2 tahun yang lalu ....
Takumi Akazawa menapaki tanah bersama ayunan langkah lelah. Pertahanannya kian goyah, berharap lekas tiba di rumah agar tubuhnya segera rebah. Namun perjalanan nampaknya tak kunjung sudah.
Berawal dari tidur di kelas, bertepatan saat jam pelajaran guru tegas yang benci siswa pemalas. Alhasil ia didepak dari kelas, berganti ke halaman belakang sekolah untuk mencabuti rumput hingga tuntas.
Hukumannya baru usai selepas senja, hingga badannya terasa letih tak terkira. Takumi menggumam janji dalam hati, tidak akan mencari gara-gara lagi pada guru yang hobi menyiksa murid sendiri.
Matahari tenggelam, pulang ke peraduan. Takumi menyusuri jalanan sepi berlatarkan hutan. Di bawah sinar bulan, ditemani kerlap-kerlip bintang yang bertaburan dan angin malam yang berembus pelan. Suara gemerisik dedaunan menjadi melodi alam yang ia hiraukan.
Hingga suara tangis seorang gadis mengalun pelan dalam pekat malam.
Takumi menjeda langkah, mengamati ke sembarang arah. Bulu romanya berdiri bersama perasaan takut mulai menghampiri. Meski Takumi menyangkal hutan tempat bersemayam makhluk halus, tetap saja rasa merindingnya sukar untuk dihapus.
Dengan segenap keberanian, Takumi mendekati asal isakan. Bersembunyi di balik semak dengan deru jantung yang kian laju berdetak. Menelisik lebih jauh terhadap objek yang telah tersuguh.
Takumi terpaku dalam beberapa menit. Mendapati sesosok gadis cantik bagai bidadari turun dari langit tengah menangis mencicit.
Takumi beranjak keluar dari persembunyian. Mendekati si perempuan dengan otak dipenuhi akan pertanyaan. Sekelebat pemikiran turut bermunculan, bagaimana jika gadis ini korban kejahatan? Atau mungkin malah siluman?
"Hey! Kau baik-baik saja? Sedang apa malam-malam sendirian di hutan, huh?" tanya Takumi dengan raut cemas, matanya menatap sekeliling dengan awas.
Sang gadis mendongak, memperlihatkan wajah ayu dengan mata sembab. "Tolong ... aku tersesat."
"Apa?"
Kernyitan Takumi pun tercetak, segala dugaannya telah salah telak.
"Biar kuantar pulang. Di mana rumahmu?" tanyanya penuh simpati.
Si gadis menggeleng lemah sembari merunduk, memainkan jemari lentiknya.
"Aku ... aku tidak tahu."
Lagi, Takumi terpaku. Jawaban itu berhasil lenyapkan ide membantu menjadi buntu. Mungkinkah gadis ini baru saja mengalami situasi sulit yang membuatnya linglung?
Ia amati keadaan sekeliling untuk terakhir kali. Hanya ada gelap dan sunyi.
Tak ada cara lain.
"Baiklah! Untuk sementara kau bisa tinggal di rumahku," putus Takumi memberi solusi.
"Benarkah?"
"Hmm."
Angguknya meyakinkan.
Takumi melihat wajah gadis itu tersenyum penuh binar, tetapi tak lama kemudian senyumnya langsung ambyar. Berganti raut gusar dan sedih yang dia umbar.
"Tapi kakiku terkilir. Tidak bisa berdiri apalagi berjalan kaki," ungkapnya mencicit.
Mendengus kecil, Takumi lekas berjongkok memberi punggung kokohnya. "Ayo cepat naik!"
"Naik ke punggungmu? Tidak perlu! Nanti malah merepotkanmu," tolaknya, malu.
"Ck, jangan banyak bicara! Naik atau kutinggal di sini. Sendiri!" ancamnya serius.
Akhirnya gadis itu menurut. Memeluk tubuh Takumi dari belakang, lalu mereka berjalan melewati kegelapan. Hanya dilanda keheningan dan temaram bulan sebagai cahaya penerangan.
Tanpa ada yang tahu, rupanya ada debar yang berpacu tersembunyi dalam bisu.
"Ngomong-ngomong aku Takumi Akazawa. Siapa namamu?" tanyanya memecah kebisuan.
"Ah, namaku Sakurako." Gadis itu mengukir senyum kecil, kikuk.
"Kau benar-benar tidak punya rumah atau keluarga yang bisa dihubungi?" Takumi bertanya lagi, sedikit mendesak.
Sakurako menggeleng lemah, "Aku tidak tahu, yang kuingat hanya namaku adalah Sakurako."
Setelahnya, kembali hening. Saling larut dalam pikiran masing-masing. Takumi berpikir mungkin Sakurako mengalami kejadian hingga dia lupa ingatan. Biarlah nanti ia pikirkan solusi untuk gadis ini.
Sakurako tak sengaja merasakan sesuatu. Rupanya itu keringat yang mengucur deras dan deru napas terengah keras. Makin lama langkah Takumi kian melambat. Sakurako mulai mencemaskan kondisi Takumi yang menahan beban berat.
"Akazawa-san, kau baik-baik saja?"
Tak ada jawaban, hanya terdengar deru napas yang berat.
"Akazawa-san?" Sakurako mengulang lagi, kecemasannya meningkat. "Turunkan aku sekarang, Akazawa-san!"
"Diamlah! Sebentar lagi sampai."
"Tapi——"
Ucapan Sakurako terpotong, Takumi berjalan dengan sempoyong dengan posisi Sakurako masih digendong. Memasuki rumah sederhana yang tidak ada sambut hangat keluarga.
Takumi cukup lega mengetahui ibunya pergi ke luar kota. Dengan begini dia tidak ditimpa kesulitan mencari jawaban karena membawa seorang perempuan masuk ke dalam rumah.
"Jadi ini rumahmu?" tanya Sakurako begitu dirinya diturunkan di sofa.
"Bukan. Rumah tetanggaku," balasnya kesal dengan napas tersengal.
"Eh, benarkah? Lalu kenapa kita ke sini? Di mana rumahmu, Akazawa-san? Apa kau menginap di rumah tetanggamu?"
Takumi memutar bola matanya. Bagaimana bisa ia bertemu gadis polos yang sekarang senang mencerocos.
Pemuda itu segera bangkit setelah lelah yang dirasa hilang sedikit. Mengambil sesuatu, lalu kembali dengan membawa kotak berwarna putih.
"Kemarikan kakimu!"
"Untuk apa?" Sakurako menatap curiga.
"Sudah, lakukan saja!"
Sakurako memberikan kedua kakinya, segera Takumi mengoles minyak urut pada bagian kaki yang terkilir. Sedikit rona merah menjalar di wajah saat Takumi memijit kaki sang gadis dengan lincah. Beberapa kali gadis itu mengaduh, hingga kakinya benar-benar sembuh.
"Setelah ini, bersihkan dirimu!"
Takumi melempar kemeja putih miliknya yang kekecilan kepada Sakurako, kemudian ia pergi untuk membersihkan diri juga.
***
Tak berapa lama setelah mandi, Takumi keluar dengan handuk menggantung di lehernya. Tetesan air masih mengalir melalui surai hitam legamnya.
Tak sengaja indera penciumannya menangkap aroma harum dari arah dapur. Begitu dilihat rupanya itu Sakurako yang sibuk menyajikan masakan di atas meja.
"Kau memasak?"
Entah pertanyaan atau pernyataan, itu berhasil menghentikan kegiatan Sakurako dalam meracik bumbu masakan. Sakurako menoleh sebentar sembari memberi senyum lebar.
"Ah, aku membuat makan malam. Maaf sudah lancang memakai dapurmu tanpa izin," ungkapnya.
"Hm." Takumi menjawab ambigu. Menarik kursi lalu segera duduk. Maniknya mengamati curiga setiap makanan yang tersaji di atas meja.
"Kau tidak menaruh sesuatu yang aneh di masakan ini, 'kan?"
"Sesuatu yang aneh? Maksud Akazawa-san?"
"Semacam racun, narkoba atau sejenisnya."
"Apa? Yang benar saja!" Sakurako memekik.
"Aku harus waspada karena kau orang asing, bisa saja punya maksud lain."
Sakurako menggembungkan pipi, sebal. Namun, berhubung perutnya sudah lapar, ia tak hiraukan segala yang membuatnya kesal.
Sakurako memilih duduk berseberangan dengan Takumi. Segera menyuap makanan yang ia buat sepenuh hati. Kegiatannya terhenti mengetahui Takumi hanya menatapnya dalam diam.
"Akazawa-san, kau tidak makan?" tanyanya cemas.
"Tidak."
"Aku tidak menaruh apa pun dalam makanan ini, sungguh!" Sakurako berucap meyakinkan. Walaupun dalam hati ia tak keberatan sih. Toh, perutnya masih mampu menampung semua makanan ini.
"Ck, aku tidak percaya."
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Sakurako. "Akazawa-san, bagaimana jika kita makan dengan piring yang sama?"
"Apa?" ketus Takumi.
"Dengan begitu kau akan percaya kalau aku tidak menaruh racun atau narkoba," Sakurako bertepuk tangan, girang, "wah, aku sering melihat adegan seperti itu di drama-drama."
"Tidak!" tukas Takumi.
Sakurako menggembungkan pipi. Namun, bukan Sakurako namanya kalau menyerah begitu saja.
"Ayolah! Bagaimana kalau kusuapi? Ya? Ya?" ucap Sakurako sembari menyendok makanan dan mengarahkannya ke mulut Takumi.
Entah kenapa pipi Takumi memerah kala Sakurako ingin menyuapi dirinya layaknya bayi. "Kau pikir aku anak kecil, heh?"
"Lalu, apa yang harus kulakukan agar Akazawa-san mau makan, heum?"
"Sudahlah, aku tidak la——"
Kruyuk
"——par"
Wajah Takumi bertambah merah karena perutnya membantah. Dalam hati ia menggerutu dengan berbagai umpatan. Sedangkan, Sakurako terkikik pelan oleh suara barusan.
Tak tahan dirundung rasa malu, Takumi beranjak untuk berlalu. Namun, Sakurako menahan lengannya dan kembali menyodorkan sesendok nasi.
"Akazawa-san, kau harus makan dulu. Perutmu lapar!"
"Lepaskan! Aku mau tidur!"
"Tidak! Makan dulu."
"Lepaskan tanganku!"
"Tidak!"
"Lepas!"
"Tid-akh ...."
Akibat dari tarik-menarik terlalu kuat, mereka berdua pun jatuh dengan posisi Takumi menindih Sakurako. Jarak mereka terlalu dekat membuat manik mereka saling menatap lekat.
Jantung ikut berpacu disertai geleyar aneh menderu. Namun, keduanya bergeming.
"Ekhem!"
Keduanya menoleh. Melihat seorang wanita berusia sekitar 18 tahunan, tengah bersidekap menatap mereka berdua.
"Nee-chan!" pekik Takumi sambil melotot terkejut.
"Apa aku mengganggu, Taku-chan?" ucap kakaknya Takumi, setengah menyindir. Dia berdiri bersidekap di ambang pintu.
To be continued ....