Ali membawa Davina masuk ke dalam rumah dan memarahi gadis itu.
"Kamu apa apaan, sih?" pekik Ali.
Gadis itu tak menyahut. Ia terlihat begitu kedinginan karena seluruh tubuhnya basah kuyup.
"Lepas baju kamu!" pekik Ali.
"Jangan," ucap Davina lirih.
"Ssst, ganti pakaian kamu? Kamu mau sakit?" bentak Ali.
"Kenapa marah?" tanya Davina dengan nada seakan ingin menangis.
Ali bergegas mencari handuk untuk Davina dan mencari pakaian ibunya untuk dipakai Davina.
"Cepat keringin badan kamu," ucap Ali seraya menyodorkan handuk dan pakaian ibunya.
Davina menerimanya tapi ia hanya diam saja. Ali begitu kesal karena Davina hanya diam saja. Padahal badannya sudah menggigil sedemikian rupa.
"Kamu ini!" Ali segera mengajak Davina ke kamarnya lalu ia keluar dan menutup pintu kamarnya.
"Buruan ganti!" ucap Ali dari luar kamarnya.
Perlahan Davina melepas pakaiannya dan mengusap handuk agar tubuhnya tak basah lagi.
Ali masih setia menunggu di luar. Ia kemudian berinisiatif membuat teh hangat dan mie instan rebus untuk Davina.
Setelah selesai berganti pakaian, Davina keluar dari kamar Ali.
"Ali ..." panggil Davina.
Ali yang sedang menyiapkan mie instan di atas meja tertegun melihat Davina memakai pakaian ibunya.
Ia berusaha menahan tawa, namun ekspresi wajah Davina seolah tersinggung akan reaksi Ali.
"Kalau mau ketawa, ya, ketawa aja!" ujar Davina kesal.
Ia lantas masukkan pakaian basahnya ke dalam tasnya.
"Eh, eh. Keringin dulu. Buku kamu bisa basah!" ucap Ali.
"Biarin aja," ucap Davina.
Ali menghampiri Davina dan merebut pakaian Davina. Namun Davina berusaha tak mau melepasnya.
"Sini aku keringin dulu," ucap Ali.
"Engga usah,udah terlanjur basah" ucap Davina.
"Jangan keras kepala, deh, Vin! Sini!" paksa Ali sehingga pakaian Davina jatuh dan tercerai berai ke lantai.
Terlihat bra dan celana dalam Davina yang sudah begitu usang terpampang jelas oleh Ali.
"Maaf," Ali seketika membeku melihat pakaian dalam Davina yang sangat tak layak dipakai.
Davina buru buru mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tasnya.
"Aku pulang aja," ucap Davina hendak bergegas. Namun, Ali menahannya.
"Makan dulu," ucap Ali.
"Engga!" Davina sudah kepalang malu karena sang kekasih melihat sesuatu yang begitu privat miliknya. Apalagi dengan kondisi yang tak layak.
"Maaf, Vin. Maaf!"
"Lepas!"
Ali merengkuh tubuh Davina dan memeluknya.
"Maaf, maaf. Aku minta maaf. Aku salah, Vin. Aku akan pura pura engga lihat. Aku janji," ucap Ali.
"Aku malu!" ucap Davina sedih.
"Jangan malu sama aku. Aku, kan pacar kamu?" ucap Ali.
"Kamu lagi marah sama aku," sahut Davina.
"Ya habis kamu gitu. Masa aku dicuekin di sekolah!" pekik Ali. Ia sontak melepas pelukannya kepada Davina.
Davina tersenyum ke arah Ali yang terlihat kesal. Tapi ia lega, pria itu sudah tak marah lagi kepadanya.
"Kenapa engga berangkat sekolah?" tanya Davina.
"Engga apa apa," jawab Ali.
"Ih, kog, gitu?" pekik Davina kesal.
"Kenapa kangen, ya?" goda Ali.
"Ih, apaan," Davina berusaha menghindari Ali lalu menuju ke meja makan. Ia menghirup aroma mie instan buatan Ali.
"Boleh kumakan?" tanya Davina.
"Ya, ya. Itu emang buat kamu," ucap Ali sambil mempersilahkan Davina duduk.
Davina segera duduk dan menyantap makanan itu.
"Engga ada cabe apa?" tanya Davina.
"Cabe? Di kulkas mungkin. Bentar," ujar Ali sambil berdiri menuju ke kulkas. Ia mengambil tempat cabai.
"Berapa? Dua?" tanya Ali.
Davina tersenyum dan mengangkat lima jarinya ke arah Ali. Membuat Ali menganga melihat hal itu.
***
Keringat di kening Davina terlihat mengumpul dan Ali segera menyekanya. Ia masih takjub kepada sang gadis karena kuat makan dengan cabai rawit merah sebanyak itu.
"Perutmu engga sakit?" tanya Ali.
"Engga," sahut Davina.
Selesai makan Davina segera membawa mangkok mie itu ke dapur dan mencucinya. Ali tersenyum melihat Davina yang begitu bertanggung jawab akan mangkok bekas makannya.
"Kenapa senyum?" tanya Davina.
"Kayak di rumah sendiri, ya?" ucap Ali.
"Eh, maaf. Aku bukannya ... "
"Engga apa apa, dong. Kan, kita pacaran," ucap Ali.
Davina tersipu malu saat Ali berkali kali menekankan kalau mereka memiliki hubungan.
"Kamu udah engga marah?" tanya Davina.
"Eumh, gimana, ya? Hatiku sebenarnya masih sakit. Tapi, ya, gimana, ya?"
Tiba tiba Davina mendekati Ali dan menggenggam tangannya.
"Jangan marah," ucap Davina.
Seketika Ali terdiam. Ucapan Davina benar - benar meluluhkan hatinya. Ia menghela nafas lalu merangkul sang gadis.
"Ali, dari tadi kita di rumah. Ibu kamu engga keliatan?" tanya Davina.
"Ibu umroh," ucap Ali.
"Hah? Terus kenapa kita di sini berduaan aja? Davina segera mendorong tubuh Ali menjauh darinya.
"Makanya aku engga berangkat sekolah. Kalau kita ketemu, aku pasti pengen berduaan sama kamu. Eh, kamu malah datang sendiri ke sini. Udah kusuruh pulang juga," ucap Ali.
"Ya, udah aku pulang aja," ujar Davina.
"Heh, gimana, sih? Hujannya masih lebat banget gini, kog," ucap Ali.
"Terus gimana ini? Kita engga boleh berdua doang, kan?" ucap Davina kebingungan.
"Eh, emangnya aku cowok apaan? Aku ngga bakal ngapa - ngapain kamu," ucap Ali dengan nada kesal.
"Lah, tadi kamu nyuruh aku lepas baju?"
"Lah kamu, kan basah kuyup. Masa aku biarin kamu basah?" ucap Ali.
"Kita kenapa berantem lagi?" ucap Davina.
"Kamu yang suka bikin emosi," sahut Ali.
"Jadi kamu marah lagi?"
"Enggalah!"
"Kog, ngegas?"
Mereka tiba tiba saling tersenyum dan memandang satu sama lain. Ali begitu menyayangi gadis ini. Entah kenapa, ia tak bisa lepas dari Davina.
***
Ali dan Davina berada di depan tv sedang menonton acara di tv. Mereka duduk berjauhan satu sama lain. Namun, tangan Ali berkali kali mencoba menggenggam tangan Davina.
"Ali!" pekik Davina.
"Pegangan tangan doang," ucap Ali.
"Jangan, ah," ucap Davina.
"Ih, kog jangan. Sini, pegangan," bujuk Ali.
Ali terus saja meminta Davina untuk menggenggam tangannya hingga akhirnya Davina mengalah dan mereka pun saling menggenggam tangan mereka masing masing.
Ada desir - desir lembut merasuk ke dalam dada mereka saat tangan mereka saling bertautan jari jemari satu sama lain.
"Ali, aku harus pulang," ucap Davina dengan nada yang lirih.
"Masih hujan," ucap Ali.
"Gimana kalau aku kena marah?" ucap Davina.
"Aku juga lagi mikirin itu," ujar Ali.
Davina menatap ke arah Ali. Sudah hampir Maghrib, dan Davina belum sampai di rumah. Ia takut ayahnya akan marah dan memukulinya. Namun hujan tak jua reda.
"Pulang hujan hujan aja," ucap Davina.
"Jangan, percuma, dong kita nunggu," ucap Ali.
"Terus gimana?" tanya Davina.
"Tidur di sini aja," ucap Ali.
"Hah, kamu gila?"
"Ayahmu, kan, engga tahu rumahku," ucap Ali.
Bersambung ...