webnovel

Sayidah Nisa

"Orang Melayu memang selalu ramah" Utsman melempar ungkapan itu untuk menyentil hati Hamzah.

Agaknya sentilan Utsman mampu mengusik hati Hamzah, pemuda Islam yang tak lagi muda, memang layak mendapatkan cerca kala dirinya masih setia dalam kesendirian. Hamzah melebarkan senyumnya.

Dia sebagai seorang laki-laki, juga ingin membangun rumah berisikan istri dan anak-anak Soleh Solehah, bayi kecil yang riuh ramai disertai senyum istri menyapa tiap pagi maupun selepas pulang kerja. Siapa yang tidak ingin menggapai nikmat itu?

Apalagi setelah membaca surat telat sampai, dari perempuan yang Hamzah duga sebagai bentuk alasan mengapa dirinya tak kunjung menemukan jodoh yang diaturkan pada tiap-tiap munajat selepas salat.

Bagaimana bisa melalaikan Az-zahra yang artinya juga telah melalaikan kewajibannya untuk memenuhi janji yang dulu dia ikrar kan sendiri. Hamzah paham urusan dengan sesama hamba Allah azza wa jalla, harus di selesaikan dalam ikhtiar terbaik terlebih dahulu lalu permohonan ampunan mengiringinya.

Hamzah sudah mantap untuk kembali pulang ke Indonesia. Mengabaikan penolakan-penolakan yang dulu tegas dia tandaskan kepada ibu maupun kolega-kolega ibunya.

Mungkin selain tulisan tangan cantik yang sempat menggetarkan dadanya, ada sekelumit rindu yang sulit di redam tentang gambaran wajah tenang Az Zahra mulai turut serta mengganggunya. Dia ingat betul gadis tak banyak bicara itu dulunya selalu dia ganggu dengan beraneka kenakalan remaja laki-laki yang belum memahami makna adab pergaulan antar lawan jenis dalam Islam.

Untungnya Az Zahra, putri ustad Zakaria guru yang tidak mau di panggil ustad dan selalu meminta santrinya memanggil pak Zakaria si pengantar as-sirah an-nabawiyah[1], beliau adalah guru di pesantren tempat Hamzah menimba ilmu telah mampu mengendalikan diri dan konsisten dengan ungkapan menyentuh khas Zahra.

Jika di ingat-ingat Hamzah kadang senyum sendiri. Dan akhir-akhir ini senyuman akibat dari berputarnya roll film memori masa lalu sering hadir menghiasi hari-harinya.

Sama seperti saat ini ketika Utsman menepuk lututnya. Kala seorang perempuan berhijab malu-malu menurunkan hidangan pembuka di meja.

"Why?"

"This is not the time for you to smile at my sister-in-law,"

Sepertinya Utsman salah paham. Hamzah tidak sedang tersenyum pada adik Rahma.

Dan bisa diprediksi sebenarnya Utsman secara santun ingin memperkenalkan adik iparnya untuk ta'aruf dengan Hamzah. Tidak mungkin pria Turky itu mengizinkan adik Rahma, Muslimah yang biasanya tersembunyi malah hadir membawa nampan kepada mereka berdua.

Ketika tersadar lekas-lekas Hamzah menundukkan pandangan. Walau sejujurnya matanya tadi hanya menerawang kosong mengingat masa lalu.

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Utsman menggugah jawaban dari Hamzah.

"Andai Aku belum punya janji, hari ini juga aku akan mempercayakan jodohku pada pilihan sahabat baikku."

"Janji?" Utsman mengerutkan dahinya. Mungkin dia sedang menebak-nebak apa yang dimaksudkan Hamzah.

"Aku tidak pernah menceritakan ini kepadamu, karena aku pun lupa dengan ikrarku yang pernah aku ucapkan untuk seorang perempuan di tanah kelahiranku," ucap Hamzah menatap lekat sahabatnya.

"Kau punya janji? Aku belum paham maksudmu janji seperti apa?" Kembali Utsman bertanya-tanya.

"Sebelum aku pergi ke negara ini untuk menuntut ilmu, aku pernah mengucapkan sebuah ikrar. Waktu itu aku yakin aku pasti akan memenuhi ikrarku. Kenyataannya waktu membuatku lupa, Gadis itu beberapa kali mengirimkan surat padaku. Baru kemarin aku temukan surat itu di laci meja kerja" tatapan Hamzah kini menerawang kosong wujud dari kegelisahannya.

"Kamu tahu kan Utsman, aku selalu mengabaikan surat-surat dari Indonesia. Ketika kemarin aku membersihkan laci kutemu-kan tulisan tangan Zahra di antara yang lainnya."

"Namanya Zahra, seperti nama putri nabi yang paling spesial," sang sahabat tersenyum. Utsman juga spesial, dia menanggalkan niatnya dan malah menghibur Hamzah.

"Aku minta maaf terkait adik Rahma," kembali menatap lekat Utsman.

"Selesaikan yang jadi tanggung jawabmu, sobat"

"Aku akan pulang ke Indonesia secepatnya?"

"Bagaimana dengan kenaikan jabatan yang baru kamu emban?"

"Aku akan menghadapinya dan aku akan terima penalti apa pun yang di jatuhkan padaku,"

"Semoga di mudahkan," lengkap Utsman sebelum keduanya larut dalam makan malam langka, masakan khas tanah Melayu.

***

Sejak malam itu Hamzah fokus pada kepulangannya, menemui pimpinan Human Resource Departement Conde Nast. Hal pertama yang dia dapatkan adalah mata membulat dari nyonya Jocklane, perempuan bertubuh tambun yang dulu juga menerimanya memahami pria Muslim di hadapannya selalu memikirkan tiap-tiap keputusan dengan matang.

Jocklane lagi-lagi bertanya apakah keputusan Hamzah sudah final. Telah dia duga pria ini selalu mengucapkan hal yang sama "InsyaAllah, Yes Miss,"

Walau sejujurnya Jocklane menyayangkan jenjang karier yang menjanjikan untuk pria ini di tanggalkan begitu saja.

Pertemuan lain yang membuat tercengang adalah niat Hamzah menemui Lyndsey, gadis Katolik itu hampir tak yakin ketika di minta Hamzah menemuinya di coffee bar.

Lyndsey di rekomendasikan oleh Hamzah karena dia merupakan salah satu supervisor yang paling mumpuni untuk mengambil bagian yakni menggantikan posisinya. Perempuan yang tak akan pernah menikah lagi setelah perpisahan dengan suaminya sebab kuatnya memegang Matius, masih tercengang ketika Hamzah telah menghilang di balik pintu.

***

Pesawat Garuda Indonesia (GA 837) benar-benar membawa pergi pria berdarah Jawa kembali ke tanah airnya, setelah hampir 10 tahun dirinya menetap di negeri Paman Sam.

Hanya sebuah koper berisikan buku-bukunya dan beberapa setel baju dia bawa, apartemen beserta isinya dia berikan pada sahabat karibnya Utsman. Mereka sempat berdebat panjang tentang Utsman yang tak mau menerima dengan cuma-cuma sedangkan Hamzah bertutur tak ingin apartemen ini jatuh kepada orang lain.

Dia tak mungkin lagi tinggal di USA, dan kalaupun suatu saat dia berkunjung di negara ini lagi. Dia berharap dia bisa melihat apartemen yang sudah dia tinggali selama 3 tahun tetap dalam keadaan baik. Dan masih ada suara lantunan ayat suci Al Qur'an di dalamnya.

kesepakatan paling akhir setelah perdebatan panjang 2 sahabat yang tak ingin saling merugikan, Utsman meminta rekening Hamzah. Dia akan mengangsur dalam jangka waktu tanpa batas, dengan harga sesuai harga pasaran. Sebab untuk mendapatkan apartemen di tempat yang tak jauh dari WTC. Bukanlah sesuatu yang mudah apalagi murah, Utsman bersikukuh tidak mau mendapatkan secara cuma-cuma.

Kini negeri yang membuatnya lupa pada banyak hal termasuk ikrarnya, telah menghilang di balik Awan. Sebenarnya Hamzah tidak benar-benar lupa hanya saja tiga tahun lalu, ketika pria ini pulang ke Indonesia dalam keadaan di liputi kepiluan mengantar kepergian sang kakek.

Hamzah sempat mendengar bahwa Az Zahra akan menikah, dia yang tak punya banyak waktu di Indonesia lebih fokus dengan aktivitas bersama keluarga besarnya yang sedang melangsungkan banyak munajat untuk sang kakek. Sayangnya selepas hari ke tujuh pria ini kembali ke New York city.

Sempat dia berdiri di depan rumah Az Zahra menatap jendela warna putih seperti kelakuannya ketika remaja. Padahal sang perempuan masih kuliah di Yogyakarta.

"Maaf aku terlambat, semoga kau masih menungguku dan semoga masih ada kesempatan untuk memenuhi janjiku, menjadi imammu," lirih Hamzah berbicara dengan dirinya sendiri sambil perlahan membuka kembali kertas usang dengan nama pengiriman Az Zahra Sayidah Nisa.

_Si cemerlang, penghulu perempuan_ gumam Hamzah

___________________

[1] as-sirah an-nabawiyah adalah Ilmu yang kompeten yang mengumpulkan apa yang diterima dari fakta-fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad secara komprehensif dari sifat-sifatnya, etika dan moral.