"Don't tell anyone else ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Seketika Apo pun tertegun. ".... umn? Phi Yakin?" tanyanya. "M-Maksudku, bagaimana kalau Mile nanti--"
"Tidak, Apo. Suamimu memang brengsek tapi aku paham cara berpikirnya," sela Paing. Lalu menunjuk pelipisnya sendiri. "Di sini, Mile punya sisi gila yang agak berbeda. Dan Phi butuh itu untuk menyelesaikannya."
"Ah ...."
"Toh kau menginginkan keadilan untuk suamimu, kan?" kata Paing. "So, kita saling menguntungkan saja. Dan Romsaithong takkan malu seorang diri ketika terjatuh."
Apo pun menatap Paing baik-baik. Dia menyelami kesungguhan dalam mata itu. Niatnya, atau rencana yang mungkin Paing pikirkan. "Oke, tapi Phi harus janji padaku," katanya sambil mengacungkan kelingking. "Kali ini cuci bersih tanganmu, jangan bergerak sendiri, dan libatkan aku ke dalam rencana kalian."
DEG
Paing pun langsung tertegun. ".... tidak, Apo--"
"Kalau begitu aku takkan mengizinkannya," tegas Apo. Lalu menyembunyikan kelingking ke balik punggung. "Karena separah apapun kesalahanmu, itu bisa kutoleransi, Phi. Toh kau takkan pernah melampaui batasmu sendiri."
"...."
"Tapi kalau kau sampai meninggalkanku ...." Sang Omega kini melirik jahitan di dada Paing. "Maaf. Lebih baik tidak usah mengurusi mereka, mau jungkir balik pun terserah. Dan akan kulepaskan Amaara sesuka hatinya."
Paing pun meremas lengan Apo perlahan. "Hei, percaya padaku, oke? Lagipula ini terlalu bahaya untuk kalian," katanya sambil melirik perut Apo sekilas. "Ingat kau pun sekarang tidak sendiri."
Plakh!
"TIDAK!" bentak Apo seketika. Dia menampik tangan sang mate. Sangat jengkel, dan kedua matanya bahkan berkaca-kaca. "POKOKNYA AKU TIDAK MAU TAHU!" katanya. "Soalnya terakhir kali Phi bilang begitu--oke, fine ... aku percaya tapi lihat apa yang malah terjadi? Luka tembak Phi semakin parah! Yang sok-sokan kuat saat mengobrol. Tapi pulang dari Swiss semakin robek ... hahh... hahh ... hahh ...." protesnya dengan napas yang tersengal-sengal. "Adaaa saja acaranya. Yang muntah darah dan demam, yang pingsan dan opname, terus sekarang sebelah parumu malah dicangkok--"
Tes ... tes ... tes ... tes .. tes ....
Paing pun panik saat Apo menangis. "Hei, hei, Apo ... tunggu, don't cry ...." Jemarinya ingin meraih sang mate, tapi Apo justru membuang muka.
Pakh!
"Jangan sentuh aku kalau begitu," kata Apo dengan nada yang sulit dibantah. ".... karena aku benci tak tahu apapun. Apalagi saat Phi menidurkanku seenak hati."
"...."
"Hiks ... itu sangat menakutkan, tahu," kata Apo sambil mengusapi pipi basahnya. "Memang separah apa perkelahian Phi dan Mile waktu itu? Tiba-tiba bangun dikabari Phi operasi. Tahu-tahu sudah diisolasi. Terus bagaimana jika Phi gagal saat aku tidur? NO! NEVER! Aku Omega tapi Phi itu orang paling berharga yang kupunya ... hiks ... hiks ... hiks ... Phi kan harusnya tahu aku punya batas toleransi ...."
Paing pun menghela napas. Dia ingat Apo marah-marah belum lama ini. Padahal kalau bisa jangan terlalu sering bertengkar. Hahhh... oke, Batinnya. Lalu membiarkan Apo menangis dahulu, tapi lantas mengulurkan serbet makan siangnya. "Lihat. Adanya ini, karena tisu jauh di toilet WC," katanya dengan muka tak berdosa. "Mau ambil sapu tangan juga malah di rumah."
"Ha ha ha ha ha. Apaan sih, Phi? Tidak lucu!" kata Apo sembari menyambar serbet. Dia pun langsung mengomel-ngomel. Kesal sendiri. Padahal maunya memaki maki. "Arghh! Sroooooot!" Omega itu pun lanjut menangis, tapi anehnya tak sakit hati. Dia cepat mereda sebelum bengkak. Tertawa-tawa. Lalu merona kembali. "Aku ini sedang seriusss!"
Paing yang tak betah duduk pun baring kembali. Dia sempat berpikir Apo berlebihan, tapi berubah pikiran. Memang tubuhnya tak bisa diajak cepat seperti dulu. Setidaknya sampai waktu tertentu. "Hhhh ...." Alpha itu malah memejamkan mata. Malas berdebat, sementara Apo langsung menyadarinya.
DEG
"Phiii?" panggil Apo. "Are you okay, Phi?"
Paing refleks terkekeh merasakan napas Apo dekat sekali. "Hmm, lumayan ...." katanya. "Ini sudah mending daripada pas baru bangun. Ha ha ha."
Apo pun menyentuh kening mereka. Dia membandingkan suhu di sana. Tapi Paing tidak demam seperti dulu. Kepayahannya murni disebabkan oleh operasi. Apalagi jahitannya dibuka tutup sampai tiga kali.
"Phi, sakit ya?" tanya Apo.
"Ha ha ha, menurutmu? Hhh ...." jawab Paing saaf membuka mata kembali. Alpha itu berkedip karena komplikasi sesaat. Dan Apo mengingat ekspresi perihnya sebaik mungkin.
"Ada yang belum Phi katakan padaku? Apa?"
".... huh? Katakan?"
"Yes, apapun ...." kata Apo sembari mengadu hidung mereka. Omega itu pun meremas selimut Paing. Benar-benar takut Alpha itu pergi mendadak darinya. "Tadi aku sudah, kan? Sekarang giliran Phi yang setor cerita," tegasnya seolah mengemong bayi.
"Hmph, apa ya ... begitulah. Wajarnya orang yang baru disodet-sodet ... ha ha ha ...." tawa Paing, tapi kali ini air matanya ikut mengalir. Mungkin karena gejala yang menyerang terlalu kuat. Dia pun tidak bisa menyajikan kebohongan lagi. ".... aku mungkin infeksi karena obat transplantasi. Dan organnya menolak jika masih begini sampai minggu depan ...."
DEG
"No... nein, please ...." pinta Apo dengan suara yang goyang. Kali ini dia lah yang mengusap air mata Paing dengan jemari. Lalu menyela helaian rambut sang Alpha lembut. ".... aku--mn, bisa Phi bertahan sekali lagi? Kumohon. Tidakkan Phi ingin melihat baby-nya? Tidak apa-apa kok kalau aku pergi USG sendiri ...."
"Hhh ... ya, tentu saja akan kuusahakan--hhh ...." jawab Paing yang sudah meringis-ringis. Air matanya pun jatuh ke leher. Menetes-netes. Dan usapan Apo kalah cepat dengan derasnya. ".... yang penting jangan bilang dulu pada siapa pun, oke? Terutama Yuzu--ha ha ha ... karena kalau dia mengamuk yang ada aku makin tak tenang, Apo---"
Brugh!
"Nooo, please, please ... aku sangat mencintaimu, Phi. Please ...." desis Apo. Lalu memeluk walau tak seerat biasanya. "Aku tak akan memaafkanmu, dengar? Ich werde dich zu tode hassen. Kau tak boleh meninggalkanku sampai kapan pun ... hiks ... hiks ... hiks ...." Omega itu pun menduselkan kepalanya ke leher Paing. Merasakan denyut nadi yang masih ada, tapi memang berdetak tak normal. (*)
(*) Bahasa Jerman: "Aku akan membencimu sampai mati."
Paing sendiri pingsan beberapa detik kemudian. Tak bergerak. Hingga Apo sempat panik histeris.
BRAKH!!
TEETTT! TEET! TEEEEET!
"TOLONG! KUMOHON CEPAT KEMARI! SIAPA PUN! TOLONG!" teriak Apo sembari memencet tombol di atas ranjang. Dia pun mundur setelah bantuan datang. Tapi bohong jika kakinya tak lemas.
Apo pun jongkok sambil memegang kepala. Tremor parah. Karena pemandangan ini sama persis sebelum sang Ayah pergi.
"TIDAK! TIDAK! TIDAK!" teriak Apo. Omega itu sesak napas saat dituntun berdiri. Nyaris memukul, padahal si suster memberitahukan kabar baik padanya.
Plakh!
"TOLONG TENANG, TUAN NATTA! Beliau ini hanya tertidur lagi! TENANG!" bentak si suster tanpa disadarinya.
"Apa?" kaget Apo. Omega itu pun tersadar meskipun lambat. Lalu menatap alat oksigen yang sudah terpasang ulang. Dia menoleh karena ada laporan tensi darah naik. Dan si dokter geleng-geleng saat menjumput rontokan rambut di atas bantal.
"Tidak bagus," katanya. "Nanti imunosupresan-nya harus diganti. Karena pasien sepertinya tidak cocok memakai yang ini." (*)
(*) Imunosupressant adalah obat pasien pasca transplantasi organ. Fungsinya menekan hormon sistem kekebalan tubuh, sehingga organ yang dicangkok terpaksa menerima "barang baru" di dalam tubuh mereka.
"Baik!" kata suster yang bertugas mencatat. Mereka pun pergi usai memastikan segalanya, sementara si dokter mendekati Apo perlahan.
"Halo, Tuan Natta. Apa Anda masih ingat saya? Ini Piya. Yang waktu itu berkunjung ke rumah," kata Dokter Piya Vimuktayon.
"I-Iya?" tanya Apo. Masih loading karena sulit mengalihkan pandangan dari sang mate. "Ada apa, ya? Ah ... maaf tadi aku tidak menyimak," katanya. Tapi dokter itu hanya tersenyum tipis. Dia tampak memaklumi reaksi Apo, walau sang Omega tak paham kenapa begitu.
"Tidak apa-apa, Tuan Natta. Saya cuma ingin memberikan sebuah map yang dititipkan kepada Anda."
"Eh?"
Dokter Piya pun memberikan suatu isyarat. "Mari, ikut sebentar. Tuan Takhon bilang ini harus disampaikan langsung kepada Anda."
Entah kenapa ada rasa tak nyaman saat Apo mengikuti langkah sang dokter. Omega itu merinding sekujur badan. Padahal diajak mengobrol sepanjang jalan.
Kenapa?
Apo sendiri tak paham perasannya. Apalagi saat dipersilahkan duduk di ruangan Dokter Piya. "Silahkan, Tuan Natta," katanya sambil tersenyum.
Apo pun patuh, meski ketar-ketir. Dan wajahnya dihias pias saat map tersebut diletakkan di depan matanya.
DEG
"Tunggu, apa ini?" tanya Apo.
Namun bukannya menjawab, Dokter Piya justru menyodorkan pulpen juga. "Silahkan dibaca dengan teliti, Tuan," katanya. "Dan jika ada yang ingin Anda tanyakan langsung ajukan saja kepada saya ...."
Apo pun memandangi map tersebut segan. Sebab desainnya elegan sekali. Berwarna hitam. Begitu pun pulpen yang mendampinginya. Seolah-olah itu tak boleh dipegang sembarang orang. Tapi kini Apo malah diizinkan membuka tiap isi halamannya.
Di sana ada surat angkat, nama "Yuzu Takhon" yang disebutkan berkali-kali. Posisinya sebagai ahli waris kedua. Dicap khusus. Tapi di bawahnya juga ada beberapa kolom yang siap diisi.
"Tunggu--Maaf ... Dokter Piya? Apa ini bukan kesalahan?" tanya Apo. Refleks melepaskan map-nya di atas meja. "Maksudku, ini kan--"
"Anda mungkin perlu mengecek bagian yang paling belakang," sela Dokter Piya begitu tenang.
Apo pun menemukan memo kecil di dalam sebuah amplop. Isinya merupakan tulisan tangan. Sangat singkat (sungguh, hanya beberapa baris kalimat saja. Namun itu berarti segala-galanya): "Apo, kita tidak pernah tahu masa depan. Jadi simpanlah. Dan jangan beritahukan pada siapa pun, bahkan Pa Ma, atau Yuzu hingga saatnya tepat."
____ Phi.