webnovel

Perjodohan

Pernikahan adalah selalu bersama dan tetap dalam satu tujuan meski dengan cara yang terkadang berbeda.

Takdir tak pernah bertanya sedalam apa kau mencinta seseorang. Maka jika dia milikmu, Ia tak akan memilih orang lain selain dirimu.

Rumah yang bercat kuning itu, dengan desain interior yang minimalis, tapi tidak meninggalkan kesan moderennya masih berdiri kokoh walaupun sudah berusia 30 tahun lebih.

Nafeesa baru saja sampai di depan rumahnya, Rumah tempat Dia dibesarkan sejak dirinya diasuh dan diangkat jadi anak di dalam rumah itu. Waktu itu dia berusia kira-kira sekitar tiga tahun.

Dia memasukkan mobil kesayangannya ke dalam garasi rumahnya. Mobil jenis Honda Vario series dengan warna merah yang setiap hari menjadi teman setianya disaat akan bepergian dan terutama jika bekerja.

Nafeesa merasa hari ini cukup melelahkan, karena harus menyelesaikan banyaknya tumpukan dokumen yang harus dia selesaikan.

Dia mematikan mesin mobilnya dan turun dari mobilnya tersebut. Di rumah itu lah Dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang yang tulus.

Ke dua orang tua angkatnya memberikan kasih sayang yang tulus layaknya Ia anak kandung. Bukan hanya curahan kasih sayang dia dapatkan dari Mami dan Papinya tapi, Kakeknya Tuan Brawijaya.

Tuan Brawijaya sangat menyayanginya dengan setulus hatinya, bahkan sangat memanjakan cucunya itu. Sejak kecil ia tidak pernah menentang atau pun melanggar aturan yang dibuat oleh Kakeknya. Karena itu lah dirinya sangat disayangi oleh Pak Brawijaya.

Pak Brawijaya adalah pensiunan tentara sehingga didikan yang diterima oleh Nafeesa pun sangat lah disiplin dan mandiri. Ia bangga dibesarkan dan diasuh oleh Kakeknya tersebut. Karena baginya tanpa Kakeknya lah Ia tidak akan seperti sekarang ini.

Dan sebab itu lah, saat dirinya mendengar berita tentang perjodohannya, tanpa banyak pikir dua menyetujui hal tersebut. Walaupun Dia belum pernah melihat sosok calon suaminya itu sekalipun seumur hidupnya.

Nafeesa sedikit pun tidak membantah permintaan dan keputusan yang telah dipilihkan untuknya jodoh yang sudah diatur oleh mereka.

Dengan bismillah ia memantapkan hati dan perasaannya untuk menerima perjodohan itu. Kakeknya pun sangat bahagia disaat Dirinya mengiyakan dan setuju dengan perjodohannya. Pernikahannya tersisa dua minggu dari hari itu.

"Ya Allah jika ini yang terbaik untuk kehidupanku maka ikhlaskan hati ini untuk menerima dan menjalankan amanah dari Kakek."

Nafeeza terduduk di ujung ranjangnya sambil memikirkan keputusan yang sudah dia ambil.

Dia tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang terpancar dari ke dua orang tuanya. Kakeknya sangat bahagia karena sejak dahulu sudah merencanakan dan memimpikan pernikahan mereka.

Tok... Tok..

Suara ketukan pintunya membuyarkan lamunannya. Dia bergegas berdiri dan beranjak dari duduknya.

Ia terlebih dahulu merapikan pakaiannya, bercermin sekilas untuk melihat wajahnya yang sembab itu setelah menangis.

"Nafeesa apa Kamu sudah tidur nak?" tanya Kakeknya.

Ternyata beliau yang telah mengetuk pintu kamarnya sedari tadi.

"Belum kek, tunggu Saya bukakan pintunya," jawabnya dari arah dalam kamarnya.

Ia memegang gagang pintu dan bersiap memutar kenop pintunya. Wajah teduh dan penuh karisma yang terlihat di kedua pasang matanya.

Di wajahnya sudah ada beberapa guratan halus keriput di wajahnya, pertanda jika usia beliau sudah memasuki usia senja.

Nafeeza langsung tersenyum manis ke arah Kakeknya agar Beliau tidak mengetahui jika dirinya baru saja menangis tersedu-sedu.

"Masuk Kek," titahnya.

Pak Brawijaya masuk ke dalam kamarnya.

Ia berjalan ke sudut ruangan kamar Nafeesa, beliau duduk di kursinya yang berdekatan dengan jendela.

Pak Brawijaya menatap lekat wajah cucu angkatnya. Beliau merasa bangga karena Nafeesa selalu memenuhi keinginan dan permintaannya tanpa ada bantahan sedikit pun. Seperti halnya dengan perjodohan ini.

Beliau beranggapan tidak sia-sia dia didik dengan keras dan disiplin.

"Kakek baik-baik saja kan?" Nafeeza melihat ke arah wajah Kakeknya.

Seperti ada sesuatu yang dipikirkan oleh Kakeknya yang menjadi beban pikirannya. Dia memegang lembut dan penuh kasih sayang tangan yang mulai keriput itu.

"Kakek apa baik-baik saja? sepertinya ada yang mengganjal dipikiran Kakek," ujarnya sambil menatap ke arah dalam ke dua bola matanya.

Pak Brawijaya hanya tersenyum menanggapinya pertanyaan dari cucu kesayangannya itu. Kasih sayang dicurahkan oleh Pak Brawijaya menimbulkan kecemburuan dari Lidya. Tapi, satu pun dari anggota keluarganya tidak ada yang tahu. Lidya sangat pintar bermain drama jika di depan mereka.

"Maafkan Kakek jika, harus memaksakan kehendak Kakek nak, Kakek ingin melihat Kamu bahagia di sisa waktu dan Hidupnya Kakek," tutur Kakeknya dengan wajah sendunya.

Nafeesa mencium punggung tangan kakeknya agar beliau merasa tenang.

"Apa Kamu keberatan jika Kakek jodohkan dengan anak dari temannya Kakek?" tanya kakeknya sambil memegang tongkatnya yang selalu setia menemaninya.

"Saya sama sekali tidak keberatan Kakek, insya Allah siap menikah dengan pria pilihan Kakek," jawabnya dengan suara yang lemah lembut.

"Tapi, nak ini adalah hidup Kamu, Kamu bisa menolak pernikahan kalian sebelum akad nikahnya, Kakek ridho dengan keputusan Kamu," terang Kakeknya.

Nafeesa memandang penuh rasa kasih sayang dan cinta kasih kepada Kakeknya. Tatapan mata yang teduh menyejukkan hati. Dia menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju dengan permintaan dari Kakeknya.

"Kakek, Saya tidak ingin membatalkan pernikahan ini dan tidak akan pernah, Hyuna siap menikah dengan pria manapun yang kakek kehendaki," tuturnya.

"Tapi!! nak ini hidupmu, Kamu lah yang akan menjalaninya bukan Kakek," dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Sama sekali Saya tidak pernah merasa terbebani sedikit pun, jadi kumohon jangan sesekali mengatakan perkataan itu lagi," jelasnya lagi.

Pak Brawijaya memeluk tubuh cucunya dan tubuhnya bergetar menahan tangisnya sehingga ia mengeratkan pelukannya dengan mengelus punggung tua renta itu. Air matanya yang sedari tadi dia tahan akhirnya luruh juga.

Aku tak bahagia

Melihat kau bahagia dengannya

Aku terluka

Tak bisa dapatkan kau sepenuhnya

Aku terluka

Melihat kau bermesraan dengannya

Aku tak bahagia

Melihat kau bahagia

Harusnya aku yang di sana

Dampingimu dan bukan dia

Harusnya aku yang kau cintai dan bukan dia Harusnya kau tahu bahwa

Cintaku lebih darinya

Harusnya yang kau pilih bukan bukan dia

Ku tak bahagia melihat kebahagiaan kau dengannya

Aku tak bahagia melihat kau bahagia.

Lidya yang mengetahui jika ke dua orang tua kekasihnya datang melamar, awalnya sangat bahagia. Tetapi, setelah mendengar langsung dari mulut pak Handoko Ayahnya Bagas. Dia sangat marah dan kecewa.

Dia langsung berlari ke arah luar dan membawa mobilnya menuju apartemen milik Bagas.

"Kenapa harus seperti ini haaaa!!! kenapa si Anak pungut itu yang akan menikah dengan Mas Andra?"

Ia berulang kali memukul setir mobilnya, hingga kepalang tangannya memerah.

Lidya berjalan tergesa-gesa ke arah Apartemen milik Andra.. Apartemen itu hanya mereka berdua saja yang tahu, jika Andra memiliki satu unit apartemen.

Tanpa ba-bi-bu Lidya masuk ke dalam kamar, dengan wajah yang sedari tadi ditekuk dan mulutnya komat kamit.

"Mas!! kenapa sih Mas tidak menolak keinginan orang tuanya Mas? Mas bisa kan mengatakan sama mereka jika kita sedari dulu kita saling mencintai," ucap Diandra.

Andra yang baru saja selesai mandi, sedikit terkejut dengan kedatangan kekasihnya yang menyerangnya dengan berbagai pertanyaan.

Andra langsung menarik pinggang kekasih gelapnya itu. Tapi, dicegah oleh Lidya. Ia menghempaskan tangannya Andra.

Dia berusaha membujuk kekasihnya dengan sentuhan yang sangat halus sehingga Lidya mampu dalam sekejap melupakan kemarahannya itu.

Mereka berpelukan dengan posisi Andra di belakang. Dengan ke dua lengannya melingkar di atas perutnya Lidya.

"Maafkan Mas sayang, Mas tidak mungkin menentang keputusan ke dua orang tuaku, Aku tidak ingin dicap anak durhaka," jawabnya.

"Oohh jadi Mas lebih memilih ke dua orang tua Mas dari pada Saya?" tanyanya dengan emosi yang sudah menggebu.

"Bukan begitu, tapi apa Kamu ingin jika kelak nanti Mas dicoret dari daftar penerima warisan? apa itu yang Kamu inginkan?" Andra mengerakkan pelukannya.

"Tapi!!! sampai kapan Mas hubungan kita seperti ini? setiap kali bertemu harus sembunyi-sembunyi seperti anak kecil yang main petak umpet saja," jelasnya

Dia menghempaskan tangannya Andra dari pinggangnya dengan sedikit kasar.

Lidya pun memalingkan wajahnya ke arah lain, Dia tidak ingin menatap wajah kekasihnya itu. Dia sengaja berbuat seperti itu, agar sang kekasih menuruti keinginannya.

"Mas mohon untuk kali ini dengarkan Mas sayang, Mas lakukan semua ini demi masa depan kita berdua nantinya, Mas janji Mas pasti akan nikahi Kamu," terangnya yang meraih ke dua tangannya Lidya lalu menciumnya.

"Baiklah kali ini, Saya akan mengalah, tapi tidak untuk lain kali," ujarnya di atas bibirnya sedangkan di dalam hatinya sebenarnya sangat marah, tapi mau tidak mau harus pura-pura menurut permintaan dari pacarnya.

Lidya menumpahkan segala gunda gulananya di hadapan Andra, Lidya menarik tangannya Andra ke atas ranjang king size-nya.

Lidya membuka pakaiannya di hadapan Andra. Hingga dia berbaring dengan keadaan yang sudah polos tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuh sinyalnya.

Seperti itu lah kegiatan mereka setiap bertemu, selalu saja melakukan hubungan intim layaknya sepasang suami istri..

Setelah pergulatan mereka selesai, barulah Andra berhasil menenangkan kekasih dan pujaan hatinya yang tentunya dengan kata-kata dan rayuan maut khasnya.

Andra membelai rambut panjang Lidya lalu berkata," Sayang, Kamu tak perlu merisaukan apa pun itu, pernikahanku dengan perempuan bodoh itu hanya sebatas hitam di atas putih saja, secuil pun aku tidak akan menyentuhnya, bahkan mencintainya pun tidak akan pernah, jadi please yah, jangan pernah Kamu merasakan cemburu atau marah."

Andra kembali mencium bibir seksi Lidya, dan mereka kembali bergulat dengan begitu panas dan hotnya. Berulang kali mereka lakukan dengan berbagai gaya dan pose yang berbeda-beda hingga mereka tak mampu lagi untuk melanjutkannya.

Mereka sama-sama tetkulai lemas saat mereka mencapai puncak kenikmatan surga dunia yang tiada kira.

Hubungan terlarang yang mereka bangun itu, tidak pernah mereka pikirkan konsekuensi dari pilihan mereka.

Mereka tidak tahu kalau mereka sudah salah langkah dan perbuatan mereka sangat tidak pantas untuk mereka lakukan.

Nächstes Kapitel