo?" Sapa Nara dengan suara lembutnya yang terdengar takut-takut.

"Maaf, gue minta maaf udah melanggar janji yang udah gue buat sendiri." Kata seseorang dari seberang sana.

Kening Zara semakin mengerut, wajahnya terlihat sangat bingung. Dari suaranya sudah terdengar jika itu suara laki-laki, lalu siapa yang menelponnya dan tiba-tiba meminta maaf itu?

"Maaf, ini siapa, ya?" Tanya Zara.

"Zara, sekali lagi gue minta maaf karena udah melanggar janji gue ke lo."

Zara semakin takut mendengar suara penelpon itu, apalagi orang itu bisa tahu namanya.

"Maaf, ya, mas. Kayaknya ini salah sambung, kalau begitu saya matikan teleponnya. Selamat malam."

"Tunggu,"

Belum sempat Zara mematikan telponnya orang itu kembali bersuara. "Ini siapa, sih?" Tanya Zara dengan tak sabaran. Jika tadi ia masih berbicara dengan sopan, kini ia berbicara dengan bahasa yang biasa saja.

"Gue Farel."

Zara langsung bangun dari tidurannya saat mendengar cowok itu menyebutkan namanya. Zara tadi tidak berpikiran jika itu adalah Farel, ia kira hanya orang jahil yang sengaja mengganggunya malam-malam seperti ini.

"Farel? Ada apa?" Tanya Zara.

Di seberang sana, Farel menghela napas pelan. "Kayak yang udah gue bilang tadi, gue minta maaf." Katanya lagi.

"Buat apa? Lo kenapa minta maaf sama gue? Terus soal janji, janji apa, Rel? Gue nggak ngerasa buat janji sama lo?" Tanya Zara dengan bertubi-tubi. Ia sungguh penasaran dengan maksud dari Farel tadi.

"Soal gue yang mau berubah jadi lebih baik." Jawab Farel dengan menggantung.

Zara mengangguk paham. Kini ia paham dengan maksud dari cowok itu. "Iya? Ada apa sama lo yang mau berubah jadi lebih baik?"

"Gue melanggar satu janji gue buat berhenti balapan. Malam ini gue balapan lagi, Ra." Jawab Farel dengan jujur.

Zara terdiam. Ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa, cowok itu sendiri yang membuat janji tapi cowok itu sendiri juga yang melanggarnya. Kenapa Zara merasa di bohongi?

"Alasannya?" Tanya Zara.

Zara mendengar helaan napas lagi dari seberang sana. Ia masih menunggu dengan sabar jawaban dari Farel.

"Harga diri gue di jatuhin sama lawan balapan gue dulu, Ra. Gue nggak terima dan gue setuju sama tantangan dari dia buat adu balap malam ini." Jawab Farel.

"Tapi, setelah semuanya selesai, gue merasa menyesal udah ngelakuin ini semua. Karena gue ngerasa udah ingkar janji sama lo." Lanjut cowok itu bercerita.

"Ya udah, Rel, nggak papa. Namanya orang berubah kan pelan-pelan, nggak bisa kalau langsung cepat gitu." Kata Zara.

"Lo kecewa sama gue?"

Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Farel membuat Zara bingung harus menjawab apa.

"Zara?" Panggil Farel lagi.

"Iya?" Sahut Zara.

"Lo kecewa sama gue?" Farel mengulang pertanyaan yang sama.

"Kalau gue bilang kecewa, apa hal itu akan jadi beban buat lo? Gue ngga pernah maksa lo buat berubah kok, Rel. Jadi diri sendiri aja." Jawab Zara.

"Maaf, Ra. Baru beberapa hari aja gue udah bikin lo kecewa." Kata Farel.

Zara tersenyum kecil meskipun cowok itu tidak melihatnya. Dalam hati Zara, ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan saat mendengar Farel meminta maaf tadi.

"Apa lo masih mau nemenin gue buat berubah? Gue bakalan usaha biar bisa nahan emosi gue, Ra?" Tanya Farel.

Zara menarik napas panjang. "Gini, Rel. Gue mau-mau aja kok nemenin orang berubah buat jadi lebih baik. Tapi kalau emang orang itu nggak mampu melakukan, ya, nggak papa. Bukan masalah juga. Karena merubah kebiasaan itu juga susah." Katanya.

Di seberang sana Farel menggeleng heboh, hingga membuat teman-temannya menatap heran pada cowok itu.

"Nggak, gue mampu. Setelah ini gue bakalan beneran berubah buat lo. Untuk kejadian balapan ini tadi, gue minta maaf. Gue nggak akan ulangi lagi." Kata Farel lagi.

Zara tertawa pelan. "Iya-iya, nggak usah minta maaf gitu dong. Kesannya kayak apa aja, nggak papa, Rel. Namanya orang kalau harga dirinya direndahkan pasti nggak terima juga." Katanya.

"Nanti, kalau gue nakal lagi. Tolong tegur, ya, Ra. Jangan di tinggalin." Kata Farel.

Bibir Zara membentuk senyuman kecil. "Iya, Rel."

"Ya udah, karena udah malam juga, lebih baik lo tidur. Selamat malam, Zara." Kata Farel.

"Iya, selamat malam kembali, Farel."

Setelah itu, telepon dimatikan. Tanpa terasa Zara mengembangkan senyumnya. Lucu jika mengingat Farel yang meminta maaf padanya seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan.

"Meskipun gue nggak marah karena hal ini, tapi lo dan usaha lo buat jujur itu justru bikin gue ngerasa spesial." Kata Zara pelan, senyuman masih terpatri di bibirnya.

Detik kemudian Zara tersadar. Ia menampar pipinya pelan. "Astagfirullah, kok bisa-bisanya gue malah senyum-senyum kayak gitu. Sadar, Ra, sadar."

Zara menggelengkan kepalanya pelan. Lalu kembali membuka aplikasi untuk menonton film favoritnya.