webnovel

Someone From The Past Part 2

"Eh, ini Santi kan? Kemana aja lu, San? Gw kan—"

Tulalit, tulalit, tulalit.

Anjrit, teleponnya dimatikan sepihak. Gue masih meletakkan ponsel di telinga, berharap Santi akan menjawab kembali, tapi tidak ada balasan. Suara itu jelas—Santi. Suara yang sering kali memancing cekcok tanpa henti. Setiap kata yang keluar selalu menambah bara di dalam dada. Suara yang dulu sering membuat gue malu, tapi juga bergetar saat mengenangnya.

Gue menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.

Gue coba lagi telepon dia.

Tuuuut, tuuuut, tuuuut

Tulalit, tulalit

Kali ini malah di-reject.

Gak patah semangat, gue coba telepon lagi.

Ceklek

"San, jangan di tutup dulu, gw mau ngomong ben..." gue langsung nyerocos begitu telepon berubah nada.

"Telepon yang anda tuju sedang tidak aktif atau diluar jangkauan. Silakan hubungi beberapa saat lagi."

Anjrit, lagi-lagi hasil yang sama—nihil. Gue menghela napas, gerutu keluar perlahan. "Kenapa sih ini orang?"

Sampai lima kali gue coba telepon lagi, tapi hasilnya tetap sama—nihil. Akhirnya, gue memutuskan untuk berhenti memikirkan soal si suara mirip Santi itu.

Gue kembali merebahkan diri, beralaskan jaket jelek yang sudah lusuh. Mata gue menatap langit yang cerah saat itu, awan-awan bergerak lambat, membentuk bentuk-bentuk acak. Sesekali, awan itu seperti menari-nari di angkasa, membentuk kenangan yang samar-samar dari masa lalu.

***

"Apaan sih, narik-narik gue segala?" protes gue dengan nada kesal

"Aku mau ngomong sama kamu, berdua aja," jawab Santi dengan suara serius, matanya menatap dalam seolah ingin menyampaikan sesuatu penting. 

"Gak usah pake ditarik-tarik juga dong!" sahut gue dengan nada kesal

"Iya, aku minta maaf," kata Santi dengan suara lembut.

"Maksudnya mau ngomong apa? Sampai harus berdua aja, gak bisa ngomong depan anak-anak aja?" tanya gue, merasa penasaran sekaligus masih sedikit kesal. 

"Enggak bisa. Aku mau ngomong sama kamu empat mata aja," Santi melanjutkan, kali ini suaranya lebih rendah dan mantap. 

"Ya udah ngomong aja," 

"Sebenernya aku..."

...

....

...

"Tii... dengerin gue," ucap gue sambil memegang kedua pundaknya.

"Nggak! Aku nggak mau denger." Ujar Santi sambil berusaha lepas dari pegangan tangan gue. 

"Gue minta maaf, Tii. Gue nggak bisa bohong kalau gue juga suka sama lu, tapi Tii... gue nggak mau nyakitin lu. Gue nggak mau lu jadi sakit hati," kata gue dengan suara lembut namun penuh penekanan. 

"..." 

"You deserve better, Tii. Lagian kita bisa kok jadi sahabat," tambah gue, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang semakin berat. 

"Iya, aku tahu. Tapi aku nggak bisa kalau harus cuma jadi sahabat," jawab Santi dengan suara pelan namun penuh emosi.

"Tii..." ujar gue dengan nada penuh pengertian.

"Thanks, yah," 

***

Gue menghembuskan napas panjang, melanjutkan lirihan kalimat yang terasa berat keluar dari mulut gue. "Santi, santi, lu emang kaya jelangkung... lu datang begitu aja di hati gue tanpa diundang dan pergi tanpa sempat gue antar," ucap gue pelan, suaraku terdengar serak dan penuh emosi. 

Kenangan tentang Santi kembali muncul begitu saja, membawa serta segala rasa yang pernah gue rasakan. Dulu, gue bukanlah sosok yang percaya diri. Saat masih di kelas satu SMP, tubuh gue masih pendek dan sedikit gendut, serta merasa tidak cukup baik di mata siapa pun, termasuk dirinya. Santi, sebagai ketua kelas yang cerdas dan tegas, memiliki banyak teman, dan selalu diidolakan oleh hampir seluruh siswa di sekolah. Sedangkan gue? Hanya Reka, yang kala itu masih pendiam, penuh keraguan, dan sering kali gagal mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran gue.

Entah roh halus mana yang membisiki gue saat itu, dengan berani gue mencoba menembak Santi, berharap dia bisa melihat gue sebagai seseorang yang lebih dari sekadar teman biasa. Namun, jawaban yang gue terima adalah penolakan mentah-mentah, yang menjadi sebuah motivasi untuk berubah. Setelah naik ke kelas dua SMP, gue mulai berubah menjadi sosok yang lebih percaya diri. Tubuh gue lebih terawat dan fit, serta aura yang lebih percaya diri mulai muncul. 

Tapi setelah kejadian penembakan itu, interaksi gue dan Santi menjadi seperti kucing dan anjing. Kami sering bertengkar hampir setiap hari, saling menyalahkan dan beradu argumen hanya untuk hal-hal kecil. Gue yang aslinya jail dan suka bercanda semakin menjadi setelah kepercayaan diri yang gue dapatkan. Sementara Santi yang ingin mempertahankan otoritasnya sebagai pemimpin kelas membuat segala interaksi jadi seperti medan perang kecil. Setiap percakapan selalu berujung pada ketegangan, dan setiap perdamaian yang tercipta selalu berakhir dengan pertengkaran lainnya.

Mungkin itu kenapa orang bilang Benci dan Cinta cuman dibatasi oleh benang yang sangat tipis. Ketika orang begitu cinta kepada seseorang, cinta itu menjadi benci waktu kekecewaan muncul. Dan mungkin sebaliknya terjadi di hati Santi waktu itu. Intensitas keributan gue dan Santi malah memunculkan rasa cinta di hatinya. 

Tapi kenapa di saat kekaguman gue ke Santi menghilang, dan di saat posisi gue yang waktu itu nggak sendiri lagi, dia malah dengan memaksa masuk lagi ke pikiran gue. Mengklaim sudut di otak gue, yang bahkan sampai saat ini ada Febi di hati gue, sudut itu masih jadi milik Santi di otak gue. 

Angin bertiup sepoi-sepoi, daun-daun rindang melambai-lambai perlahan, menciptakan suasana tenang yang menyenangkan. Namun, ingatan gue yang melayang jauh ke masa lalu langsung terganggu oleh suara alunan musik yang akrab di telinga. 

"Siapa sih yang ganggu orang tidur siang aja," rintih gue dalam hati, malas-malasan menanggapi gangguan tersebut.

Gue angkat ponsel tanpa melihat siapa yang menelepon terlebih dahulu, tangan gue masih terasa berat karena baru aja nyoba merem. 

"Halo, siapa?" jawab gue dengan nada malas dan sedikit jengkel. Rasa kesal karena tidur siang gue terganggu jelas terasa di nada suara gue. 

"Nii-chan, dimana sih? Jadi jemput nggak?" suara di seberang langsung terdengar. Itu suara Chika—adek tersayang gue—dan nada suaranya jelas menyiratkan rasa kesal, bahkan sedikit marah.

Anjrit! Gue baru inget kalau gue janji buat jemput Chika hari ini. Beberapa hari lalu gue bilang bakal nganterin dia ke tempat les untuk persiapan ujian nasional kelulusan SMP-nya. Gue tahu dia lagi serius-seriusnya belajar, jadi gue gak bisa seenaknya ngelupain janji gue.

"Iya, Chik, gue jadi jemput kok. Lu tunggu 15 menit ya," jawab gue buru-buru, berusaha terdengar tenang padahal kepala gue udah penuh rasa bersalah.

Gue langsung bergegas menuju parkiran motor dengan setengah berlari. Sesekali gue melirik jam di ponsel, mengutuki kebegoan gue saat itu. Sudah lebih dari 30 menit dari janji yang gue buat dengan Chika. Apalagi Chika bukan tipe yang suka menunggu. 

Untuk mencapai parkiran motor, gue harus melewati lab bahasa yang saat itu dipenuhi oleh anak-anak dari kelas lain. Karena buru-buru dan kurang fokus, tanpa sengaja gue menabrak seseorang.

"Awwwww!" jerit seorang cewek yang gue tabrak itu.

"Sorry gue—" gue berkata tergesa-gesa sambil mengangkat tangan, mencoba meminta maaf.

Shit, cewek jepang yang lucu tadi!

"Sorry, sorry! Lu jalan nggak pake mata dong?!" semprotnya dengan nada kesal. Dia menatap gue tajam, seolah-olah menunggu jawaban yang memuaskan.

"Sorry gue lagi buru—"

"Alah, alasan aja lu." Jawabnya tak peduli dengan pembelaan gue. "Minggir!" tambahnya sambil mendorong gue dengan sedikit kasar, sikut tangannya mengenai luka di perut gue.

"Aaaaaaaaaaaaaaaarrrrghhhhhh!" kali ini gue yang berteriak kesakitan. Sakitnya luar biasa, seperti pisau yang mengiris kulit gue tepat di jahitan luka perut gue..

Cewek itu langsung masuk ke dalam lab bahasa tanpa memperdulikan gue yang sedang kesakitan. Suara pintu yang tertutup keras terdengar di belakangnya, meninggalkan gue dengan rasa perih yang sulit diabaikan. Gue hanya bisa berdiri di sana, memegangi perut sambil mencoba menenangkan diri.

Nggak peduli kalau dia keturunan jepang, lucu, cantik atau apapun itu. Bahkan, kalaupun elu ternyata sepupu jauh gue pun gue nggak peduli. Rasa sakit di perut gue membuat gue berjanji ke diri gue sendiri. 'Omae wa mou shindeiru!'

Nächstes Kapitel