webnovel

A Date? Part 2

Gue mencoba tetap tenang, walaupun otak gue udah muter-muter mikirin gimana caranya bayar nanti. 

"Di restoran itu?" tanya gue, berusaha menjaga nada suara tetap santai. 

"Bukan," jawab Febi sambil senyum kecil. "Di warung sate sebelahnya." 

Gue menoleh ke arah yang dia tunjuk. Ternyata, yang dimaksud Febi adalah pedagang sate kaki lima yang mangkal di samping restoran mahal tadi. Gue hampir nggak percaya. Untung banget dia nggak milih tempat yang bikin gue langsung bangkrut. 

"Serius, nggak apa-apa nih cuma makan sate?" tanya gue memastikan, sambil tetap memarkir motor di dekat warung sate itu. 

"Serius. Lagian ini udah jadi langganan keluarga gue dari gue kecil," jawab Febi santai sambil turun dari motor.

Gue hanya bisa menghela napas lega. "Pak, biasa ya, dua porsi," kata Febi santai ke penjual sate.

Si penjual sate, seorang bapak tua dengan senyum ramah, langsung menoleh dan kelihatan sumringah. "Wah, Neng Febi! Udah lama nggak ke sini. Sehat, Neng?" katanya sambil mulai nyiapin tusukan sate.

Febi tersenyum balik. "Sehat, Pak. Iya, udah lama banget nggak mampir ke sini. Bapak apa kabar?"

"Alhamdulillah sehat, Neng. Biasa lah, jualan sate aja terus. Eh, ini Neng Febi sama siapa? Pacarnya, ya?" tanyanya sambil melirik ke arah gue.

Gue yang lagi nyari posisi nyaman duduk di bangku plastik itu langsung kaget, sementara Febi cuma ketawa kecil. "Bukan, Pak. Temen aja," jawab Febi sambil melirik gue sekilas dengan senyum yang bikin gue makin salah tingkah.

"Belum pak, masih temen," ujar gue ikut nimbrung dengan nada setengah bercanda. 

"Hahaha si aden mah bisaan sok atuh sama bapak didoain. Tapi memang jarang banget Neng Febi bawa temen cowok ke sini," tambah si Bapak sambil ngeracik bumbu kacang dengan cekatan.

"Udah ah duduk yuk," jawab Febi sedikit malu.

Ternyata Febi udah beneran akrab sama si penjual sate ini. Dan entah kenapa, suasana sederhana ini malah bikin gue merasa nyaman banget. Sate yang baru mulai dipanggang juga udah bikin aroma sedap nyebar, bikin perut gue makin keroncongan.

Sambil nungguin pesenan datang, gue nggak tahan buat nanya-nanya soal Febi. Rasa penasaran gue soal "nggak pernah dipuji cantik" itu nggak bisa gue simpan. Menurut gue, aneh banget cewek seperti Febi—yang jelas-jelas cantik luar dalam—belum pernah ada yang bilang dia cantik selain keluarganya. 

"Serius, Feb, nggak pernah ada yang bilang lu cantik? Maksud gue, kayak nggak mungkin aja," tanya gue, nyoba untuk nggak terdengar terlalu kepo. 

Febi cuma senyum tipis sambil ngeliat ke arah panggangan sate yang mulai mengeluarkan asap. "Udah deh, bahas yang lain aja," jawabnya singkat, seperti nggak mau ngebahas lebih jauh. 

Tapi gue belum nyerah. "Gue cuma penasaran aja. Maksudnya, lu tuh beneran cantik, banget malah. Gue nggak ngerti kenapa nggak ada yang sadar soal itu," gue lanjut sambil nyoba bikin nada suara gue setenang mungkin. 

Febi menghela napas pelan. "Udah ah Reka. Topik itu udah basi," katanya sambil ngambil sendok dari meja dan mulai main-main dengan sendok itu. 

Melihat reaksinya, gue sadar kalau ini mungkin topik yang sensitif buat dia. Kayaknya pengalaman masa lalunya soal body shaming waktu SD masih meninggalkan bekas yang dalam. Akhirnya, gue putusin buat nggak nge-push dia lagi soal itu. 

"Ya udah, gue ngerti. Maaf kalau ngebahas yang bikin nggak nyaman," gue bilang, sambil mencoba ganti topik obrolan. Tapi di dalam hati, gue makin penasaran. Apa sih sebenarnya yang bikin Febi kayak punya tembok tinggi soal penampilan dan pujian? 

Nggak lama kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri meja kita, membawa dua piring sate dan dua piring nasi yang masih mengepul. Dia tersenyum ramah begitu melihat Febi. 

"Neng Febi, lama nggak ke sini. Lagi sibuk ya?" sapanya sambil meletakkan piring-piring itu di meja. 

"Iya, Bu. Baru sempet sekarang. Ini mampir sekalian laper," jawab Febi sambil balas senyum. 

Si ibu kemudian melirik ke arah gue. "Wah, ini siapa, Neng? Pacarnya ya?" tanyanya sambil mengedipkan mata nakal ke arah Febi. 

Tapi Febi malah ketawa kecil. "Ih, Ibu bisa aja. Ini temen sekolah, Bu," katanya sambil menahan senyum. 

Si ibu cuma manggut-manggut dengan senyum penuh arti, lalu berlalu sambil bilang, "Ya udah, makan yang banyak ya. Nanti pesen lagi kalau kurang." 

Sate yang disajikan di meja kita itu benar-benar menggugah selera. Dagingnya empuk, bumbunya meresap hingga ke dalam, dan rasa manis gurih khas bumbu kacangnya begitu pas di lidah. Walau sederhana, tapi kualitas dan cita rasanya nggak kalah dari restoran mewah. Setiap gigitan terasa lezat, membuat kita nggak berhenti melahap porsi yang ada di depan.

Untuk ukuran seorang cewek cantik, Febi memang termasuk agak belepotan dalam urusan makan. Gue sering kali harus ngingetin dia kalau ada sambal kacang yang nempel di pinggiran bibirnya. Biasanya gue agak risih liat cewek makan kayak gitu, tapi entah kenapa setiap kali dia ngelakuin itu, gue malah ketawa geli. Kadang dia malu-malu sambil hapus sambal, tapi momen itu justru jadi lucu dan bikin suasana makin santai.

"Pak, berapa semuanya?" tanya gue ke bapak tukang satenya sambil mengeluarkan uang dari dompet.

"Jadi 20 ribu, dek," jawab bapak itu dengan senyuman ramah.

Baru saja gue akan menyerahkan uang, tiba-tiba tangan gue dihalangi oleh Feby.

"Udah, gue aja yang bayar," tawarnya dengan senyum lebar. 

Sebagai cowok yang merasa bertanggung jawab, gue langsung menolak.

"Udah, nggak usah. Gue aja," kata gue tegas.

Namun Feby tetap ngotot. "Gue yang ajak makan, jadi biar gue yang bayar."

"Udah, deh, serius. Gue aja yang bayar," gue coba meyakinkannya.

Tapi Feby tidak mau kalah. "Ya udah, bayar masing-masing aja," ujarnya dengan solusi yang cukup bijak.

Setelah membayar sate masing-masing, kami langsung berangkat. Tugas gue mengantar Febi kembali ke rumahnya sehat, selamat, lengkap tanpa kurang satu hal pun. Sepanjang perjalanan, kami terus bercerita tentang masa-masa SMP. Banyak kenangan konyol yang ternyata kita alami, membuat perjalanan terasa lebih ringan dan penuh tawa. Suara ketawanya yang khas terdengar lagi, dan entah kenapa, gue selalu menyukainya.

Tidak terasa, kami sudah sampai di depan rumahnya Febi. Dia turun dari motor dan melangkah menuju gerbang rumahnya dengan senyum lebar masih terpancar di wajahnya. Gue hanya bisa tersenyum, merasa bahwa momen ini terlalu cepat berakhir.

"Makasih buat hari ini." Ujar Febi dengan senyum paling indah yang gue liat darinya.

"Sama-sama Feb. Thanks udah diajak makan enak. Hehe," jawab gue sambil tersenyum. 

Febi mengangguk sambil memberikan senyum manisnya. "Mampir dulu?" tanyanya tiba-tiba. 

Gue sedikit ragu. "Nggak usah deh, udah malam. Nggak enak sama orang rumah kalau pulang telat." 

"Oh… ya udah. Hati-hati ya," katanya lembut. 

"Bye, Feb." 

"Bye," balasnya sambil melambaikan tangan kecilnya. 

Hari ini, gue benar-benar senang. Meskipun gue agak kesel dengan temen-temn gue yang gak ngasih tau soal tongkrongan baru, bisa jalan sama Feby rasanya lebih dari cukup. Hoki banget bisa menghabiskan malam bareng dia. Bahkan dengan segala ketidaksempurnaan, hari ini terasa sempurna di mata gue.

Nächstes Kapitel