webnovel

Prolog

*Prank..

Suara pecahan piring di tengah-tengah sebuah cafe yang ada di tengah kota itu membuat pandangan semua orang yang di dalamnya langsung tertuju pada seorang gadis dengan kemeja putih dan celana hitam panjang yang baru saja menjatuhkan satu piring spaghetti untuk pelanggan di cafe itu.

"OKTA!?" Teriak seorang pria yang tampaknya adalah seorang manager atau pemilik cafe itu berdiri di depan pintu ruangan khusus karyawan. Gadis dengan rambut hitam yang di ikat itu pun tersentak seakan baru tersadar dari lamunannya dan langsung mencoba membereskan kekacauan yang baru saja dia perbuat. Semua pelanggan yang ada disana tampak terus membicarakan kejadian ini dan membuat Okta seakan terpojok di suasana yang teramat berat.

Saat malam semakin larut dan jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, Okta yang sudah memakai jaket dan membawa tas selempang miliknya tiba-tiba saja di panggil oleh bos-nya. Dengan perasaan takut dia pun mengikutinya masuk ke dalam ruangan karyawan. Hanya ada mereka berdua karna karyawan yang lain sudah pulang.

"Okta, kenapa akhir-akhir ini kamu selalu dan selalu saja membuat masalah. Saya tau kamu lelah karna siangnya kuliah, tapi bukan berarti kamu terus-terusan mengacau di tempat kerja" kata pria yang duduk di mejanya dengan tegas.

"I-iya pak maaf, saya janji tidak akan mengulanginya lagi" katanya pelan. Pria itu pun terdiam lalu menghela napas panjang sambil memegang dahinya.

"Itu kalimat yang sama dan selalu kamu lontarkan hampir setiap harinya" kata pria itu terdengar pelan dan membuat Okta semakin panik.

"Okta maaf, tapi sepertinya saya tidak bisa mempekerjakan kamu lagi di cafe ini" kata-kata yang selama ini takut di dengarnya akhirnya muncul juga. Okta yang terkejut mendengarnya pun terus meminta maaf dan memohon agar tidak memecatnya. Tapi dengan sangat berat hati bos-nya ini tetap pada keputusannya.

Dengan perasaan sedih gadis berumur 23 tahun itu pun berjalan menyusuri jalan di tengah malam. Di tengah keputusasaan nya itu hanya ada satu orang yang ada di pikirannya dan dia merasa kalau pria yang selama 2 tahun ini menjadi pacar nya pasti akan menghiburnya, jadi dia pun memutuskan untuk pergi ke rumahnya.

Dengan jaket berwarna biru gelap dan lengan panjang dia pun berjalan sedikit cepat karna malam semakin larut. Saat hampir tiba di rumah yang dia tuju.

Wajah yang tadinya tampak senang pun langsung mendadak berubah menjadi kaku. Pria yang selama ini bersamanya saat ini sedang duduk di atas motor dengan seorang perempuan sambil memeluk nya dari belakang.

"E-Evan??" Kata Okta lemas mendekati pria yang memakai jaket kulit hitam yang tampaknya terkejut dengan kehadiran Okta.

"O-okta.. bu-bukan nya kamu masih kerja di cafe jam segini?" Katanya terbata-bata sambil memeriksa jam tangannya.

"Sayang.. siapa sih perempuan aneh yang kurus ini?" Kata perempuan yang ada di belakang Evan dengan wajah dan nada yang sinis. Baru saja Okta mau mengatakan sesuatu, Evan langsung memotongnya.

"Dia.. dia ini teman kuliah. Kami ada di jurusan yang sama," jawaban yang di berikan Evan benar-benar sesuatu yang hampir sulit di percaya, bahkan untuk Okta sekalipun.

"Ooh.. teman kuliah. HEH!!? Evan ini sudah punya pacar tau, jadi kamu jangan dekat-dekat dia lagi yah. Mendingan kamu pergi saja sana" kata perempuan itu mengusir nya dengan nada sinis.

Dengan teramat sangat kecewa, perlahan gadis itu pun melangkah mundur meski dia masih terus menatap wajah laki-laki yang selama ini tidak dia sadari kalau dia punya perempuan lain.

Perasaan nya kini semakin terasa hancur. Dia terus menahan isakan tangisnya sambil terus berjalan menyusuri jembatan besar yang melewati kali besar di bawahnya.

"Hidup sendiri, tidak punya keluarga, di keluarkan dari pekerjaan. Dan sekarang? Ternyata Evan sudah bersama perempuan lain"

Dengan tubuh gemetar dia berjalan di pinggir jembatan itu dan berhenti tepat di tepinya. Malam semakin larut, tidak ada satu pun mobil yang melintas di jembatan itu entah dari arah tempat dia berdiri maupun di seberangnya.

Angin malam semakin menusuk, bahkan rasa dinginnya menembus kulit gadis yang memakai jaket yang basah karna keringat itu.

Entah apa yang dia pikirkan saat itu, dia pun melepas sepatu hak kecil yang dia pakai untuk bekerja dan melangkah naik ke atas tepian jembatan itu dan melihat ke arah kali dengan air yang deras di bawah sana.

Dia pun memejamkan matanya dan mencoba menyodorkan tubuhnya ke depan agar terjatuh dari sana, tapi..

*Hiks.. *Hiks..

Dia terkejut dan langsung berpegangan pada penyanggah jembatan itu agar tidak jatuh. Dia pun terdiam dan berkedip beberapa kali saat mendengar sesuatu yang menurutnya aneh kalau terdengar di jam segini.

*Hiks.. *Hiks..

Lagi-lagi terdengar suara isakan tangis seorang anak kecil dan membuatnya merinding.

"A-apa itu.. ma-masa sih ada hantu di jembatan ini.." pikir nya takut.

Dia pun perlahan turun dari sana sambil terus memperhatikan sekitar jembatan ini tapi tetap tidak menemukan orang lain selain dia. Pada akhirnya karna terlanjur takut, rasa ingin bunuh dirinya itu pun terurung dan mencoba untuk turun dari sana.

Dengan perlahan dia pun menurunkan satu kakinya lalu..

*Duak..

"HIII!!! APA ITU.." pikirnya ngeri saat ada sesuatu yang menyentuh punggungnya.

Perlahan-lahan dia pun menoleh ke belakang dan terkejut melihat ada seorang anak kecil yang terduduk di bawah sambil menangis dan mengusap kepalanya.

"A-anak kecil??" Pikir nya bingung sekaligus takut.

Okta pun perlahan berjongkok dan menyentuh anak itu.

"Di-dia anak kecil sungguhan" pikirnya lega.

"Adik.. kenapa ada disini sendiri? Mana orang tua mu?" Tanya Okta pelan. Tapi anak yang masih menangis itu tidak mau menjawabnya. Lalu dia teringat sesuatu yang ada di dalam tasnya dan mengambilnya.

"Lihat.. kakak punya coklat, kamu mau?" Kata Okta sambil tersenyum menunjukkan coklat kotak kecil dari tasnya. Isakan anak itu pun sedikit terhenti dan dia akhirnya mau menunjukkan wajahnya melihat Okta.

"Anak yang manis" pikir Okta tersenyum lucu.

Anak itu pun kembali menatap Okta dan melihat coklat yang di pegang nya.

"Ayo ambil" kata Okta tersenyum. Setelah Isakan nya perlahan berhenti, anak itu pun mengambil coklat itu lalu memakannya.

"Anak pintar" kata Okta tersenyum dan mengusap kepala anak itu.

"Rumah mu dimana? Biar kakak antar yuk" ajak Okta, tapi anak itu pun menggeleng perlahan lalu kembali menunduk.

"Waah.. kau tidak tau yah. Wajar saja sih. Berapa umur mu?" Tanyanya lagi.

"Gama lupa.." katanya pelan dengan suara agak serak.

"Waah.. namanya Gama? Nama yang lucu." kata Okta merasa lucu.

"Loh, dia tidak ingat umurnya? Tapi kalau di lihat-lihat sepertinya 7 atau 8 tahun," Pikirnya tiba-tiba merasa heran. Selain merasa aneh soal itu, dia juga jadi merasa aneh pada dirinya sendiri. Sudah bersikap layaknya di sinetron sampai mau bunuh diri dan secara tiba-tiba malah tidak jadi karna bertemu anak kecil.

Pikirnya itu sungguh memalukan. Tapi, dia merasa kalau saja dia tidak bertemu dengan anak ini, dia pasti sudah bunuh diri dan berakhir menyesal.

"Ngomong-ngomong nama kakak ka Okta. Ini sudah terlalu malam, kita ke rumah kakak yuk" kata gadis itu tersenyum memberikan tangannya. Anak itu pun melihat tangan yang menggantung di hadapannya lalu melihat wajah Okta yang masih tersenyum ke arahnya.

"Luka.." katanya polos sambil menunjuk ke arah telapak tangan Okta. Okta pun tersentak kaget saat anak itu mengatakan itu.

"Haha iya.. tadi sore saat kakak bekerja.." kalimatnya terhenti saat dia melihat anak itu menatapnya dengan mata polosnya.

"Sebaiknya aku tidak memberitahunya, luka karna pecahan piring sedikit brutal kan.." pikirnya canggung.

"Aah.. pokoknya ayo kita ke rumah kakak dulu. Kamu pasti belum makan kan?" Tawar Okta dan Gama pun mengangguk pelan lalu meraih tangan gadis itu mengikutinya kemana gadis itu pergi.

Nächstes Kapitel