Dini menatap pantulannya di cermin dengan pandangan sendu. Sudah sejak lama perasaan bersalah memenuhi hatinya. Bahkan tanpa sadar tangannya berhenti menyisir rambutnya yang panjang. Lagi-lagi ia melamun.
Tiba-tiba saja ada sepasang tangan yang melingkari pinggangnya dan membuat Dini tersentak. Matanya bertemu dengan mata si pemilik kedua tangan. Mata hitam itu menatap Dini lekat melalui pantulan kaca.
"Kau murung lagi, Dini," ucapnya.
Dini membalas tatapan mata itu, "Aku benar-benar merasa bersalah padamu, Farel."
Farel mengerutkan dahinya, lagi-lagi percakapan seperti ini. Dia benar-benar tidak suka saat istrinya ini mengungkit-ngungkit masalah ini lagi. Haruskah ia mengulanginya lagi bahwa ia mencintainya istrinya ini apa adanya.
Dengan sedikit hentakan, Farel membalik tubuh Dini hingga mereka bisa saling menatap. "Kau tidak perlu menyalahkan dirimu terus. Aku mencintaimu apa adanya, Dini. Kau harus ingat itu!"
Dini masih belum bisa menghilangkan kerisauan di wajahnya. "Tapi kau memerlukan keturunan, Farel. Dan aku tidak bi-" ucapan Dini terhenti karena isak tangis keluar dari mulutnya.
"Siapa bilang kau tidak bisa memberikannya?! Kau bisa, Dini! Kau tidak mandul!" bentak Farel.
"Aku memang tidak mandul, tapi rahimku lemah. Lalu apa bedanya? Aku ini benar-benar istri yang tidak berguna."
Melihat air mata lagi-lagi mengalir di wajah istrinya, Farel segera membawa sang istri ke dalam pelukannya. "Kau selalu seperti ini setiap kita pulang dari rumah ayah."
"Ayah menginginkan keturunan, Farel. Dia ingin keluarga Ganendra memiliki penerus... dan ini semua salahku... Aku tidak becus menjadi istri..."
Setiap Dini bersedih, Farel hanya bisa memeluknya sambil menepuk-nepuk pelan punggung Dini. "Kita hanya harus berusaha, Dini. Dokter bilang kau bisa hamil."
Secara perlahan getaran tubuh Dini menghilang. Wajahnya yang masih berisi sisa-sisa air mata mendongak menatap wajah Farel. "Aku akan berusaha, Farel."
Farel menaikkan sedikit ujung bibirnya saat melihat kesedihan Dini sudah mulai menghilang. Kedua tangannya merangkum wajah putih Dini. "Malam ini kau bisa? Kau tidak merasa pusing, kan?"
Dini menggeleng, "Aku baik-baik saja."
Farel tersenyum kecil dan mencium pelan bibir Dini. Kemudian mengangkat tubuh Dini ke atas tempat tidur. Setelah membuat posisi Dini nyaman, Farel kemudian menempatkan dirinya di atas tubuh Dini setelah melepas baju yang ia kenakan. Tubuhnya ia topang dengan kedua tangan yang menumpu di kedua sisi wajah Dini.
Mereka sudah menikah hampir sepuluh tahun, tapi wajah Dini tetap memerah saat-saat mereka akan bersatu seperti sekarang ini. Dengan perlahan, Farel mendekatkan wajahnya ke wajah Dini. Mencium wajah istrinya dari dahi, mata, pipi hingga berakhir di mulut.
Mulut Farel yang memang sudah ahli mulai mengecap bibir Dini yang dipoles lipgloss rasa anggur.
"Hhh..." lenguh Dini saat lidah Farel menyeruak ke dalam mulutnya. Daging tanpa tulang itu mengabsen satu per satu gigi Dini dan bergulat pelan dengan lidah Dini.
Saat melihat tangan Dini mendorong pelan dadanya, Farel segera melepas pagutannya dan memberikan Dini waktu untuk menarik napas. Farel benar-benar tahu kalau tubuh Dini lemah karena itu ia sangat berhati-hati setiap melakukan hubungan intim.
Kembali Farel meraup bibir Dini dan mengecapnya sedikit lebih ganas karena tubuhnya sudah mulai memanas. Salah satu tangan Farel mulai bekerja dengan melepas satu per satu kancing baju Dini hingga terlihat dua gundukan besar milik Dini yang memang tidak mengenakan bra.
Sadar Dini membutuhkan oksigen, Farel melepas bibir Dini dan menurunkan wilayah jajahannya. Bibirnya perlahan mengecup setiap bagian di leher Dini.
"Ahh..." desah Dini saat bibir Farel meninggalkan sebuah kissmark di lehernya.
Tidak menghiraukan desahan Dini, Farel kemudian menjilat puting Dini yang sudah mulai mengeras. Sambil mengemut dada Dini layaknya seorang bayi, tangan kanan Farel juga memijat pelan dada kiri Dini.
"Fa-Farel... Ahhnn..." desah Dini pelan. Dini benar-benar menyukai kegiatan foreplay. Karena itu dia bisa mendesah dan melenguh keras-keras.
Farel mulai menurunkan celana tidur dan celana dalam Dini. Di depannya kini tersaji vagina Dini yang ditumbuhi sedikit bulu halus. Inilah tempat yang sudah sering Farel masuki dan Farel sangat suka saat melihatnya berkedut-kedut seperti sekarang.
Dengan ahli, Farel menjilat vagina Dini dan membuat si empunya menggelinjang geli.
"Hahh..." kedua kaki Dini menendang-nendang udara saat Farel memasukkan lidahnya ke liang Dini.
Merasa celananya mulai sesak, Farel meninggalkan Dini sejenak. Selain agar istrinya itu bisa meraup udara sebanyak-banyak, Farel juga harus melepas celananya agar penisnya bisa berdiri dengan bebas.
Saat menaiki tempat tidur dan memosisikan di atas Dini kembali. Mata hitam Farel melihat keadaan Dini yang sudah sangat kelelahan. Farel memang sudah mengenal Dini sejak mereka masih SD. Dan ia tahu kalau tubuh Dini sangat lemah. Sekarang saja, istrinya itu sudah terlihat akan pingsan. Bahkan tak jarang, Dini pingsan saat Farel masih melakukan sesi foreplay.
Karena itu saat melihat Dini kelelahan seperti ini, Farel sebenarnya ingin menghentikan kegiatan mereka tapi ia tahu itu hanya akan membuat Dini semakin sedih. Karena itulah, ia akan segera ke kegiatan puncaknya saja dan menyudahi sesi pemanasan mereka yang terpotong.
Dikecupnya pelan bibir Dini sehingga kedua mata Dini yang tadi terpejam kembali terbuka. Bibirnya tersenyum tipis.
"Aku akan memasukimu, Sayang," ucap Farel pelan.
Dini hanya bisa mengangguk lemah.
Dengan perlahan-lahan, Farel memasukkan penisnya ke lubang Dini. Dia benar-benar tidak ingin membuat Dini kesakitan.
"Grr... Akh!" tubuh Dini sedikit tersentak saat penis Farel masuk ke dalam tubuhnya.
Farel mengusap pelan peluh yang membanjiri wajah Dini dan mulai memaju mundurkan tubuhnya dengan perlahan. Sebenarnya setiap mereka berhubungan intim, Farel tidak berani memasukkan seluruh penisnya ke dalam tubuh sang istri. Karena Dini sudah merasa kesakitan saat setengah penis Farel memasukinya.
"Akh! Akh! Akh!"
Farel memaju mundurkan tubuhnya dengan hati-hati sambil memperhatikan raut wajah Dini. Jika Dini merasa kesakitan, ia akan menghentikan kegiatan ini. Keluarganya memang memerlukan keturunan tapi dia tidak ingin menyakiti Dini.
"Fa-Farel..." panggil Dini terbata-bata. Matanya terlihat sangat sendu saat menatap Farel. "Aku mencintaimu..."
Farel tersenyum kecil dan kembali melumat mulut Dini. Tangannya juga meremas salah satu dada Dini.
"A-aku keluar ahh..." Dini sudah merasakan orgasmenya. Dan sebentar lagi, Farel juga akan menyusul.
"Akh!" Farel berusaha meredam desahannya dengan menenggelamkan kepalanya di belahan leher Dini.
Sperma Farel menyembur ke dalam tubuh Dini dan Dini hanya bisa melenguh saat merasakan sperma Farel memenuhi rahimnya.
Dikecupnya pelan dahi Dini oleh Farel, "Nah, sekarang kau istirahat."
Dengan sangat berhati-hati, Farel memisahkan tubuh mereka kemudian memosisikan tubuhnya di samping tubuh Dini.
Dini yang masih berusaha memenangkan napasnya membuka kembali matanya yang sempat terpejam. Kepalanya benar-benar terasa pening. Di saat seperti ini, Dini benar-benar merasa lemah dan tidak berguna. Bagaimana ia bisa memberikan keturunan untuk Farel kalau baru segini saja tubuhnya sudah kelelahan.
Dengan perlahan, Dini bangun dari posisi tidurnya, melihat Dini terbangun, Farel juga mengangkat tubuhnya.
"Ada apa, Dini? Tidurlah, tubuhmu gemetar," Farel berusaha membaringkan Dini kembali. Tapi Dini menepis tangan Farel.
"Aku ingin berusaha, Farel," satu isakkan keluar dari mulutnya. "Ka-kalau hanya seperti ini, aku tidak akan hamil."
"Tapi kau sudah kelelahan, Dini. Aku tidak ingin kau pingsan."
Dini menatap Farel denga matanya yang berkaca-kaca, "Aku masih bi-" ucapan Dini terputus. Dan tubuh ringkih itu oleng ke depan. Dengan sigap, Farel segera menangkap tubuh istrinya itu dan membaringkannya perlahan. Lagi-lagi Dini pingsan. Tapi selemah apapun istrinya, Farel sangat mencintainya dan berjanji tidak akan meninggalkannya apapun yang terjadi.
.
.
.
FIN