webnovel

S2-12 THE SINNER

"I'll take this ember, even if it ends up ruining everything."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Pukul 7 pagi, Apo pun melepas jenazah sang Ayah dengan kremasi. Dia datang lebih awal dalam prosesi tersebut, bahkan meski janjiannya pukul 10.

Apo hanya tidak ingin keluarganya khawatir. Jangan sampai ada yang tahu cara jalannya sedikit aneh, apalagi bertengkar dengan Mile samalam. Dia tak masalah memandangi peti sang ayah lebih lama. Toh ini saat-saat terakhir melihat wajahnya.

"Oh ...." kata Apo saat membuka kain yang membalut lelaki itu. Wajah Man terlihat pucat, juga dingin karena keluar dari tempat pembekuan. Dia menutup mata dengan damainya, dan Apo menciumi sosok tersebut.

Sosok idola pertama Apo sejak paham kedudukan mereka. Juga sosok yang rela menggenggam api, saat Apo mulai membentuk keluarga kecilnya.

"Pa, selamat tinggal ...." lirih Apo. Dia merangkul sosok gak bernyawa itu. "Sampai jumpa di kehidupan yang lain. Tapi aku lebih bisa diandalkan."

"...."

"Aku benar-benar mencintaimu."

Namun, Apo sama sekali tidak menyangka kalau sang suami tiba-tiba duduk di sisinya. Lelaki itu datang entah sejak kapan, yang pasti Apo melihatnya jelas saat sudah duduk tegak.

Namun, tidak ada percakapan apapun diantara mereka. Mile yang biasanya melipur, kali ini hanya memejamkan mata dengan doa-doa dia. Lelaki itu betah membuat Apo bertanya-tanya, lantas ikut berdoa juga.

Entah apa yang sedang terjadi. Yang pasti mereka tidak bertegur sapa, bahkan hingga keluarga lain datang. Ada Miri, Songkit, Nathanee, Nayu, kedua orangtuanya, baby triplets, beberapa babysitter, dua baris bodyguard, dan sopir yang menunggu di dalam mobil.

Mereka melepas kepergian Man Anurak Wattanagitiphat bersama, hingga raga itu menjadi debu. Tulang belulangnya disisihkan di dalam guci, dibersihkan, lantas diberikan pada dekapan Apo.

"Terima kasih ...." kata Apo dengan mata berkaca-kaca.

"Sama-sama," kata si pemilik tempat kremasi. "Semoga semua keluarga diberikan kesabaran."

Yang lain pun pamit karena Apo masih ingin menyendiri dengan guci abu sang Ayah. Dia duduk di tempat itu, tanpa sadar meneteskan beberapa butir air mata lagi.

"Ah, jangan. Stop--" titah Apo pada dirinya sendiri. Omega itu pun mengusap mata, karena tidak mau kelihatan lemah di sisi Mile Phakpum.

"Kau tahu? Aku sudah menggantikan peran Ayahmu sejak kita menikah," kata Mile tiba-tiba. Alpha itu memang tidak menatap, tapi tampak serius dengan perkataan dia. "Kau dalam tanggung jawabku, Apo. Tak peduli sebesar apa kebencianmu padaku sekarang ...."

Rupa-rupanya, Mile sepertinya menyadari yang semalam agak keterlaluan. Karena Apo sampai memakai syal meski cuacanya tidak dingin. Pasti banyak tanda parah yang tertoreh di sana. Mungkin juga beberapa sobek--

"Ya, aku memang sangat membencimu," kata Apo. "Dan aku tidak memaksamu bertahan denganku, Mile. Maka berkencanlah bersama siapa pun yang kau mau. Mau Leodra atau yang lain-lain. Aku sudah tidak peduli. Tapi tolong jangan sentuh aku lagi."

"Kau pikir ... kau pantas mengatakan itu di depan guci Papa?"

"Memang kenapa tidak pantas?" kata Apo. "Beliau justru akan ikut membencimu, karena telah menuduh anaknya melakukan perbuatan kotor."

"Apa?"

"Kau mungkin memang emosi, Mile. Aku paham," kata Apo dengan segenap perasaannya. "Jadi, kuanggap caramu memperlakukanku semalam hanyalah bentuk hukuman."

"Apo--"

"Tapi, maaf. Mile, kau tetap tidak berhak menghakimiku sekotor itu," kata Apo dengan nada penuh sakit hati. "Padahal aku hanya pernah memberikan diriku padamu."

"...."

Apo pun mengecup tutup guci Ayahnya, lalu beranjak meskipun susah. "Aku ini tidak memintamu untuk percaya," katanya sebelum pergi. "Itu hakmu. Sungguh. Tapi sudah cukup belajarnya."

"...."

"Karena aku bukan orang tolol, apalagi butuh disakiti berkali-kali hanya untuk tahu kapan harus pergi."

DEG

"TIDAK, APO!" kata Mile yang langsung panik. "BUKAN BEGITU MAKSUDKU--"

BRAKKKKHHHHH!!

PRAAAAANGGGG!!

Apo pun pucat karena guci sang Ayah jatuh. Abu bakar serta tulang kecil yang ada di dalam ... semuanya terburai bersama pecahan dimana-mana. Seketika, Omega yang tadinya tenang itu langsung murka. Lantas balas berteriak.

"CUKUP! MILE! KUMOHON!" pinta Apo dengan wajah merahnya. "Please ...  cukup .... aku sudah tidak tahan lagi ...."

Namun, bukannya mengatakan sesuatu. Mile justru menarik Apo agar jatuh ke pelukannya.

BRUGH!

"Kemari, Apo."

"TIDAK! LEPAS!" kata Apo. Sekuat tenaga dia berjuang dari lilitan sang Alpha. Tapi Mile tidak mengindahkannya. "AKU TIDAK MAU DENGANMU! FUCK!"

"APO! TENANG! KITA ADA DI TEMPAT ORANG!"

"NO! MIMPI! KAU PALING BRENGSEK DI DUNIA MILE! KAU TIDAK BENAR-BENAR PEDULI PADAKU! PERGI!"

"OH, BENARKAH? JADI AKU BEGITU MENURUTMU?"

"YA! LAGIPULA BUAT APA KAU KEMARI? CARI MUKA KE KELUARGA? FAKTANYA KAU TIDAK BERUBAH! SINTING!"

"APO!!"

DEG

BRUGH!!

Tiba-tiba, Apo jatuh merosot mendadak. Kedua tangannya bahkan menyentuh bumi. Dan Omega itu berlutut di depan Mile Phakpum.

Dengan dada berdebar keras, syok karena merasa tercekik, bahkan lumpuh tak bisa bergerak. Padahal Apo tidak ingin meremas abu Ayahnya sendiri.

"CUKUP, APO. Aku yang harusnya tidak tahan denganmu ...." kata Mile dengan feromon gelapnya. Mata Alpha itu bahkan berubah merah, karena urat terkuatnya dilepas keluar.

Itu adalah kekuatan Alpha dominan yang sebenarnya. Mereka diberkahi kemampuan menundukkan, menguasai, menakhlukkan, memaksa, menjerat, memenjara, bahkan meski itu menyakiti pasangannya.

Sumpah demi Tuhan, Apo tidak pernah merasakan sensasinya dari siapa pun. Dan hanya Mile lah yang  melakukan itu padanya. Sang suami menekan aura Omega Apo hingga ke titik terendah. Menguncinya. Membunuhnya. Agar tetap bersedia mendengar.

"Pertama-tama, ya. Kau benar. Aku memang tidak berubah," kata Mile mengakui kesalahannya. "Sebelum Leodra, ada beberapa orang yang datang padaku. Mereka datang dan pergi. Terutama saat dinas di luar negeri."

Apo tentu tidak bisa bicara, karena Mile memang hanya menghendaki dia untuk mendengar serta melihat.

"Aku tidak setahan itu menunggumu terlalu lama, Apo. Kau sering sakit selama hamil. Bahkan masih sakit lagi setelah melahirkan mereka," kata Mile. Tapi bola mata Alpha itu juga menunjukkan penyesalan. "Aku tahu itu keliru, tapi terjadi begitu saja."

"...."

"Ada pria, ada wanita. Beberapa kenalan lama--atau yang baru kutemui di ranah kerja. Kadang juga bukan satu orang."

"...."

"Lalu saat bertemu denganmu di rumah, oh ... kupikir setelah lelah setidaknya kau bisa kupeluk. Tapi tidak. Aku stress karena tangisan tiga bayi. Bingung, tapi tidak bisa memarahimu karena mereka membutuhkanmu," jelas Mile. "Setelah mereka sakit, gantian kau sakit dan terus begitu. Aku juga jarang bisa pulang, Apo. Dan suatu hari kau menghubungiku. Halo, Mile. Bisa kau jemput aku di RS? Tentu saja aku berusaha menyempatkan waktu. Kenapa tidak jika untuk istriku? Aku di sini untuk bersama dia. Dan dia sosok yang luar biasa."

"...."

"Tapi benar aku memang si penghancur keluar biasaanmu itu."

"...."

"Kadang, aku berpikir untuk melepasmu saja. Ke Paing Takhon, mungkin? Dia hebat dan lebih pantas untukmu. Tapi meski berkali-kali kupikir, aku terus bertarung dengan diri sendiri. Oh, iya. Aku kan sebenarnya memang tidak pantas. Tapi tolong, jika kau menganggap aku bercanda. Aku ini benar-benar mencintaimu."

"...."

"Maaf juga ... soal abu Papa dan sudah melewati batas-batasmu."

Mile pun berjalan pergi agar feromonnya segera memudar. Lelaki Alpha itu sedikit terburu-buru, karena efeknya makin lama jika dia tidak pergi dari tempat Apo. Mungkin sekitar sepuluh menit--Apo pasti tetap lumpuh di sana, hingga baru bergerak dan menangis terisak-isak.

Jadi semua dugaannya benar ....

"Hiks ... hiks ... hiks ... hiks ... hiks ...."

Apo pikir itu hanya pikiran negatifnya saja ....

"Papa ... Papa ...." kata Apo sambil mengumpulkan abu sang Ayah. Jemarinya tetap mencoba mengais tanah, padahal tinggal tulang kecil kecil saja. Angin telah membawa pergi segala-galanya. Dan Apo tak bisa membawanya kembali.