Tentang aku yang membenci dunia
"Juara 1, tetap ditanganmu Alea"
Aku hanya tersenyum mendengar guruku berkata demikian, ranking kelas tetap aku yang memegang puncaknya. Dan lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum mendengar berbagai pujian itu padaku, banyak orang tua yang memarahi anak-anaknya setelah pembagian rapot karena anak mereka tidak masuk ranking 10 besar.
Beberapa mata menatapku dengan tatapan sinis sekaligus iri, tapi aku tidak peduli dengan semua itu. Aku terus tersenyum sepanjang perjalanan dimana ibuku membawaku kedalam mobil, didalam sana ayahku sudah tersenyum padaku ketika ibu menjelaskan nilaiku padanya.
'Kami bangga padamu nak'
Kata itulah yang selalu aku dengar dari mereka, tentu saja aku memasang ekspresi senangku dihadapan mereka sampai ketika aku pulang kerumahku yang sepi. Terlihat dengan jelas wajah seorang pria yang merupakan anak dari pembantuku sudah babak belur karena nilainya yang katanya menurun, sebenarnya babak belur itu bukan karena dimarahi oleh pembantuku tapi kurasa karena ia di bully beberapa anak di sekolah.
"Sampai kapan kamu begini?! Ibu bilang belajar ya belajar! Bukan main game terus!"
"Maaf bu"
"Maaf terus yang kamu bilang, kapan berubahnya?!"
Ayahku menyuruhku untuk masuk kamar dibandingkan melihat pertengkaran pria itu dengan ibunya, masih dapat kuingat wajahnya yang seperti ketakutan itu menatapku seperti meminta pertolongan padaku. Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun dan selama itu pula ibunya bekerja pada keluargaku yang-
/PRANG/
"SIAPA DIA?!"
"ITU SEKERTARIS AKU!"
"SEKERTARIS MACAM APA YANG NGASIH PANGGILAN SAYANG GITU HAH?!"
-sering bertengkar, ibuku masih belum tau tentang perselingkuhan ayahku dibelakangnya. Berkali-kali aku memergoki ayahku membawa seorang wanita yang cukup muda kerumah dan melakukan hubungan terlarang dikamar orang tuaku, tapi aku bungkam. Aku bungkam bukan berarti aku diam, ponselku bergetar menunjukan nama sahabatku saat SMP menelfonku.
'Pita is Calling'
"Udah,Pit?"
"..."
"Gue kesana"
/Pip/
Aku ambil jaketku yang berada di lemari setelah mengganti bajuku dengan pakaian yang lebh hangat, ya cuaca malam ini cukup dingiin jadi aku menambah lapisan bajuku. Ketika aku keluar kamar ibu tengah menangis di ruang tamu sementara ayahku berdiri memunggunginya, aku tidak peduli dengan suasana ini dengan cara tersenyum sebelum aku meminta izin pada kedua orangtuaku itu.
"Ibu, Ayah. Lea izin keluar ya, mau ngerayain kelulusan!"
Terlihat ayahku hanya mengangguk dan ibuku tetap diam menunduk, aku tetap pergi tanpa mempedulikannya. Diluar sudah terlihat pria yang tadi bertengkar dengan pembantuku kini tengah membersihkan mobilku.
"Gue mau pergi, lo mau ikut?"
"Ga perlu, non. Non Lea pasti mau refreshing karena orangtua non berantem kan?"
"Engga ko, gue mau rayain kelulusan. Lo juga lulus, Tera. Masa lo diem disini bersihin mobil gue?"
Pria itu tetap menunduk mendengar aku bicara, memang sih sepertinya Tera itu tidak pandai menjaga diri menyembunyikan segalanya dibalik kacamatanya. Dia tidak suka masa-masa SMA, dan yang dia suka hanyalah masa SMP. Di SMP Tera punya banyak teman yang membelanya jika ia bermasalah tapi di SMA ia dibully habis-habisan karena kebodohannya, tidak sepertiku yang diberkahi otak cerdas. Tera yang dulu berbeda dengan Tera yang sekarang, aku benci melihatnya sekarang.
"Udah lupain, lagian gue juga ga mau lo tau apa yang bakal gue lakuin"
"Non-"
"Jangan panggil gue non bisa kan?"
Dia diam lagi, ah sudahlah aku lebih memilih untuk segera pergi melajukan mobilku meninggalkan Tera dibelakang sana. Ah mulutku terasa tidak enak untunya aku masih menyimpan 2 batang rokok di saku jaketku, ya maaf aku memang perokok. Rambutku yang asalnya berkepang dua kini kulepas menjadi terurai, sedikit demi sedikit kuhisap rokokku dengan tenang bahkan kini aku tidak lagi tersenyum seperti tadi.
Ketika aku sampai ditujuan terliha Pita melambai padaku dari luar sana, akupun hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Keluar dari mobil dan menghampiri mereka dengan langkah yang mereka sebut angkuh tapi keren itu sudah menjadi ciri khas ku, seorang pria yang sangat kukenal kini berjalan kearahku dan-
/Chup/
Menciumku dengan ganas, tentu saja aku membalasnya tak kalah ganasnya dengan dia hingga beberapa detik aku melepas paksa ciuman kami dengan cara mendorong pelan dadanya yang bisa dibilang cukup bidang itu.
"Wow, sambutan yang lumayan. Gue ga tau lo juga disini Jef"
"Siapa yang bakal ngelewatin satu malem sama cewe perfect kaya lo, Le? Gua juga bawa Erdan kesini, abis urusan lo selesai lo bisa kan main sama kita?"
Lagi-lagi aku kembali tersenyum sinis mendengar ucapan Jefri, ngomong-ngomong hubunganku dan dia hanya sebatas Friend With Benefit. Tentunya juga dengan Erdan, dia juga Friend With Benefit ku.
"Sure Babe, why not? I'm free tonight"
"Good news"
Aku melangkah mendekati Pita yang tengah asik saling merangkul dengan Wisnu, Pacarnya. Berbeda dengan Pita aku lebih memilih untuk tidak memiliki hubungan seperti pacaran atau apalah itu karena menurutku, itu hanya membuang waktuku.
"Hey, lo udah sampe?"
"Hmm, baru aja. Dimana tu orang?"
"Di dalem, lagi diurus sama Erdan"
"Oke,gue masuk dulu ya"
"Sip"
Jujur saja aku senang jika kini teman-temanku berhasil untuk menangkap orang ini, dengan langkah bangga aku memasuki ruangan yang kini sudah ditempati duluan oleh Erdan. Pria itu ternyata sadar akan kedatanganku, pria itu mendekat dan langsung mencium pipiku sekilas.
"Untung lo pake sweater, gua ga yakin dalemnya aman"
"Lo bakal dapet nanti, tapi berbagi sama Jefri oke?"
"Iya-iya gua tau, nih"
Senyumku mengembang ketika Erdan memberiku sebuah tongkat baseball kayu miliknya seperti habis menerima sebuah hadiah natal, aku mengalihkan pandanganku kearah seseorang yang kini terlihat menangis karena diikat di kursi sakral-ku (menurutku). Aku melangkah mendekat dan-
/BUGH/
/BUGH/
/BUGH/
"KUMOHON CUKUP!"
Mendengar permohonan orang yang tadi kupukuli ingin rasanya aku mendecih mendengar ucapannya yang terdengar menyenangkan di telingaku, tanpa mempedulikan permohonannya aku melanjutkan acara pukul-memukulku menggunakan tongkat Baseball yang baru kudapatkan dari Erdan.
/BUGH/
/BUGH/
/BUGH/
/BUGH/
Mungkin ketika nanti aku ke hotel bersama Erdan dan Jefri aku akan mencuci tongkat ini karena terciprat darah orang yang berada dihadapanku akibat kupukul habis-habisan, rasanya menyenangkan bisa berbuat hal ini pada orang yang kubenci.
"Wah, nanti pasti harus dicuci"
"Gue cuci besok pagi aja sebelum balik"
Bisa kulihat Erdan tersenyum menanggapi ucapanku, aku tidak ingin ada yang mengganggu malamku kali ini dengan kedua pria itu termasuk tongkat ini. Perlahan aku berjalan mendekati orang itu dan berbisik disamping wajahnya yang menatapku ketakutan sekaligus ngeri.
"Tante Yuni, sekertaris kesayangan ayah. Baik-baik ya disini, bye bye"
"TANTE LAPOR KAMU KE POLISI! "
"SILAHKAN! Maaf tante, siapa yang bakal percaya sama tante? Ayah bakal bebasin saya, karena ayah saya hanya percaya anaknya yang pintar, ceria, dan baik hati. Bukan pelakor kaya tante, ya udah saya pergi dulu tante. Makasih hiburannya"
Setelah mengatakan kata-kata itu aku langsung pergi meninggalkan Tante Yuni sendirian tergeletak dilantai yang penuh oleh darah orang itu sendiri, Erdan merangkulku dengan mesra sebari menciumi rambutku sesekali. Diluar pun Jefri sudah siap dengan mobilnya, aku dan Erdan langsung masuk dan tanpa basa basi Erdan menciumku ganas ketika kami sudah berada di dalam mobil.
Yang menyetir mobil adalah sopir pribadi Jefri dan kini sang pemilik mobil ikut mengerayangi tubuhku ketika Erdan masih asik melumat bibirku. Dengan paksa aku melepas ciuman Erdan yang kini telah kalap akan nafsu mencoba untuk mengontrolnya sedikit, ini masih di mobil aku tidak nyaman.
"Tahan, kita lanjutin nanti"
"Biarin kita nyentuh lo aja kalau gitu"
"Tap-Anghh Jef"
Sudahlah, percuma jika aku bicara dengan kedua pria ini. Mereka kalap akan nafsu dan akupun hanya diam pasrah menikmati apapun yang mereka lakukan padaku.
Kenapa aku melakukan ini?
Simpel saja
Aku benci dunia ini.
Aku benci diriku.
Aku benci orangtuaku.
Aku benci guruku.
Aku benci temanku.
Dan aku benci semua orang.
Jadi tidak masalah jika aku tidak punya harga diri sekalipun, karena aku memang tidak mau mempertahankannya. Kenapa? Karena aku benci hidup di dunia yang sangat tidak adil dan kejam seperti ini.
Demnächst