13 13-MASALAH WINDI

Jangan membenci mereka yang berbicara buruk kepadamu, karena merekalah yang buatmu makin kuat di setiap harinya. Sifat remaja itu labil, sulit di tebak dan bahkan tidak bisa di tebak sama sekali.

Perilaku mereka, bergantung pada lingkungan mereka tinggal, dan terkadang kita harus membuat lingkungan yang baik untuk perkembangan kedewasaan yang baik. Seseorang tidak akan bisa berpikir menjadi dewasa, sebelum dia memiliki masalah berarti dalam hidupnya.

Mungkin seperti inilah cara Windi tumbuh dewasa. Tentu saja aku tidak bisa menyikapinya dengan sembarangan. Selesai sarapan, aku membuatkan kotak bekal untuknya. Setelah papa dan Arthan pergi ke kantor mereka masing-masing, aku menyelipkan kotak bekal itu ke dalam tas Windi yang dia tinggal di meja makan.

"Apa yang kamu lakukan?!" teriak Windi begitu melihatku menutup resleting tasnya. Dengan cepat dia berjalan menuruni tangga dan menghampiriku.

"Apa ini? Bekal?" tanyanya sambil memperhatikan kotak bekal berisi roti isi yang kubuat tadi.

"Iya, Kakak sudah buatkan roti isi untukmu makan siang di sekolah. Jangan lupa di makan, ya!"

"Tidak usah sok baik padaku! Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah suka menerima pemberian apapun darimu!" Windi dengan mudahnya membanting kotak makan itu hingga keluarlah semua isinya.

Tentu saja hal itu menimbulkan suara nyaring ketika benda plastik dan lantai porslen beradu. Bahkan saos mayones yang ada di dalam roti isi itu mengotori lantai yang bersih. Aku sampai tutup mulut karena saking kagetnya melihat aksi banting kotak makan itu.

"Astaghfirullah, Windi. Ini makanan, jangan di banting seperti itu," kataku langsung memungut rotinya dari lantai.

"Siapa suruh memberiku bekal murahan begitu?" sungut Windi merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Memejamkan mata, istighfar, berusaha meredam emosi yang ingin kuledakan. Seumur hidup, baru pertama kalinya aku menghadapi gadis remaja yang kesopanannya jauh dibawah rata-rata. Berdiri perlahan, lalu menatap kedua pupil Windi yang di tutupi soft lens.

"Kamu ini sebenarnya punya masalah apa? Masalah sekolah? Coba cerita sama Kakak."

Windi tak menjawab, dia malah tersenyum, perlahan tertawa. Tapi tawanya bukan seperti tawa bahagia, melainkan tawa menyeramkan yang bahkan tak pernah kulihat dari anak remaja lain. Aku juga dibuat kaget ketika Windi menggebrak meja.

"Mau tau apa masalahku? Masalahku adalah kamu! Kamu, perempuan kampungan yang menikah dengan kakakku. Aku malu, semua teman-teman SMA-ku datang di hari pesta pernikahan kalian, dan kamu tahu apa?" Tatapan tajam dilayangkan Windi ke arahku, sambil terus berusaha mendekatkan wajahnya padaku.

Mengikis jarak di antara kami, Windi benar-benar kelihatan marah. "Teman-temanku, meledekku dengan mengatakan jika kakak iparku, adalah perempuan kampung!" tambahnya setelah setetes air mata mengalir di matanya.

Aku tak tahu harus jawab, bibirku seketika tak bisa dibuka, seperti ada gembok yang menggantung di antara benda kenyal ini. Melihat tatapan Windi, membuatku merasa kalau dia memang tersiksa memiliki kakak ipar sepertiku.

Saking tajamnya tatapan itu, aku bahkan sampai tak sanggup melepas oksigen dengan bebas. Entahlah, aku jadi takut salah bicara kalau sudah seperti ini.

Dari anak tangga, terdengar langkah kaki yang mengarah ke ruang makan. Itu adalah oma, dia kaget melihat sisa saos mayones di lantai, tepatnya di dekat kakiku.

"Ya, ampun! Ada apa ini?" tanya oma melihat ke seklilingku.

Windi segera menjauhkan wajahnya dariku, mengambil tas lalu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.

"Nad, ada apa? Kenapa bisa berantakan seperti ini?" tanya oma lagi memegang pundakku.

"Tidak ada, Oma. Tadi bekalnya Windi jatuh," jawabku dusta.

"Bekal? Tumben Windi mau bawa bekal, biasanya dia tidak suka bawa bekal ke sekolah," heran oma menggaruk kepalanya.

Tak mau membuat oma semakin kepikiran, aku pun memilih untuk mengalihkan perhatiannya dan meminta oma menunggu di ruang tengah sementara aku membersihkan kekacauan ini.

Selesai beberes, aku langsung ke kamar untuk merapikan tempat tidur. Aku juga sempat mengobrol bersama oma sebentar, tapi tidak bisa menemaninya lebih lama, karena kamarku masih berantakan, terutama tempat tidur Arthan.

Saat merapikan kamar, tanpa sengaja aku menemukan sebuah foto di bawah bantal tidur Arthan. Aku tidak tahu siapa wanita yang berselfie bersama Arthan, yang jelas mereka kelihatan sangat bahagia di foto itu.

"Wajah wanita ini kelihatan tidak asing, tapi aku tidak tahu pernah melihatnya dimana," gumamku bertanya pada diri sendiri.

Sebenarnya aku sedikit kesal melihatnya, sebab sekarang status Arthan adalah suamiku, tapi dia masih berani menyimpan foto selfie bersama wanita lain di bawah bantalnya.

Namun, sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Ternyata mama, dia memintaku untuk mengambil pakaian kotor di semua kamar untuk di cuci, karena mama ada acara makan-makan di rumah temannya.

"Tenang saja, kamu hanya perlu menggilingnya di mesin cuci. Jadi tidak perlu mengotori tangan," kata mama sebelum dia pergi.

"Iya, Ma." Segeralah aku pergi ke kamar oma setelah mama pergi.

Terlihat wanita paruh baya itu sedang menikmati secangkir teh di kursi goyang kesayangannya di salah satu sudut kamar. Matanya terpejam, menikmati setiap ayunan dari kursi rotannya.

"Permisi, Oma. Aku ingin mengambil pakaian kotor," kataku setelah mengetuk pintu yang terbuka.

"Oh, iya. Ambil saja di situ."

Pakaian oma hanya sedikit, mungkin sekitar tiga sampai lima helai. Beralih ke kamar mama, aku mendapat lebih banyak pakaian kotor milik papa dan mama. Sekarang tinggal ke kamar Windi, untungnya kamar itu tidak di kunci, jadi aku bisa leluasa masuk ke dalamnya.

Nuansa kamar Windi begitu ceria, semua serba warna pink. Mulai dari sepreinya, hiasan dinding, meja rias, bahkan lemarinya juga warna pink. Bergeser sedikit dari meja rias, ada sebuah rak buku kecil berisi buku-buku novel koleksinya.

"Dia pasti sangat hobi membaca, semua novel remaja ini kelihatan menarik," kataku.

Rupanya keranjang pakaian kotor ada di samping lemari, segera lah kuambil dan memasukkannya ke keranjang yang kubawa. Tanpa sengaja mataku menangkap sebuah buku cantik berjudul 'My Diary' bertema pink yang tak sengaja kusenggol hingga jatuh ke lantai.

Kebetulan, buku itu terbuka ketika jatuh dan memperlihatkan sebuah halaman yang di dalamnya diselipkan sebatang pensil.

Aku tidak bermaksud membaca, tapi sebuah kalimat berhasil terbaca olehku. "Salahkah aku mencintai saudaraku sendiri?"

Kaget? Jelas! saudara sendiri? Maksudnya apa? Mana mungkin Windi mencintai Arthan 'kan? Itu kedengaran aneh dan sangat mustahil. Tapi ... saudara? Apa mungkin Windi punya saudara lain selain Arthan?

Tidak, setahuku mereka hanya dua bersaudara. Lalu saudara mana yang Windi maksud? Sungguh, ini sangat menggangguku. Saking mengganggunya, aku sampai tidak fokus dan hampir jatuh saat menuruni tangga. Untung saja aku masih bisa menjaga keseimbangan, kalau tidak mungkin aku sudah jatuh ke bawah.

avataravatar
Nächstes Kapitel