16 Ketahuan Tidak Bisa Mengaji?

Malam ini menjadi malam pertama bagi Louis dalam menjalankan sholat tahajud untuk pertama kalinya. Jangankan sholat tahajud. Sholat lima waktu saja seringkali terlewatkan. Dia memang beragama muslim akan tetapi tingkat keimanannya perlu untuk dipertanyakan. Tidak seperti Amira yang tidak pernah melewatkan sholat lima waktu dan juga melantunkan ayat - ayat suci Al-Qur'an.

Bacaan ayat suci Al-Qur'an terdengar merdu ditelinga Louis. Sungguh Amira ini calon istri yang sangat sempurna. Cantik, berasal dari keluarga terpandang, lulusan Harvard Univercity, pintar mengaji, santun, keibuan, memiliki etika yang sangat bagus, dan pastinya sangat bisa menjaga kehormatannya. Kurang apalagi coba sebagai ukuran seorang wanita. Namun, ada yang lebih menarik selain dari itu semua yaitu pribadinya. Terlihat dingin, cuek, galak, akan tetapi didalam sudut hati terdalam menyimpan kelembutan sebagai seorang wanita sejati.

Entah sudah berapa lama larut ke dalam lantunan indah suara Amira yang jelas kini kesadarannya kembali ketika merasakan tepukan lembut pada pundak sebelah kanan. Dia pun langsung mendongakkan wajahnya sehingga bertatapan langsung dengan Tanzel. Iris birunya menggeliat penuh tanda tanya besar.

Tanzel langsung menjelaskan bahwa memang seperti inilah tradisi yang melekat kuat didalam keluarganya. Selepas melaksanakan sholat tahajud langsung disambung dengan zikir atau pun membaca ayat suci Al-Qur'an sembari menunggu waktu subuh tiba. Louis tidak merasa keberatan dengan hal itu. Justru dia merasa sangat senang seandainya bisa menerapkan pada dirinya sendiri seperti yang biasa keluarga Tanzel lakukan.

"Untuk itu sembari menunggu waktu subuh tiba mari kita melantunkan ayat suci Al-Qur'an." Bersamaan dengan itu menyerahkan Al-Qur'an ke tangan Louis. Seketika dia pun dibuat panas dingin hingga Tanzel pun tersentak. "Louis, apa kamu sakit?" Tanyanya dengan tatapan mengunci mencari jawaban jujur disana.

Tidak mau terlihat sedang berbohong, Louis langsung mengangguk mantap tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tanzel tersentak, sebelah tangannya terulur menyentuh kening Louis untuk memastikannya sendiri. Seketika sorot matanya membeliak tak percaya mendapati suhu tubuh Louis yang sangat dingin di iringi dengan keringat dingin yang mengucur deras membasahi tubuhnya. "Suhu tubuh kamu sangat dingin Louis. Ya sudah akan lebih baik kalau kamu istirahat saja di kamar." Bersamaan dengan itu memanggil Inem untuk mengantarkan Louis ke kamar.

"Tuan Louis sakit apa to?" Tanya Inem dengan polosnya.

"Sudah jangan banyak tanya, Nem. Antar langsung ke kamar!" Kesal Tanzel berpadukan tatapan menajam.

"Iya Tuan Besar. Jangan marah - marah ntar asam urat kambuh."

"Kamu sumpahin saya, hah? Pembantu ga tahu diri." Bentak Tanzel.

Yoza menghembus nafas lelah disuguhi dengan pemandangan didepannya. Sungguh, semakin berumur. Ayah nya ini semakin bersikap kekanak - kanakan. Tidak mau melihat pertengkaran ayahnya dengan Inem semakin menjadi - jadi, Yoza pun langsung menengahi dengan meminta Inem untuk segera membawa Louis ke kamar. Inem mengangguk mengerti bersamaan dengan itu langsung membimbing Louis ke kamarnya.

"Sampean iki sakit opo to? Coba kene Inem cek panase piro derajat?"

"Tidak perlu Inem cukup bawakan saya teh panas."

"Apa perlu Inem panggilkan dokter pribadinya Tuan besar?"

"Tidak perlu Inem. Please, bawakan saya teh panas."

"Oh, yowes yowes. Sek yo tak siapin."

"Cepetan ya, Inem!"

"Iyo Tuan."

Huh, untung saja ga ketahuan. Aku kan ga bisa baca Al-Qur'an. Eh, malah disuruh baca. Wah, kalau gini caranya berarti aku harus kursus kilat yang bisa ngajarin baca Al-Qur'an dalam waktu singkat. Batin Louis penuh tekat kuat. "Tapi dimana ya kursus baca Al-Qur'an kilat?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian didalam kamarnya.

"Hah, Tuan Louis iki arep kursus moco Al-Qur'an. Loh, sampean iki berarti ga iso ngaji yo?" Kedatangan Inem yang secara tiba - tiba telah menyentak kesadaran Louis sehingga menolehkan wajahnya ke arah sumber suara itu berasal. Iris birunya menyipit hingga keningnya berkerut. "Inem, saya kan sudah bilang jangan pakai bahasa jawa. Saya tidak mengerti apa yang kamu katakan."

Inem terkekeh kecil. "Iya, sorry Tuan. Sampean iki nek ngambek lucu." sembari mencubit gemas lengan Louis. Tak ayal sikap lancang Inem ini pun langsung dihadiahi dengan bentakan dan juga hempasan kasar.

"Hih, sok jual mahal. Mosok di demok sitik bae ga oleh. Yo wes iki teh panas sing sampean minta." Meletakkan gelas berisi teh tersebut ke atas nakas. "Iki yo onok obat sakit kepala karo penurun demam."

"Tau lah Nem kamu ini ngomong apa?" Sembari mendudukkan bokongnya pada sisi ranjang yang langsung diikuti oleh Inem. "Eits, kamu mau ngapain?"

"Ikut duduk."

"Ga ada. Ga ada. Udah sana - sana keluar!" Usir Louis sembari mendorong bahu Inem hingga keluar dari kamarnya. "Dasar pembantu ga tahu diri." Umpatnya entah pada siapa karena nyatanya si Inem sudah tidak ada di dalam kamarnya.

Baru juga menghembus nafas lega dengan kepergian Inem. Pintunya pun kembali diketuk hingga Louis geram. Dengan kasar membuka pintunya. "Ada apa lagi In-" seketika kalimatnya terjeda, iris birunya membeliak sempurna ketika disuguhi bahwa yang berdiri dihadapannya bukanlah Inem melainkan ...

"Tuan Tanzel ... apa yang membuat Anda mendatangi kamar saya? Bukankah seharusnya Anda sudah pergi beristirahat."

"Maafkan atas kedatangan saya ini, Louis. Saya hanya ingin memastikan secara langsung bagaimana kondisi kamu."

"Terima kasih atas perhatian Anda, Tuan Tanzel. Mari silahkan masuk." Membuka pintunya lebih lebar. Memberi ruang pada Tanzel untuk memasuki kamarnya. Tanpa sengaja ekor mata Tanzel menangkap segelas teh panas dan juga obat yang tergeletak di atas nakas. Tanzel segera menyarankan Louis untuk segera meminum obatnya.

Haduh, aku ini kan ga sakit tapi hanya pura - pura sakit malah disuruh minum obat lagi. Mana aku paling anti sama yang namanya obat - obatan. Wah, wah, bisa - bisa muntah aku ini nanti. Batin Louis sembari menjitak kepalanya sendiri. Dan hal itupun tak lepas dari pengamatan Tanzel hingga tatapannya memicing. "Kenapa tidak juga segera diminum? Apa perlu saya panggilkan, Amira?"

Louis terperenyak mendengar nama Amira. Meskipun jujur saja dia lebih senang jika Amira yang berada disini akan tetapi dia paling tidak tahan melihat wajah cantik tanpa ekspresi itu menghujaninya dengan tatapan tak suka berselimut kebencian.

Akhirnya dengan berat hati dia meminum obat tersebut. Tak ayal dia pun hampir saja memuntahkannya. Seketika rasa pusing mendera hingga Tanzel menyarankan Louis untuk langsung berbaring. Layaknya kasih sayang pada cucu sendiri, seorang Tanzel mau menyelimuti tubuh Louis lalu mengusap puncak kepalanya dengan penuh rasa sayang.

"Saya berharap setelah meminum obat ini kondisi kamu langsung membaik, Louis."

"Terima kasih atas perhatiannya, Tuan Tanzel." Lirihnya yang langsung dibalas dengan seulas senyum hangat. Jemari Tanzel kembali terulur mengusap puncak kepalanya sebelum berlalu dari kamarnya.

...

Next chapter💕

avataravatar
Nächstes Kapitel