webnovel

Bertengkar

Tiiit!!! Tiiittt!!!

Teriak seorang pesepeda untuk memberitahu kehadirannya pada dua pejalan kaki, gadis remaja berseragam putih dengan rok kotak-kotak biru.

Serentak dua gadis tersebut menoleh ke belakang dan sangat terkejut saat melihat Zein, remaja berseragam sama dengan mereka sedang mengayuh sepeda bersama temannya, arah kelajuan sepeda itu sengaja di tujukan ke arah Hannah, gadis berambut panjang dengan hiasan pita yang melilit surai hitamnya, refleks Hannah melompat ke semak-semak dan menyatu dengan pagar sekolah.

Hahaha...!

Tawa lepas terdengar dari Zein sembari meninggalkan tempat tersebut dengan tetap mengayuh pedal sepedanya, namun temannya, Kemal masih menyempatkan untuk menoleh ke belakang, memastikan keadaan Hannah yang sedang ditolongi oleh Alin, sahabatnya Hannah.

"Brengsek kau, Zein! Awas saja nanti, pasti akan ku balas!!" Berang Hannah, mengumpat Zein, teman sekelasnya sembari ia membersihkan pakaiannya yang dibantu Alin.

"Hannah, kamu tidak apa-apa?" Tanya Alin dengan lembut seperti karekteristiknya yang lemah lembut dan kebalikan dari sifat Hannah yang terkenal judes dan galak.

"Apanya yang tidak apa-apa?! Si gila itu sudah keterlaluan padaku, awas saja nanti pasti akan ku balas," geram Hannah dengan nanarnya melesat tajam pada Zein yang sudah menjauh namun tawanya masih terdengar jelas di telinganya.

Alin mengambil tas Hannah yang tersangkut di semak-semak dan menyerahkannya kembali tapi Hannah masih tidak terlihat bersahabat dengan emosinya yang sudah terlanjur ditempa.

"Awas saja dia!" Ulang Hannah yang kemudian tiba-tiba berlari ke arah Zein dan Kemal pergi sebelumnya.

"Hannah..." panggil Alin, tapi tidak direspon karena Hannah sudah menjauh, melihat itu Alin juga tidak tinggal diam, ia segera menyusul sahabatnya itu.

Dalam pengejaran itu seutas senyum mekar di sudut bibir Hannah ketika melihat sebuah gang kecil di persimpangan, tanpa berpikir panjang diayunkan langkah cepatnya memasuki gang tersebut.

Di arah yang berbeda tawa Zein masih berlanjut walau ia hanya tertawa sendiri karena Kemal merasa bersalah dengan tindakan Zein terhadap Hannah barusan.

"Apa kamu enggak keterlaluan, Zein, ngerjain Hannah sampai segitunya? Dia shock sekali tadi, kalau kenapa-napa dengan dia, bagaimana? Kamu mau bertanggung-jawab?" Gerundel Kemal pada Zein karena mengkhawatirkan keadaan Hannah.

"Yaelah! Kamu santai aja kali! Aku tahu banget siapa Hannah itu, dari lahir sampai sekarang dia itu cewek tangguh yang pernah aku kenal, aku aja dulu selalu jadi korban keganasannya, apa kau tahu bagaimana rasanya dibanting? Ya sekarang hitung-hitungan buat balas dendam lah," ujar Zein sembari menggowes santai sepedanya.

"Kalian itu udah sahabatan dari kecil ya?" Tanya Kemal.

Zein menggelengkan kepalanya, "Aku dan dia sahabatan? Ya enggak mungkinlah, cukup orang tua kami yang bersahabatan, kami tidak akan sampai kapanpun."

"Kenapa enggak mau sahabatan sama Hannah? Dia baik kok dan sangat cantik," sambung Kemal dengan memuji-muji Hannah.

Sudah bukan rahasia lagi bagi Zein jika temannya itu menyukai Hannah sejak semester pertama mereka di sekolah menengah tersebut.

"Apa kau tahu rasanya dibanting tiap hari? Itu sakit sekali, apalagi Paman Harris sudah ngajarin dia judo dari kecil, gara-gara itu Papaku malah nyuruh aku main sama dia tiap hari," dengus Zein, mencerca tindakan Orang tua Hannah dan orang tuanya yang selalu berpikir ia dan Hannah bisa bersama.

"Oooh, pantesan aja Hannah bisa membuat yang lain lari terbirit-birit, ternyata dia itu bisa olahraga judo, keren juga dia ya..."

"Apanya yang keren? Enggak tahu aja bagaimana rasanya sakit muka di tonjok saat sedang pulas-pulasnya," cicit Zein mengingat masa-masa kecilnya bersama Hannah.

Zein sadar betul selama ingatannya tertanam di otaknya tidak sekalipun hidupnya tanpa Hannah, karena persahabatan orang tua mereka membuat keduanya tumbuh bersama bahkan mereka lahir di jam yang sama dan juga di rumah sakit yang sama.

Ia dan Hannah sudah seperti bayangan yang tidak pernah terpisahkan, tak jarang orang tua mereka membiarkan mereka tidur bersama meski mereka sudah beranjak remaja dan kebiasaan itu berakhir saat Hannah pernah sakit perut parah yang mengharuskan dirawat di rumah sakit empat tahun silam.

Walaupun mereka selalu bersama dan orang tua mereka juga sangat akur tapi hubungannya dan Zein tidak seperti yang dibayangkan orang tua mereka, melainkan Hannah dan Zein seperti tom and Jerry. Tanpa hari tanpa pertengkaran, ada saja hal membuat keduanya ingin mengganggu satu sama lain.

"Jadi, kalian itu sedekat itu ya? Tapi ngomong-ngomong kamu sering enggak ke rumahnya?" Sudi Kemal, ia penasaran dengan pertemanan Zein dan Hannah yang belum terungkap di sekolah, karena untuk dikatakan sebagai teman saja hampir satu sekolah tidak akan percaya hal itu jika melihat kelakuan mereka setiap harinya yang selalu bertentangan.

"Tentu saja, bahkan kalau musim liburan, orang tua kami pergi liburan bersama, bikin aku bengek aja karena melulu sama dia!" Papar Zein.

Kemal terkekeh mendengar cerita masa lalu Zein dan Hannah, meski tersirat rasa cemburu karena sejak lama ia sudah sangat menyukai Hannah, hanya saja gadis itu tidak sekalipun peka dengan usahanya mencari perhatian.

Tapi ia sedikit lega dengan sikap Zein yang tidak pernah terlihat tertarik pada Hannah yang memang bisa dikatakan gadis tercantik di kelas mereka walaupun ia terlihat tomboi dan galak.

Sambil menggowes santai sepedanya, Zein terus mengungkapkan kekesalannya pada Hannah yang sudah dianggap duri dalam dagingnya, ia merasa Hannah sangat mengganggunya.

Buukk

"Aduh!" Pekik Zein saat merasa benda menghantam punggungnya dan segera menghentikan sepedanya.

Belum rasa kagetnya hilang, Zein sudah dikejutkan melihat benda yang menimpuknya yang tak lain sebuah tas yang tak asing lagi baginya. Matanya seketika terbelalak melihat Hannah sudah mendekat.

"Apa-apaan kau ini?!" Berang Zein pada Hannah yang sudah berdiri di belakangnya.

"Kau yang apa-apaan? Gara-gara kamu aku jatuh ke semak-semak tahu!!" Balas Hannah.

"Apa sih? Aku tidak ngerasa dorong kamu ke semak-semak, mungkin kamu aja yang lemah," ejek Zein sambil mengelum senyum.

"Oh jadi gitu ya?!" Dengus Hannah.

Sepasang nanar hitam milik Hannah membulat sempurna menatap pemuda itu yang sekaligus teman kecilnya, lalu dengan tiba-tiba ia mengguncang-guncang sepeda Zein.

"Apa-apaan kau ini? Aku bisa jatuh tahu!" Berang Zein.

Tapi Hannah tidak menggubris sanggahan Zein, melainkan ia semakin mengguncang-guncang sampai membuat Zein melepaskan sepeda agar ia tidak terjatuh saat Hannah melampiaskan kemarahannya pada sepeda.

Namun tanpa diduga Hannah justru benar-benar menendang kendaraan gowes itu ke bahu jalan lalu menatap Zein dengan tajam.

"Kau ini, sepedaku bisa rusak tahu!" Timpal Zein pada Hannah dengan membentaknya.

"Zein, sudahlah," sela Kemal, agar Zein tidak memarahi Hannah walaupun gadis itu tidak terlihat berharap mendapatkan belas kasihan dari siapapun karena ia terlihat justru lebih galak dari Zein.

Dengan malas dan kesal Zein meraih sepedanya, tapi diwaktu yang sama Hannah juga mendorongnya.

"Apa-apaan kau ini?" Sungut Zein yang hampir terjungkal karena dorongan Hannah.

Hanya senyum beringas merekah di sudut bibir Hannah yang diikuti tatapan tajam menanggapi pertanyaan Zein. Lalu mendadak rambutnya ditarik dengan kasar oleh Hannah hingga Zein benar-benar berteriak dan menyuruhnya melepaskannya.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan rambutku! Sakit tahu!" Ringis Zein.

"Lepaskan? Bukannya ini yang kau inginkan?" Balas Hannah.

"Han, lepaskan aku, malu kita diliatin orang-orang," kata Zein.

Kemal juga berusaha menenangkan Hannah tapi tidak berhasil karena Hannah sudah terlanjur emosi dengan tindakan Zein sebelumnya.

Di arah berbeda muncul Alin yang tampak tergesa-gesa menghampiri mereka, "Hannah, lepaskan, kasian Zein, dia pasti kesakitan," ucap gadis imut itu dengan mencoba melepaskan tangan Hannah di kepala Zein.

"Tidak akan, si gila ini harus diberi pelajaran biar enggak seenaknya padaku! Kau Alin juga ngapain kasian sama dia? Kau ini teman siapa sih?" Lontar Hannah.

"Hannah... Tapi kasian Zein," gumam Alin.

Hannah mengabaikan Alin dan masih enggan melepaskan Zein malahan ia semakin gencar-gencarnya menjambaknya hingga Zein meringis kesakitan.

"Hannah! Cukup! Kalau tidak aku juga akan bertindak," ancam Zein.

"Kamu akan apa?! Kau kira aku takut apa?!" Balas Hannah.

Zein berdecak kesal dan tidak ada tanda-tanda Hannah akan membebaskannya dari cengkeramannya, terpaksa adegan perkelahian berbeda gender itu terulang seperti yang sudah menjadi keseharian mereka sebelum-sebelumnya, namun aksi mereka itu juga langsung menyita perhatian pengguna jalan lainnya, yang mereka kira itu perkelahian masalah percintaan para remaja.

Alin dan kemal juga sudah kewalahan menjadi penengah diantara pertengkaran sahabat mereka, apalagi jadi tontonan orang-orang.

Dalam perkelahian itu Zein lebih banyak mengalah karena ia tidak mau dianggap pengecut karena bertengkar dengan perempuan terutama dikarenakan di depan umum.

Drrrtt!! Drrrtt!!!

Ponsel Zein di saku celananya bergetar hebat ditengah-tengah perkelahian itu tapi sulit untuk meladeni panggilan masuk itu karena tubuhnya sudah ditindih oleh Hannah yang tidak membiarkannya lepas dari cengkeramannya.

"Tu-tunggu dulu, hp ku bunyi!" Lontar Zein.

"Aku tidak peduli!" Sahut Hannah.

"Hannah, cukup-cukup, jangan pukul Zein lagi..." Lirih Alin seraya menarik-narik lengan Hannah yang melayang-layang di muka Zein.

"Zein, cepat bangun, hentikan, masak kamu berantem sama cewek, malu!" Sungut Kemal.

"Siapa yang berantem? Dia aja yang gila pake ngajak-ngajak aku!" Terang Zein.

Sesaat Kemal berbagi pandang dengan Alin, dan serentak mereka mengangguk.

"Zein, Hannah bangun ada polisi tu lihat kita," bisik Kemal.

"I-iya," sambung Alin.

Mendengar itu Hannah baru merenggangkan cengkeramannya dan bangkit dari Zein, rambutnya jadi berantakan ditambah dasi pitanya ikut terlepas dari lilitannya sedangkan Zein penampilannya lebih parah, sampai-sampai hidungnya mengeluarkan darah tapi ia tidak terlalu menggubrisnya.

"Awas kau! Jika macam-macam lagi denganku!" Ancam Hannah terhadap Zein.

"Iya-iya...!" Sungut Zein seraya mengeluarkan ponselnya.

Ia tampak berdecak kesal saat melihat panggilan masuk yang terlewatkan olehnya, tapi ia segera menghubungi kembali nomor kontak tersebut.

"Halo Ma!" Ucap Zein saat panggilannya sudah tersambung ke nomor kontak yang dituju.

Tak banyak kata yang ia ucapkan saat berbicara dengan lawan bicaranya di ponselnya karena ia sudah memberikan ponselnya pada Hannah.

"Ini untukmu!" Zein menyodorkan ponselnya ke depan Hannah.

Dengan muka yang ditekuk Hannah menyambar ponsel Zein untuk berbicara dengan orang yang ditelpon Zein.