webnovel

Bab 19. TERTUDUH LAGI

Pak Amir berusaha menghindari serangan orang yang mirip Wisaka itu. Cempaka mengkeret tak berdaya dan jatuh terduduk di tanah. Mulutnya seperti terkunci tapi gadis itu masih bisa mengingat apa yang terjadi. Cempaka gemetar karena takut dan trauma.

Hatinya merasa bersyukur Pak Amir datang. Apa jadinya kalau dia tidak ditolong oleh Pak Amir. "Mungkin aku akan berakhir seperti Sulastri," bisiknya dalam hati. Bergidik ngeri dia membayangkan semuanya.

Sementara itu seorang penduduk ada yang mendengar kegaduhan karena pertarungan Pak Amir dan orang misterius tersebut. Penduduk itu dengan cepat bereaksi, dia memukul kentongan. Suara kentongan yang dipukul dengan cepat menyentak warga. Dengan segera warga siaga dan keluar rumah.

"Ada apa ... ada apa?" Semua warga sibuk bertanya.

"Aya nu gelut, aya nu gelut (ada yang berkelahi)!" Orang yang memukul kentongan berseru.

"Di mana?"

"Itu di sana, ayo kita ke sana, nyalakan obor!"

Ramai-ramai mereka mendekati. Saat mendengar suara penduduk, orang yang mirip Wisaka segera mengambil langkah seribu.

" Jangan lari, Lelaki Bejat," teriak Pak Amir.

Demi melihat musuhnya melarikan diri, Pak Amir mengejarnya, tak ingin ia lolos begitu saja. Pak Amir melihat orang itu lari ke arah rumahnya Awang.

"Ini di sini!" warga berteriak sesaat setelah menemukan Cempaka.

"Ya Allah Gusti, ini Cempaka!"

"Mengapa kamu ada di sini?"

Itulah sebagian ucapan dari keheranan warga. Cempaka hanya menggeleng dan menunjuk ke arah pengejaran Pak Amir. Cempaka kemudian pingsan. Warga sebagian berlari ke arah yang ditunjuk Cempaka. Mereka mendapati Pak Amir yang baru saja kehilangan jejak orang yang dikejarnya.

"Pak Amir, sekarang Bapak tidak bisa lagi mengelak, Bapaklah pelaku teror di kampung ini!" seru salah satu warga marah.

"Iya, Bapak mau memperkosa Cempaka, kan?" seru yang lain bertanya.

Warga yang marah berniat memukuli Pak Amir, tetapi Pak Amir menunjuk ke satu arah.

"Pelakunya lari ke sana, ke arah rumah Awang!" terang Pak Amir.

Pak Amir mendahului warga berlari menuju rumah Awang. Sesampainya di sana tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Keadaan sunyi senyap karena hari masih malam.

Warga yang mengikuti Pak Amir bersiaga, takut sewaktu-waktu ada serangan tak terduga. Tidak ada pergerakan apa pun, bahkan angin pun terasa seolah-olah berhenti berhembus, senyap.

"Aku akan ketuk rumahnya," kata Pak Amir.

Pak Amir mengetuk rumah Awang, lama tak ada respon. Pak Amir mencoba lagi sampai tiga kali mengetuk. Dari balik gorden muncul seraut wajah tua, Mak Ijah.

"Ada apa, Pak Amir?" tanyanya.

"Buka, Mak, aku mau ketemu sama Awang!" pinta Pak Amir.

Mak Ijah kemudian memanggil Awang yang keluar sambil mengucek matanya. Dia nampak baru bangun tidur, tidak seperti orang yang habis bertarung. Napasnya teratur dan tidak ada keringat di lehernya, seperti biasa terdapat pada orang yang habis berlari.

"Ada apa, Pak Amir?" tanya Awang.

"Ada orang yang berniat memperkosa Cempaka, dan berlari ke arah sini," kata Pak Amir.

"Pak Amir menuduh saya atau bagaimana ini?" tanya Awang.

"Aku tidak menuduhmu, orang itu hanya berlari ke arah sini," tandas Pak Amir.

"Pak Amir kan tahu sendiri, istri saya itu cantik, buat apa saya mencoba memperkosa orang?" Awang balik bertanya.

Mendengar jawaban Awang, orang-orang pada bergumam tak jelas. Mereka ada yang membenarkan jawaban Awang, juga ada yang menyalahkan Pak Amir.

"Halaah, Pak Amir jangan malah menyalahkan orang, ayo balik ke tempat Cempaka tadi, kita tanya orangnya!"

Pak Amir seperti pesakitan yang diiring warga, dia tidak mampu menjelaskan bahwa kejadiannya tidak seperti yang mereka kira. Sementara Awang garuk-garuk kepala tidak mengerti apa yang terjadi.

"Ada-ada saja, masa aku dituduh mau memperkosa," gumamnya kesal.

Mak Ijah hanya memperhatikan tingkah menantunya itu dari tempatnya duduk. Dia sedikit paham dengan situasi kini. Tanpa berani bertanya, nenek itu kemudian masuk lagi ke kamarnya.

"Ada apa, Kang?" Barshi keluar kamar sambil bertanya.

"Penduduk menuduhku mau memperkosa Cempaka, aneh-aneh saja," kata Awang.

"Oh ya," katanya datar tanpa expresi.

Kemudian mata bening mereka saling tatap, lalu tersenyum.

"Ayo kita lanjutkan pekerjaanku yang tertunda, kita tuntaskan sekarang," kata Awang nakal.

"Alah, Akang ini, tidak ada bosan-bosannya ya," ujar Barshi.

Pak Amir dan rombongan penduduk sampai ke tempat Cempaka pingsan. Pak Amir mengambil sesuatu dari kantongnya. Wewangian mistis menguar saat Pak Amir membukanya, dioleskan sedikit ke bawah hidung Cempaka.

Cempaka perlahan-lahan sadar. Gadis itu tampak keheranan dengan keadaan sekelilingnya. Memandang kiri-kanan seolah-olah bingung.

"Apa yang terjadi, Cempaka?" tanya salah satu warga.

Cempaka membuka mulutnya hendak berbicara, tapi yang keluar hanya ahh uhh saja, Cempaka panik dengan keadaan dirinya yang demikian. Warga pun heran. Cempaka menangis keras, mencoba terus berbicara, tetap saja tidak bisa.

"Pak Amir, kamu apakan Cempaka?" tanya warga marah.

"Aku hanya menolongnya," jelas Pak Amir.

"Apakah Pak Amir hendak memperkosa kamu, Cempaka?" tanya warga kepada Cempaka.

Cempaka menggeleng dengan tangan yang dikibaskan, tapi air matanya mengalir semakin deras. Warga bingung dengan isyarat Cempaka itu. Mereka pun ragu dengan tuduhan atas Pak Amir, tetapi kehadiran Pak Amir dekat Cempaka juga mengundang kecurigaan.

"Sudah aku bilang, aku tidak berniat memperkosa Cempaka!" tegas Pak Amir.

"Sudahlah, ayo kita bawa Cempaka ke rumahnya, kali ini Bapak bisa lolos, karena kecurigaan kami belum terbukti, tapi sekali lagi Pak Amir ada bersama korban teror, kami semua akan bertindak !" tandas salah satu warga dengan tegas.

Pak Amir diam saja tanpa membela diri, dia pikir juga percuma mengajukan pembelaan karena tidak ada yang lain lagi yang patut dicurigai, selain dirinya. Dia juga tidak mengungkapkan kepada penduduk tentang mata bening milik Awang, yang seolah-olah bukan baru bangun tidur. Semua disimpan sendiri dan menjadikan catatan dalam hatinya.

Cempaka dipapah warga, kembali ke rumahnya. Para perempuan yang ikut terbangun karena kentongan tadi cepat memburu ke arah rombongan. Ibunya Cempaka melihat anaknya dipapah warga terkejut, mengira anaknya tidur di kamarnya.

"Aduh, anak aing eta kunaon (aduh, anak saya itu kenapa)?" tanyanya sambil memburu anaknya.

Dipeluknya anaknya dengan erat. Cempaka menangis lagi di pelukan ibunya, kemudian terkulai pingsan lagi.

"Eh, kenapa ini, kenapa ini!' serunya panik, badannya hampir ambruk terbawa badan Cempaka yang pingsan.

Orang-orang cepat menggandengnya, para pria berinisiatif membopong badan Cempaka. Tiga orang membopong badannya, rambut Cempaka yang panjang, tergerai hampir menyentuh tanah.

Ibunya menangis mengikuti dari belakang. Orang-orang melupakan sejenak tentang tuduhan mereka kepada Pak Amir. Mereka berkonsentrasi dengan keadaan Cempaka. Apalagi cempaka tidak bisa dimintai keterangan karena mendadak bisu. Dugaan-dugaan liar bermunculan melihat keadaan Cempaka, pakaian yang robek dan rambut yang dipenuhi sampah dedaunan.

"Apakah, Cempaka sempat dianuin, Ceu?" bisik Ceu Romlah kepada Ceu Entin.

"Dianuin gimana?" Ceu Entin balik bertanya.

"Diperkosa," kata Ceu Romlah hampir tak terdengar.