webnovel

4 Leaf Clover

Silva Saphira adalah seorang wanita cantik nan pintar, dia adalah seseorang yang selalu mendapatkan nilai sempurna disemua mata pelajaran, tak ada hal yang dapat menyulitkanya dirinya. Selain cantik, dan juga pintar, Silvia juga sangat hebat dalam hal bela diri, dia benar-benar terlihat sangatlah sempurna. Akan tetapi dibalik semua kesempurnaan itu, ia menyimpan sebuah rahasia, sebua luka masa lalu yang cukup kelam. Trauma akan masa lalunya yang kelam membuatnya memutuskan untuk tidak akan pernah berbicara lagi kepada siapapun, bahkan tak kepada kedua orangtuanya sekali pun. Hal tersebut menyebabkan orang-orang disekolahnya menganggapnya gagu, dan tidak bisa berbicara, namun Silvia tidak peduli dan terus menyimpan rahasia tersebut. Akan tetapi pada suatu hari semua rahasianya terbongkar atas kecerobohannya sendiri, ia tidak sengaja berbicara didepan mata seseorang laki-laki yang juga merupakan teman sekelasnya dan juga teman sebangkunya, ia adalah seseorang laki-laki kurus, jelek dan berkualit sawo matang, ia adalah salah satu murid pengkoleksi SP terbanyak disekolah itu. Ia adalah Milas Scarlet. Entah apakah itu yang dinamakan takdir, hidup Silvia yang kelam seketika berubah menjadi berwarna setelah pertemuannya dengan Milas.

Milsscar82 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
17 Chs

Nightmare (2)

POV : Silvia Sapphira

Rian Alfarizi, yang dulunya adalah seorang pusat perhatian, yang selalu dipuji-puji hingga disembah-sembah oleh perkumpulan wanita sekte penyembah Rian, kini semua berubah.

Rian menjadi bahan gunjingan orang-orang akibat ulah ayahnya itu, yang bahkan menurutku pribadi, itu bukanlah salahnya atas apa yang terjadi oleh ayahnya itu. Itulah mengapa terkadang aku tidak begitu mengerti, mengapa orang lain selalu menyalahkan orang lain atas kesalahan orang tuanya, yang bahkan ia tidak mengetahui itu sebelumnya. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan orang seperti itu. Menjijikkan.

Intinya, akibat ayahnya yang dipenjara itu, membuatnya menjadi berubah 180 derajat, atau bahkan mungkin 360 derajat. Mulai dari sifat, perilaku, pola pikir, dan bahkan hingga tatapan matanya pun berubah. Ia berubah layaknya Christian Bale dari satu film ke satu filmnya yang lain. Ya, ia layaknya orang lain.

Aku benar-benar sudah tidak mengenalinya lagi setelah kejadian itu. Dari yang murah senyum menjadi pemurung, dari yang suka berkumpul menjadi penyendiri, ya..., kira-kira seperti itulah perubahan yang paling signifikan dari Rian.

Disini, aku pun ingin memberikan saran kepada kalian semua yang mungkin sedang membaca tulisanku ini. Jangan pernah sekali pun kalian menilai seseorang hanya karna kesalahan orang tua atau pun keluarganya sekali pun. Karna bisa saja itu akan merusak mental orang tersebut, yang malah akan membuat segala sesuatu yang tidak kita inginkan itu terjadi. Seperti apa yang telah Joker katakan. "Madness... is like gravity. All it takes is a little push."

Aku bukannya tidak pernah berusaha untuk mencairkan suasana ketegangan antara aku dengan dirinya saat itu, bahkan faktanya, sudah seringkali aku lakukan itu. Berkali-kali aku berusaha untuk mengubahnya agar kembali seperti dirinya yang dulu, berkali-kali aku mencoba namun semua usahaku seakan sia-sia, ia tidak pernah mau mendengarkanku sama sekali. Ia selalu pergi begitu saja ketika aku sapa atau pun aku dekati.

Bahkan disaat yang terakhir, ketika aku mencoba untuk mendekatinya, ia malah marah dan berkata. "Lo gak usah sok peduli sama gua Sil! Karna lo gak tau apa yang gua rasain saat ini." Serusnya dengan penuh amarah. Dan ketika ia berkata seperti itu kepadaku, jujur saja disitulah disaat aku berpikir bahwa, aku sudah tidak dapat melakukan apa pun lagi untuk merubahnya. Aku benar-benar merasa tidak berguna, dan juga aku pun pada akhirnya sadar bahwa aku, pada dasarnya tidaklah mengenalinya sama sekali selama ini.

Ya, mungkin dia benar soal itu, karna memang aku tidak benar-benar mengerti apa yang ia rasakan saat itu, mau berapa kali pun aku berkata bahwa aku mengerti, namun pada kenyataanya aku memanglah tidak mengerti perasaanya itu.

Dan belum cukup sampai disitu saja, saat itu ia juga menyuruhku untuk menjauhinya dan tidak perlu untuk mendekatinya kembali.

Itulah kalimat terakhirnya yang benar-benar membuat hatiku hancur seketika saat itu. Setelah itu pun aku tidak berani lagi menegurnya atau pun bahkan untuk sekedar menemuinya, aku benar-benar menuruti permintaanya itu.

Disaat itu aku tau bahwa aku telah melakukan kesalahan fatal dengan meninggalkannya dalam keadaan seperti itu, namun dulu aku masihlah sangat bodoh dan tidak berguna, sehingga bisa-bisanya aku menyerah seperti itu.

Itu semua aku lakukan karna aku takut. Aku takut jikalau aku tidak menurutinya, itu akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi, aku takut itu malah akan memperburuk keadaan. Aku takut dia akan membenciku setelah itu, maka dari itu aku pun tidak punya pilihan lain selain menuruti perkataanya itu, meski aku tau itu salah. Karna pada dasarnya aku tidak ingin menjauh darinya.

Semakin lama keadaanya semakin parah, Rian bukan cuma hanya diam saja, akan tetapi bahkan dia sudah tidak masuk ke sekolah selama hampir 1 bulan. Bayangkan saja, 1 bulan berturut-turut ! Seandainya itu sekolah negeri, mungkin ia sudah pasti akan D.O oleh pihak sekolah.

Bahkan Ibunya pun sampai datang menemui aku untuk minta tolong kepadaku agar membujuk Rian supaya mau bersekolah lagi. Kenapa aku, kenapa harus diriku ?, itulah pertanyaan yang selalu terniang-niang di kepalaku saat itu. Mungkin itu semua karna ibunya berpikir kalau hanya dirikulah teman terdekatnya Rian disekolah tersebut. Karna seperti yang pernahku bilang, aku selalu bersama Rian sebelumnya, layaknya gula dan semut.

Ibunya datang menghampiriku dengan mata yang sudah terlihat lebam akibat tangisan yang tiada henti, saat itu pun ia juga datang dengan bergelimang air mata yang telah memenuhi pipinya tersebut, ia datang sebagai sosok seorang ibu yang kehilangan anaknya (dalam artian sifatnya yang berubah).

Pada saat itu aku yang masih terlalu muda dan bodoh pun tak bisa berjanji apa-apa kepada ibunya Rian, dan aku hanya bisa berkata. "Iya." Dengan ekspresi penuh keragu-raguan, aku pun bahkan tak tau apa aku mampu mengembalikan Rian kembali ke jalan yang benar. Aku berkata. "Iya" bukan karna aku merasa mampu, tapi karna aku tidak punya pilihan lain selain berkata. "Iya." Kepada ibunya Rian yang sudah jauh-jauh datang menghampiriku dengan penuh sesak air mata yang membasahi pipinya itu. Aku tidak sanggup berkata. "Tidak." Karna melihatnya yang menatapku dengan penuh harapan, seraya memohon-mohon kepadaku.

Akan tetapi tidak lama setelah ibunya datang ke sekolah dan memohon-mohon kepadaku di hadapan banyak murid-murid yang lainya, tiba-tiba saja sebuah keajaiban seakan-akan terjadi dan datang begitu saja. Tidak ada angin atau pun hujan badai yang menerpanya, setelah sekian lama ia tidak masuk sekolah, Rian tiba-tiba saja mulai bersikap ramah dan baik kepada semua orang kembali. Ia bahkan tidak ragu untuk menyempatkan dirinya meminta maaf kepada seluruh murid yang ia rasa telah ia rugikan, termasuk diriku.

Aku benar-benar tidak tau apa sesuatu yang bisa sampai merubahnya kembali seperti itu, namun suatu hal yang pasti, Rian benar-benar menjadi sosok Rian yang gua kenal dulu, dan itu benar-benar membuatku bahagia sekali.

Namun di sisi lain, di dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku merasa kurang yakin dengan perubahanya itu, itu semua dikarnakan semuanya itu secara tiba-tiba dan aku benar-benar tidak dapat mengerti itu sama sekali. Memang, jujur saja aku sangat-sangat berterimakasih akan hal itu kepada tuhan yang telah menjawab doa-doaku, namun tetap saja terkadang diriku selalu bertanya-tanya, apakah ini adalah suatu hal yang baik ?, atau ini hanya akan bertambah buruk.

Sejujurnya aku merasa sangat bersalah saat Rian meminta maaf kepadaku, itu karna sebenarnya akulah yang salah, aku yang salah karna tidak berani untuk terus menegurnya dan menyerah kepadanya. Dan disaat Rian minta maaf kepadaku, jujur, aku sangat-sangat kecewa terhadap diriku sendiri yang tidak berguna ini, lalu karna itu pulalah tingkat kekagumanku kepadanya naik hingga pada tingkatan maksimum.

Setelah itu, aku dan Rian mulai kembali dekat dan bersama, seakan-akan semua hal buruk itu tak pernah terjadi sebelumnya. Aku dengannya mulai berlatih karate kembali, pulang bareng dan istirahat bareng pula, semua sama seperti dulu lagi.

Namun betapa bodohnya diriku, ketika aku tidak menyadarinya bahwa itu semua adalah awal dari mimpi burukku yang tak berujung ini.

Saat itu aku tidak menyadarinya jika Rian yang tiba-tiba saja berubah menjadi baik dan kembali ke sekolah itu menyimpan sebuah misteri yang besar. Hatiku memang selalu mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan ini semua, karna itu semua benar-benar terasa seperti sebuah mimpi indah yang tidak akan pernah mungkin terjadi di dalam kehidupan nyata. Aku terlalu larut dalam kebahagian, sampai-sampai otakku mengabaikan itu semua dan bersikap seperti dunia mimpi nan indah itu memang lah nyata adanya.

Rian menyimpan maksud lain. Ya, saat itu Rian sama sekali tidak berubah, ia hanya sedang memainkan peran yang ia rasa ia butuhkan saat itu. Rian tak pernah benar-benar berubah menjadi Rian Mr. Baik hati lagi, atau bahkan ia semakin buruk dari yang sebelumnya. Ia mulai memanfaatkan diriku saat itu. Ia terus-terusan memanfaatkanku untuk meminjam uang dariku dengan berbagai macam alasannya yang sebetulnya terkadang tidaklah masuk akal, namun entah kenapa aku tidak pernah bisa untuk menolaknya, meski aku mengetahui bahwa alasannya meminjam uang itu terkadang benar-benar tidak masuk akal.

Bahkan diriku juga pernah memergoki Rian menindas atau membully salah satu murid di sekolah kami waktu itu, saat itu otakku berpikir bahwa itu hanyalah pertengkaran antar laki-laki saja, sama seperti pada umumnya, jadi aku mengabaikannya seperti tidak ada apa-apa. Namun hatiku selalu berkata lain, hatiku selalu berkata bahwa itu adalah tindakan bullying yang tidak sepatutnya dilakukan oleh siapa pun, termasuk Rian sekali pun.

Tapi karna aku takut jika aku ikut campur malah akan menimbulkan masalah baru dan menggangu hubungan persahabatanku dengan Rian yang baru saja kembali, otakku lagi-lagi kembali mengabaikannya.

Aku baru sadar bahwa itu semua adalah hal yang salah ketika semuanya telah terlambat. Penyesalan selalu datang diakhir, itulah kata orang-orang tentang sebuah penyesalan, dan itu benar adanya. Mulai dari sini aku akan menceritakan awal dari semua mimpi burukku yang tidak berujung itu.

Itu semua bermula ketika 1 bulan setelah aku melihat penindasan yang telah dilakukan oleh Rian. Pada suatu hari aku melihat Rian berjalan bersama banyak anak-anak yang dari segi penampilannya layaknya seorang preman atau jagoan sekolah, mereka datang dari berbagai macam sekolah, itu terlihat dari seragam mereka yang terlihat banyak berbeda. Terlebih, aku juga melihat banyak seragam SMA di sana.

Saat aku bilang bahwa mereka berpenampilan layaknya preman, itu karna mereka semua mengeluarkan seragam mereka, seragamnya pun bahkan terlihat begitu lecak. Mereka pun juga membuka dua kancing teratas seragam mereka, sehingga baju dalaman mereka terlihat cukup jelas meski dari kejauhan sekali pun. Dan dari situlah timbul kecurigaanku terhadap Rian. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehnya selama ini, pikirku saat itu.

Namun saat itu aku masih memutuskan untuk tetap diam, seraya mencoba meyakinkan diriku bahwa itu semua tidaklah benar. Bahwa itu Rian baik-baik saja, dan tidak ada sesuatu yang buruk pada dirinya. Ya, aku begitu naif saat itu.

Itu semua akhirnya mencapai puncaknya ketika seminggu kemudian, ia masih saja terus meminjam uang kepadaku. Namun saat itu untuk pertama kalinya aku menolak. Bukan karna aku pelit atau perhitungan dengannya, akan tetapi, itu karna aku telah menaruh curiga terhadapnya, itu semua kulakukan semata-mata demi kebaikannya.

"Maaf Ri, untuk kali ini aku benar-benar tidak bisa meminjamkan uangku lagi kepadamu. Bukan karna aku tidak mau, namun itu karna alasanmu yang tidak jelas, aku tidak ingin uang yang aku pinjamkan kepadamu kau sia-siakan Rian..., namun jika kau bisa menjelaskan secara jelas alasanmu itu, aku akan bersedia memberikanmu uangku, bahkan tanpa harus dikembalikan sekali pun." Ucapku ketika Rian meminjam uang kepadaku dengan alasan yang tidak masuk akal itu.

Rian pun seketika kesal dan emosi kepadaku, ia lalu membuang mukanya dariku seraya berkata kasar kepadaku. "Bener-bener gak bisa diandelin lo Sil!." Gumamnya dengan raut wajah kecewa dan juga kesal. Dan tak luput ia juga sempat meninju tembok yang berada di sebelahnya setelah berjalan beberapa langkah dariku.

Disaat itu aku sejujurnya sangat-sangat merasa kasihan kepadanya karna aku tak bisa membantunya sama sekali saat itu, namun saat itu aku merasa bahwa keputusanku itu adalah keputusan yang sangat tepat, dan memang harus aku lakukan saat itu.

Lalu setelah kejadian itu, Rian tidak lagi menemuiku kembali dihari itu, atau pun keesokan harinya. Ia tiba-tiba saja muncul dihadapanku setelah satu minggu tidak menemuiku setelah aku menolak permintaan tolongnya itu. Saat itu bagiku ia bagaikan jelangkung, ia datang kepadaku tanpa dijemput, ia pun juga pergi dariku tanpa pamit.

Ya, menyeramkan, aku setuju dengan hal itu.

Saat itu aku pun bertemu dengannya bukan di sekolah, namun di tempat latihanku.

Sama seperti beberapa waktu yang lalu, ia tiba-tiba saja datang kehadapanku dan dengan senyumannya yang manis dan terlihat tulus itu, ia meminta maaf kepadaku dengan bersungguh-sungguh. Aku sebagai manusia normal yang baik hati pada umumnya, tentu saja memaafkannya, karna seseorang yang bisa memaafkan kesalahan orang lain itu adalah orang yang hebat bukan ?.

Tapi bodohnya saat itu aku pun tidak sadar, aku masih terus berpikir bahwa Rian telah benar-benar kembali seperti Rian yang dulu. Entah apa yang membuatku, seorang Silvia Saphira, orang yang paling pintar di sekolahan menjadi seorang manusia bodoh yang selalu jatuh kedalam lubang yang sama layaknya seorang keledai.

Ya, mungkin saja itu karana aku sudah terlanjur suka dengan orang itu, seperti kata orang-orang, terkadang cinta itu buta bukan ?.

Maka dari itu, semua tentangnya selalu saja aku anggap sebagai hal yang positif, tidak pernah terbesit di dalam pikiranku sedikit pun, bahwa ia memiliki niatan jahat kepadaku sama sekali. Ingin rasanya aku kembali kemasa lalu hanya untuk mengatakan kepada diriku yang masih muda itu "Dasar, Silvia bodoh !"

Saat itu ia datang kepadaku, dan dihadapanku ia seketika langsung memegangi tanganku, lalu ia memasang senyum manisnya itu lagi, seraya menatap tajam dalam kedalam mataku. "Sil, gua tau lo pasti aneh banget ngeliat gua tiba-tiba nemuin lo disini setelah satu minggu gua bahkan gak menampakkan batang hidung gua dihadapan lo, gua minta maaf." Ucapnya dengan tatapan wajah yang benar-benar terlihat sangat tulus, layaknya seorang petapa yang seperti tidak mempunyai dosa.

Lalu aku pun hanya terdiam memandanginya, aku tidak tau ingin mengatakan apa saat itu. Mulutku seketika membeku, bibirku hanya bisa bergetar tanpa bisa aku buka. Dan mataku tak bisa lepas dari matanya, aku benar-benar dibuat terdiam olehnya.

Tiba-tiba saja ia menundukkan kepalanya dihadapanku, ia bersujud dihadapanku. "Tapi gua mohon Sil, untuk sekali ini aja Sil, gua mohon tolong bantuin gua. Gua janji ini akan menjadi yang terakhir kalinya gua ngerepotin lo. Dan gua juga janji, suatu saat gua akan bales semua kebaikan lo ini Sil, please Sil, untuk yang terakhir kalinya, bantu gua...." Ucap Rian seraya bersujud memohon kepadaku.

Saat itu aku benar-benar merasa sangat canggung, aku tidak tau harus berbuat apa, aku hanya bisa tersenyum pahit seraya berusaha mengangkat kepalanya Rian dan berkata. "Udah Ri, udah..., kamu nanti malu-maluin diri kamu sendiri Ri." Ucapku berulang kali. Dan Rian tetap tidak menghiraukanku sama sekali, ia terus saja bersujud seraya memohon-mohon kepadaku.

"Sil Please Sil... gua mohon, karna cuma lo satu-satunya temen yang bisa gua percaya, cuma lo Sil please." Ucapnya sambil menundukkan kepala dan mengeluarkan air matanya.

Dan tentu saja dengan melihatnya yang sampai sebegitunya memohon-mohon kepadaku, aku pun merasa iba, hati kecilku yang imut-imut itu tidak kuasa melihat dirinya dalam keadaan seperti itu, terlebih melihatnya mengeluarkan air mata, itu benar-benar membuatku ikut merasakan kepedihannya, meski aku tak tau apa itu. Lalu dengan polosnya aku pun langsung menyetujui untuk membantunya. "Iya Ri, aku pasti bakal bantuin kamu, apa pun itu, karna bagaimana pun kamu itu akan selalu menjadi jadi teman terbaik untukku, meski hubungan kita belakangan ini kurang baik, tapi yang namanya pertemanan itu memang terkadang sedikit ada pertengkaran bukan ?" Ucapku tersenyum ke arah Rian.

Rian pun lalu kembali mengangkat kepalanya, dan tersenyum kepadaku, lalu tiba-tiba saja ia pun memelukku dengan sangat erat seraya mengucapkan kata terimakasih dengan senyuman manisnya itu, yang membuat wajahku seketika memerah layaknya teko yang mulai mendidih.

Aku pun lalu menarik dua ujung bibirku lebar-lebar. "Iya Ri, sama-sama." Cetusku dengan senyum lebar kebahagiaan. Sumpah, jika aku mengingat kembali momen itu, benar-benar membuatku merasa jijik kepada diriku sendiri, ingin rasanya aku muntah di depan hadapanku yang masih mudah nan bodoh itu.