webnovel

A Song of the Angels' Souls

Ketiga belas gadis rupawan itu mengaku sebagai bidadari dari dunia lain. Di bumi, masing-masing dari mereka akan dipersatukan dengan seorang pria yang ditunjuk sebagai pendamping. Bidadari-bidadari itu datang ke bumi bukan untuk memberi berkah, mencegah kehancuran, atau menjadi penuntun bagi umat manusia. Bukan. Misi utama mereka adalah membunuh satu sama lain. Mereka akan terus bertempur sampai hanya ada satu yang tersisa. Satu yang akan diangkat sebagai ratu di dunia asalnya. Sementara itu, pendampingnya akan mendapatkan hadiah yang tak terkira nilainya. Keinginan terbesarnya akan dikabulkan tanpa terkecuali. Ini bukan sekadar kontes saling membunuh, tetapi juga bentrokan antar ambisi, kepentingan, dan ideologi.

Gaasuja · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
169 Chs

Bidadari Merah

Begitu Lyra mendarat di jalanan aspal, Rava turun dari punggung bidadarinya itu. Rava masih merasa aneh bepergian dengan digendong Lyra di punggung. Namun, barangkali itu lebih baik daripada dibopong di depan. Selain lebih memalukan, risiko 'kecelakaan' yang membuat canggung juga lebih besar.

Lagipula, armor di badan Lyra kan keras.

Ione, yang juga baru datang langsung mengamati jalanan yang berada di depan perumahan itu. "Untung di sini sepi, jadi tidak ada yang kecelakaan."

"Apa itu monsternya?" Stefan menujuk ke persawahan di sisi lain jalan.

"Kayak H*lk," ceplos Rava saat menemukan beberapa monster botak berkulit hijau di kejauhan.

Monster-monster berkaki laba-laba itu cuma mondar-mandir di lumpur sawah bekas panen. Mereka jadi tampak bodoh. Rava jadi bertanya-tanya. Mereka serius tidak sih menjadi monster?

Tak lama kemudian, salah satu dari monster berhenti, kemudian menoleh kapada para bidadari, disusul dengan yang lainnya. Mereka pun berlari cepat menuju Lyra dan Ione, berkecipakan di lumpur. Rava mundur untuk mengawasi, sementara Lyra memunculkan senjatanya, kemudian memasang kuda-kuda untuk menunggu lawan.

Bukannya mengikuti apa yang Lyra lakukan, Ione malah maju, melesat cepat di pematang sawah.

"Jangan kira gara-gara senjatanya seruling, dia bakalan lemah lembut kalau berantem," ucap Stefan yang sudah menjejeri Rava. Tersenyum, Stefan memencet salah satu tanda di lengannya.

Ione meniup serulingnya. Walau nadanya agak fals karena Ione membunyikannya sambil berlari, para monster tetap mematung.

"Heaaaaa!!!" Ione pun melompat tinggi dan menendang kepala salah satu monster. Setelah itu, dia memukuli para monster dengan serulingnya, sesekali dia menginjak-nginjak mereka kalau sudah terjatuh. Ia sama sekali tak peduli lumpur yang menciprati tubuhnya.

Rava memperhatikan cara Ione bertarung dengan mulut menganga. Apa yang seperti itu masih pantas disebut bidadari? Berbeda dengan gerakan Lyra yang lembut atau serangan Alsie yang cepat dan tajam, cara Ione bertarung lebih terlihat seperti preman yang mengeroyok orang. Tampak begitu bar-bar dan seperti asal saja.

"Katanya, senjata tumpul lebih efektif untuk menghabiskan energi pelindung di tubuh bidadari, tetapi tidak maksimal untuk mengalahkan bidadari yang energi pelindungnya sudah habis. Beda dengan senjata tajam. Kurang efektif mengikis energi pelindung, tapi langsung bisa melukai bidadari yang energi pelindungnya habis," terang Stefan.

Lyra hanya mematung, mengamati Ione memukuli para monster. Kalau seperti ini terus, dia tak akan bisa mendapatkan jatah membunuh monster. Setelah sekilas menunduk melihat lumpur, Lyra berkata, "Rava, aktifkan kekuatanku."

Begitu Rava memencet tanda di lengannya, Lyra langsung berlari dengan kecepatan di atas normal. Tubuhnya hanya terlihat seperti kelebatan saja di mata Rava

Ione melindungi matanya dari cipratan-cipratan besar lumpur yang beterbangan karena kecepatan gerak kaki Lyra. Lyra tengah membasmi para monster yang sudah mulai bergerak lagi, sementara Ione cuma menunggu, sadar dirinya tak akan mendapat kesempatan.

Rava kembali melongo, dia seperti melihat tsunami lumpur bersahut-sahutan di sana. Hanya dalam sekejap saja, monster-monster itu bertumbangan.

Mulut Rava menganga semakin lebar. Sekarang dia melihat sesuatu yang lebih luar biasa. Dua bidadari itu jadi seperti patung cokelat. Tubuh mereka—kecuali di bagian mata—sudah dilapisi lumpur seluruhnya.

"Bahkan ini terlalu berlebihan buatku," gumam Stefan, mengelus-elus dagunya.

Mulut Rava kini membuka maksimal. "Hah?"

"Ah bukan apa-apa, jangan dipikirkan."

Meski masih penasaran dengan maksud Stefan, insting Rava berkata agar dirinya tak bertanya lebih jauh.

"Ternyata benar, saat bertarung denganku kemarin, kamu sedang tidak menjadi dirimu yang sebenarnya. Gerakanmu sekarang jauh lebih bagus," ucap Ione, meludahkan lumpur, memeriksa tubuhnya, lantas membenarkan bagian bawah busananya. "Duh, ada yang masuk ke sini."

Tak menanggapi, Lyra naik ke pematang sawah. Di sana, dia berlari kencang, kemudian melompat ke arah Rava. Beberapa bagian lumpur pun terciprat dari tubuh bidadari itu. Sebagian mengenai wajah Rava saat Lyra mendarat.

"Oke ...." Rava hanya menyeka wajahnya, merasa tak pantas menyalahkan Lyra. Kondisi perempuan itu jauh lebih parah. Sebagian besar tubuhnya masih tertutupi noda kecokelatan.

"Aku ingin memberi kesempatan kalian untuk membersihkan diri, tapi sayangnya ada bidadari lain di sekitar sini," ucap Piv yang muncul tiba-tiba. "Kalian pergi saja ke barat laut, di salah satu sudut perumahan."

Ione yang baru datang dan masih membenarkan bagian selangkangan bajunya pun tersenyum kecut.

"Sebaiknya, kita segera menemuinya. Takutnya keburu pergi," usul Stefan cepat.

Begitu dua bidadari itu berjongkok untuk memberikan tumpangan kepada para tuannya, Rava dan Stefan saling berpandangan. Stefan cuma mengangkat bahu dan naik punggung Ione. Rava pun menghela napas, dan akhirnya menyambut gendongan Lyra. Rava merasakan dinginnya cairan lumpur merembes ke kaos dan celananya. Sungguh tak nyaman.

Kedua bidadari melompat dari atap hunian satu ke atap hunian lain di perumahan. Tak perlu waktu lama, mereka tiba di tempat yang dimaksud Piv, langsung bisa melihat dua bidadari. Satu berbusana kuning, satunya berpakaian merah marun.

"I-ini ...." Stefan membelalak begitu lebar saat melihat apa yang terjadi, sementara Rava menutupi mulutnya. Perutnya seperti mendorong sesuatu ke kerongkongannya, memicu mual tak terkira.

Begitu mendarat, Lyra dan Ione langsung mengaktifkan senjata masing-masing, sekaligus memasang kuda-kuda.

Si bidadari berbusana merah marun tergeletak di jalanan paving. Bidadari berbaju kuning tengah duduk di perutnya. Seorang tuan yang berambut jabrik terduduk di pinggir jalan dengan cucuran air mata. Celananya begitu basah oleh kencingnya sendiri. Sementara itu, tuan satunya hanya memejamkan mata dengan kepala menghadap ke arah lain. Tubuh dua tuan itu bergetar tak terkendali.

Si bidadari berambut merah sudah tak bergerak. Senjatanya yang berupa tombak sudah teronggok jauh dari dirinya. Darah segarnya merembes di paving jalanan. Wajahnya sudah tak berbentuk lagi. Namun, si bidadari berbaju kuning tetap saja menghantami wajahnya dengan perisai.

Melihat mata amber si bidadari berbusana kuning, Lyra menggertakkan giginya.

"Sepertinya kamu tahu keadaannya ya, Lyra?" bisik Ione, memperhatikan si tuan berambut jabrik yang jaraknya begitu dekat dengan bidadari berpakaian kuning.

"Dia jelas tahu kedatangan kita, tapi masih saja memukuli mayat itu," balas Lyra, sama lirihnya. "Kalau kita bergerak sedikit saja, ada kemungkinan dia akan menghabisi tuan berambut jabrik itu."

"Maaf, aku sempat mengira kamu benar-benar tak peduli dengan nyawa manusia bumi. Entah ya, barangkali wajahmu yang menunjukkan aura seperti itu .... Ah, barangkali aku kelewatan."

Mendengar hal itu, Rava merasakan getaran di tubuhnya makin tak terkendali. Sang bidadari merah telah mati, berarti tuannya sudah bisa dibunuh?

Dan tiba-tiba saja, bidadari berbaju kuning itu melemparkan perisainya. Si tuan berambut jabrik pun tumbang dengan kepala pecah. Perisai itu lalu menyelosor dengan meninggalkan jejak darah memanjang di paving.

Dalam hening, semua yang melihat adegan itu terhentak hebat. Rava tak tahan lagi dan muntah, Stefan buru-buru mendatanginya untuk memeriksa.

Dengan wajah penuh cipratan darah, bidadari berbaju kuning itu menoleh kepada Lyra dan Ione. Di wajahnya tersungging senyum luar biasa lebar. Senyum itu bukan senyum orang gila atau sejenisnya. Senyum itu bisa ditemui di wajah orang normal pada umumnya.

"Halo, namaku Zita," ucap bidadari berbaju kuning itu, bangkit berdiri. "Kalian mau bermain denganku?"