Pulang dari kamar mandi umum semakin membuat aku kepanasan, mandi singkat disana rasanya tidak terasa ketika sampai rumah. Hal itu bukan tanpa alasan, itu dikarenakan cuaca panas dan sumber air yang ada di rumah ku mengalami kekeringan.
Namaku Lia, aku tergolong perempuan yang cenderung tertutup dengan orang lain mengenai pria, tapi karena cuaca panas ini aku menemukan sesuatu yang aku pendam selama ini. Aku memiliki sahabat dekat bernama Lala, dia tetanggaku dan nama Lala juga kata orangtuanya biar sama dari huruf L seperti aku.
"Lia, lihat itu kang Risman?"
Jantungku berdegup kencang ketika melihat lelaki berusia 30 tahunan sedang membuka baju dan hanya memakai sarung saja.
Iseng-iseng aku dan Lala mendekati kang Risman yang ada di depan rumahnya, tapi baru juga dekat dengan dirinya aku mengajak Lala untuk kembali pulang.
"Kamu itu kenapa sih Lia, katanya pingin nyium bau ketek kang Risman?"
"STsstt... Apa kamu gak risih bau badannya La?"
"Ya risih sih, terus kamu cari yang gimana?"
"Aku tuh cari yang keteknya tuh bau asem tapi buat terangsang, kalau bau badan gitu malah pingin muntah."
"Lia, Lia, kalau di daerah seperti kita itu jarang ada orang kaya gitu."
Sedang asyiknya aku mengobrol dengan Lala, tiba-tiba saja ibuku menyuruh aku untuk mengambil air lagi. Jujur aku malas sekali, apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, panas yang super menurutku.
Aku pakai kerudung serta pakaian serba tertutup, walaupun panas aku harus jaga image sebagai wanita yang Sholehah.
Aku kaget bukan main ketika sampai disana, antrian begitu panjang dimulai ibu-ibu, pemuda pemudi sampai bapak-bapak. Tapi ada satu hal yang aku sukai karena hampir semua lelaki disana bertelanjang dada, hanya satu lelaki yang masih lengkap dengan pakaiannya yaitu kang Asep.
Kendati panas sekali dia seolah tidak merasa kepanasan sama sekali.
"Berhubung ini tinggal ada pada 2 kran air jadi untuk yang mengantri pada kran ketiga tolong pindah ke kran kesatu atau kedua."
Reflek aku langsung mencari antrian pada kran satu dan entah apa yang membuat aku sampai terjatuh, aku memegang tangan seorang pria dan telapak tanganku menyentuh bulu ketiaknya yang basah.
"Maaf."
Aku tidak mengenal pria itu, pada saat itu juga aku pura-pura memegang hidungku padahal aku ingin mencium aroma ketiaknya.
Pikiranku melayang karena aroma tak sedap dari ketiaknya benar-benar membuat aku mabuk kepayang. Aku merasa kalau bagian bawahku agak basah, tapi aku tetap tenang agar orang-orang tidak curiga.
"Lia, Lia, kamu gak apa-apa?"
Lala menghampiriku karena aku sendiri hampir jatuh, saat aku kenali lebih dekat rupanya lelaki yang bau ketiaknya membuat aku basah adalah pak Dadang. Dia adalah seorang pekerja kantoran, tapi kok keteknya bisa bau kaya gini.
Singkat waktu Lala menginap di rumahku, lantas aku menceritakan kalau tadi siang ketika mengantri air vaginaku basah. Sontak Lala kaget, kok bisa-bisanya ada orang yang buat aku basah. Dia pun bertanya siapa penyebabnya.
Saat mendengar nama pak Dadang dia pun ikut kaget karena pak Dadang seorang pekerja kantoran yang notabene duduk di depan komputer.
"La?"
"Apa?"
"Pingin!"
"Pingin apa? Jangan bilang kamu mau cium bau keteknya pak Dadang dari dekat, bisa marah Bu Ratih kalau tahu suaminya ada yang ngefans. Secara pak Dadang cukup ganteng juga."
"Plis bantu aku La, aku cuma pingin nyium keteknya doang. Gak pingin milikin dia."
"Yakin?"
"Kalau pak Dadang mau kenapa nggak."
"Ngawur!"
Besoknya aku dan Lala kembali mengantri air pada jam yang sama seperti kemarin, ibuku saja aneh kenapa aku rajin buat ngambil air pada hari itu.
Dasar emang rezeki usai sampai disana, aku lihat pak Dadang sedang mengobrol dengan kang Asep. Bisa-bisa kalau aku langsung menunjukkan rasa inginku jelas akan menimbulkan kecurigaan terutama didepan kamu Asep yang merupakan adik dari pak Dadang.
"Eh yang kemarin ya?"
Aku lihat pak Dadang menyapaku dan senyumnya begitu manis, aku diam-diam melirik ke arah ketiaknya yang berbulu lebat serta agak basah.
"Iya pak."
"Eneng itu anaknya Bu Ipah ya?"
Aku pun mengiyakan apa yang dikatakan oleh pak Dadang, tapi tiba-tiba saja dia tersenyum kepadaku.
"Bilang sama ibu, ada salam dari bapak."
Tiba-tiba saja Asep terlihat marah dan membentak kakaknya.
"Kang, ingat yang dirumah."
"Kamu mau sama si Eneng ini Asep? Kamu jangan kaya akang yang gagal dapatin ibunya."
Gila semakin gak ngerti saja aku sama obrolan dia orang ini, rencanaku gagal total karena kepikiran ada apa dengan ibuku dan pa Dadang. Ingin sekali cepat sampai rumah dan bertanya kepada ibuku.
Aku duduk di warung sembari membawa air dalam jerigen, aku menunggu Lala karena dia masih mengantri air.
"Ini anaknya ibu Ipah?"
Kaget rasanya tiba-tiba saja pemilik warung yang merupakan ibu-ibu cukup tua menyapaku.
"I..iya Bu."
"Gimana tadi ketemu bapak?"
"Maksudnya Bu?"
"Iya bapak Dadang."
Aku tidak mengerti dengan perkataannya, hanya saja apa yang dia katakan seolah memiliki makna yang lain.
Aku bergegas pergi karena merasa risih dengan ibu tersebut.
"Ibu kamu itu suka gak tahan kalau Dadang gak pakai baju waktu pacaran, bahkan kalau pacaran tuh hidung ibu kamu pasti diam di keteknya Dadang."
"Ibu sama pak Dadang pacaran?"
"Warga sekitar sudah tidak aneh kalau mereka pacaran, Dadang selalu telanjang dada kalau pacaran. Sampai terjadilah hal itu, ibu kamu dan Dadang melakukannya."
Aku panik dan syok seolah-olah tidak percaya apa yang ibu itu katakan, jadi rasa fetisku akan ketiak adalah turunan dari ibuku dan gilanya aku menginginkan bau ketiak ayahku sendiri.
"Bu, mana mungkin ini saya sampai seperti itu. Lalu kenapa pak Dadang tidak menikahi ibu?"
"Nenek kamu kecewa berat sama Dadang, dia lebih memilih lelaki lain untuk dijodohkan dengan ibu kamu. Dan gilanya lelaki itu mau menikahi ibu kamu kendati tahu dia sudah hamil anak Dadang."
"Cukup Bu."
Aku meneteskan air mata, aku segera pulang tanpa pamit kepada Lala. Sudah tidak tahan rasanya ingin bertanya kepada ibuku tentang apa yang dikatakan oleh ibu warung tersebut.
Aku menangis sejadi-jadinya ketika sampai rumah, ibuku jelas heran dengan apa yang terjadi denganku. Pasalnya aku yang tadi baik-baik saja saja tiba-tiba datang dengan tangisan.
"Kamu kenapa Lia? Ada yang nyakitin kamu?"
Aku tatap mata ibuku dan dengan lirih aku berkata kalau ibu yang membuat aku menangis, sontak ibuku heran kenapa dia jadi penyebab anaknya menangis.
"Kenapa dengan ibu?" Tiba-tiba saja ayahku datang.
Aku tatap matanya tajam, tidak ada gelora aroma kejantanan yang membuatku bergairah pada saat itu.
Lantas aku langsung saja bertanya kepada mereka berdua prihal yang dikatakan oleh ibu pemilik warung dekat pemandian umum.
Ayahku mengehela nafas dan dia memberi tahu kalau aku adalah anak kandung dia, bahkan dia siap tes DNA apabila ada kebohongan darinya.
"Lantas kenapa ibu pemilik warung itu bercerita demikian?" Tanyaku.
Lalu ibuku bercerita kalau dia memang memiliki kelainan begitu menyukai aroma ketiak seperti aku saat ini, dan pak Dadang memanfaatkan itu semua untuk menodainya. Bahkan bisa dibilang dia ambil kesempatan dari apa yang ibuku alami pada saat itu dengan seringnya meniduri ibuku.
Tapi dengan lantang ibuku mengatakan kalau dia tidak pernah hamil atas perbuatannya, ibuku pun berkata kalau dirinya mengalami depresi berat karena nenekku melarang dirinya bertemu dengan pak Dadang. Alasannya sudah jelas kalau ibuku sudah rusak dan pak Dadang harus bertanggung jawab.
Kalau bisa dibilang aneh jelas ibuku aneh, karena kelainannya lebih menjadi ketika musim panas dimana aroma jantan lelaki dari ketiaknya membuat dirinya tidak bisa menahan diri, hal itu juga yang diturunkan ibuku kepadaku.
Sampai pada akhirnya dia bertemu ayahku saat ini, ayahku sendiri bisa menerima ibuku yang bisa dibilang sisa dari pak Dadang. Selain itu ayahku bisa membuat ibuku hanya ada dalam dekapannya dengan cara menenggelamkan wajah ibuku kepada kepada ketiaknya ketika ibu diluar kontrol, benar saja sampai saat ini ibuku setia dengan ayahku.
Mungkin ini juga yang membuat aku keheranan kalau ibuku selalu diam di rumah selam musim panas, dan ketika ayahku pulang dia langsung ikut ke kamar.
Aku datangi ini pemilik warung yang hampir saja menghancurkan keluarga ku.
"Heh nenek lampir, tuh mulut jangan jadi racun."
Tiba-tiba saja keluar dari dalam rumahnya seorang lelaki muda dan itu adalah Asep.
"Maksud kamu apa dengan bilang kalau bibiku nenek lampir."
"Tanya saja sendiri!"
Aku hampiri Lala dan mengajaknya untuk segera pulang.
Tamat.