webnovel

Kepergian Ayah

Pagi yang berselimut awan tebal membuat nuansa kota kembang menjadi pilu, bendera kuning tertancap di pagar rumah bercat hijau muda, pagi itu Arsyla baru pulang dari taman, sudah menjadi rutinitas hari ahad untuk lari di sekitar taman dengan kedua adiknya. Dari kejauhan nampak ramai di depan rumahnya, maka seketika Arsyla menghentikan tawanya dan mulai menilik dengan netranya menuju kerumunan orang yang ada di halaman rumahnya, sedetik kemudian dia mengalihkan pandangannya pada bendera kuning yang berkibar lesu tepat di pintu pagar rumah. Langkahnya terhenti lalu dia mulai betanya-tanya penuh luka.

"tunggu, dek apa kalian melihat itu?" Tanya Arsyla sambil menunjuk ke arah rumahnya yang ramai.

Kedua adiknya mengangguk ragu, lalu Arsya kembali berusaha meyakinkan diri dengan apa yang dilihatnya, dia mengucek kedua matanya berkali-kali dan melebarkan kedua matanya berusaha 

mencari jawaban, lalu sedetik kemudian dia menarik kedua lengan adiknya dengan terburu-buru

" Kakak harap tidak ada apa-apa, ayo kita cari tahu dek" ungkapnya sambil melangkah cepat dan kedua tangannya menarik kedua adiknya.

Kedua adiknyapun masih bingung dengan yang dilihat, keduanya berusaha mengikuti langkah kakaknya yang terburu-buru itu. Sesampainya di depan pagar tiba-tiba ada seorang perempuan paruh baya yang baru saja keluar dari rumahnya menyapa sambil mengelus lembut pundak Arsyla dan Raras.

"yang sabar ya neng, semoga Allah menerima amal ibadahnya dan mengampuni dosa-dosanya"

Arsyla semakin tidak mengerti, dia semakin takut untuk melanjutkan langkah kakinya menuju rumah, Arsyla bersitatap dengan Raras yang mulai tidak bisa menyembunyikan lagi rasa khawatirnya.

"kak sebenarnya ada apa ini, ayo kak kita masuk," ajak Raras sambil menarik-narik lengan Arsyla dan Yasa yang hanya mematung.

Yasa bukan hanya sekedar mematung tanpa arti tapi dia mulai faham dengan apa yang sedang terjadi, seusai shalat subuh dia merasakan ada yang aneh dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba memintanya untuk menjaga Ibu dan adik kakaknya. Padahal sebelum-sebelumya ayahnya tidak pernah seserius itu berpesan, apalagi dalam keadaan sedang bersama-sama di rumah kecuali kalau hendak bepergian barulah kata itu akan terucap. Yasa mulai curiga dan dia segera berlari masuk menuju rumah meninggalkan kakak dan adiknya yang barusaja akan melangkahkan kaki mereka menuju rumah, namun melihat tingkah Yasa Arsya dan Raras justru malah semakin heran dan keduanya kembali bersitatap.

Sesampainya di ruangan tamu, lidah Yasa semakin kelu, di hadapannya terbaring sesosok lelaki yang sudah terbungkus dengan kain kafan dan berselimutkan kain menutupi sekujur tubuhnya. Matanya kemudian menatap pilu sesosok perempuan yang begitu dia kenal, perempuan itu masih tersedu, kerudung hitamnya begitu kontras dengan wajahnya yang putih namun kini berubah menjadi kemerahan karena sendu yang menyapanya tanpa permisi. Yasa memberanikan diri mendekatinya dan berbisik penuh takjim,

" Bunda kenapa dan ini siapa?" tanya Yasa polos seperti anak kecil

Lalu Khadijah langsung memeluknya tanpa kata, tiba-tiba tanpa penjelasan dari ibunya Yasa seolah mengerti siapa yang terbaring kaku di hadapannya itu, dia mulai menangis dan sedikit berteriak,

"tidaaaak, kenapa ayah pergi meninggalkan kami." Teriaknya sambil mencoba menggerakan tubuh kaku dihadapnnya itu.

Meskipun dalam keadaan sedih namun Khadijah masih berada dalam kesadarannya, dia mencoba menarik Yasa dan memeluknya penuh dengan kasih sayang,

"sudah nak, bunda tahu kamu sedih tapi inilah jalan takdir dari-Nya." Ungkap Khadijah berusaha menenangkan anaknya.

Sementara di luar rumah Arsyla dan Raras segera menyusul Yasa ketika mendengar teriakannya, belum sampai ke ruang tamu saat mereka berdua menyaksikan bunda dan kakaknya sedang menangis menghadapi sesosok berselimutkan kain kafan, mereka berdua langsung pingsan, sebelum tubuh mereka terjatuh ke lantai, dengan sigap tangan-tangan orang yang ada di dekat mereka meraihnya dan segera membopong keduanya menuju ruang keluarga dan mereka dibaringkan di karpet yang sudah digelar. Beberapa dari saudara Khadijah berusaha untuk menyadarkan keduanya dengan mendekatkan minyak kayu putih ke hidung. Arsyla dan Raras tidak kunjung sadarkan diri akhirnya Khadijah meminta tantenya Arsyla untuk membantu memapahnya ke kamar, dan keduanya pun di baringkan di kasur tepatnya di kamar Raras, karena kamar itulah yang terdekat dengan ruang keluarga. Kamar bernuansa pink cerah pun kini berubah menjadi seakan kelabu bagi Khadijah saat menyaksikan kedua anak gadisnya pingsan karena keduanya belum bisa menerima kepergian ayahnya.

Ketiga saudara Khadijah pergi meninggalkannya, membiarkan Khadijah dan ketiga anaknya berada dalam kamar.

"Kak Khadijah, sebaiknya kakak istirahat saja dulu di sini menemani anak-anak kakak, biarlah kami yang akan mengurus semuanya." Ungkap Adiknya Khadijah

"Iya kak, oh iya Yasa kamu harus kuat." Ungkap adik Khadijah yang lain sambil mengusap pundak Yasa.

Yasa tidak memberikan respon, dia masih berusaha untuk menenangkan diri sendiri. Lalu tantenya pun keluar dari kamar. Yasa duduk di dekat ibunya dan mulai memberanikan diri untuk bertanya kembali.

"Bu apa benar itu ayah?" Tanya Yasa dengan sedikit lebih tenang meskipun air mata tidak bisa menutupi kesedihannya.

Khadijah hanya membalasnya dengan anggukan dan kemudian memeluk Yasa sambil kembali tersedu pelan. Saat Yasa dan Khadijah sedang menangis tiba-tiba Arsyla tersadar dengan menyebut-nyebut ayahnya.

"ayah, ayah, ayah jangan pergi." Gumam Arsyla dengan suara yang lemah

Khadijah mendekat dan berusaha tenang, mengusap-ngusap ubun-ubun Arsyla yang tertutupi kerudung hitamnya.

"Sabar nak, semua yang hidup pasti akan mengalami mati, itu sudah sunatullah." Ungkap Khadijah dengan bijak.

Meskipun Khadijah sendiri terpukul dengan kepergian suaminya namun di hadapan anak-anaknya dia berusaha untuk tetap tenang dan tegar, dia ingin memberikan contoh pada anak-anaknya bahwa ujian itu pasti datang, dan sepahit apa pun itu harus bisa dilalui dan dihadapi dengan tenang. Hati boleh terluka tapi nurani jangan sampai mati dan akal sehat jangan sampai ikut cedera itulah prinsif Khadijah. 

Usapan lembut tangan Khadijah membuat kedua mata Arsyla terbuka, pandangannya menatapi ibu dan adiknya yang berdiri di haadapannya, Arsyla berusaha untuk bangkit dan ibunya tidak tinggal diam, dia ikut membantu anaknya untuk duduk. Kini Arsyla dan ibunya duduk berdampingan, keduanya saling berpelukan dan air mata pun tidak bisa terbendung, keduanya akhirnya mencurahkan kepedihannya.

Lima menit kemudian Khadijah melepaskan pelukannya,

"Arsyla kamu harus sabar, kamu tidak sendiri di sini masih ada Ibu dan kedua adikmu, percayalah inilah jalan yang harus kamu tempuh," ungkap Khadijah sambil menatap sayu anak sulungnya itu.

Arsyla menatap ibunya, kemudian menatap Yasa yang masih berdiri di hadapnnya lalu terakhir menatap Raras yang masih terbaring belum sadarkan diri, sedetik kemudian tangisnya kembali pecah mengisi seisi ruangan kamar itu. Khadijah kembali memeluknya dan mengusap-ngusap pundak anaknya.

"sudah nak, kamu jangan menangis terus, sedih boleh tapi jangan sampai kamu terus-terusan menangis seperti ini, kasian ayah nanti ikut sedih." Ungkap Khadijah bermaksud menenangkan anaknya.

Namun bukannya tangis Arsyla berhenti justru malah membuatnya semakin menjadi. Yasa kini ikut memeluk kakaknya dan berusaha menenangkannya.

"sudah kak Arsyla, kasihan Bunda, jangan membuat bunda semakin sedih, kita semua juga merasakan apa yang kakak rasa, tapi bunda benar kita harus kuat kak." Ungkap Yasa sambil menahan tangisnya.

Tidak lama kemudian Raras pun tersaadar dan tanpa diminta dia bangkit dan ikut memeluk kakak dan bundanya,

"bunda" Ungkap Raras singkat lalu kemudia dia menumpahkan air matanya dipelukan bundanya.

Bersambung....

Nächstes Kapitel