webnovel

012. Keegoisan Shirin

"Ya, aku mau."

Setelah Kiana mengucapkan kalimat itu, wajahnya tiba-tiba merona merah, seperti baru saja menyetujui sesuatu yang luar biasa. Kiana menatap Shirin yang kini terlihat sangat penuh harap, dan sedikit malu-malu berkata, "Eh… maksudmu barusan adalah untuk berbagi makanan denganku, kan?"

Shirin tersenyum licik. "Menurutmu bagaimana? Tadi kau pasti bisa mendengar hatiku, bukan?"

"Eeh? Jadi maksudmu… kehidupan bersama, seperti yang kau sebutkan tadi… bagaimana cara kita bisa berbagi kehidupan?" Kiana berbisik malu.

Tapi Shirin tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Ia mengulurkan tangan, lembut membelai pipi Kiana, dan berkata dengan suara pelan, "Kiana, tahukah kamu? Aku hanyalah sosok yang terkurung di masa lalu, sementara kamu masih hidup di masa sekarang dan dapat melangkah menuju masa depan."

"Sebagai manusia, kamu pasti akan bertemu lebih banyak orang di masa depan. Kamu akan mengenal mereka, mencintai mereka, mungkin juga membenci mereka; mereka akan menjadi bagian dari hidupmu. Tapi aku tidak demikian. Dalam hidupku, hanya ada kamu. Masa depanku hanya berisi dirimu, dan aku ingin bersamamu hingga akhir."

"Jadi, Kiana, apakah kamu bersedia berbagi hidupmu denganku? Setidaknya sediakan satu ruang untukku dalam perjalanan hidupmu ke depan."

Kiana menatap mata Shirin yang penuh ketulusan dan perasaan yang mendalam, merasa gugup dan tak tahu harus bagaimana. Wajahnya semakin memerah karena malu.

Shirin, melihat kebingungan Kiana, tak berkata banyak lagi. Sebaliknya, ia mendekat, menempelkan wajahnya di depan Kiana dan mengulurkan tangannya yang kini tampak menyatu dengan tubuh Kiana.

Kiana merasakan sensasi hangat yang aneh, seolah ada aliran lembut yang menyatu di antara mereka, seperti menyatu dengan sebagian dirinya yang lain. Dalam hatinya, Kiana merasa semakin yakin bahwa Shirin adalah bagian dari dirinya yang tak tergantikan, dan keraguan yang sempat muncul langsung lenyap, meski rasa malunya masih ada.

"Ba-baiklah, aku setuju," ucap Kiana terbata-bata. "Di masa depan, kita takkan pernah terpisah lagi. Tapi kau juga tak boleh membuatku bingung lagi seperti ini."

Shirin tidak menjawab. Sebaliknya, tubuhnya tampak menyatu perlahan dengan tubuh Kiana, menghilang begitu saja.

"Shirin?" Kiana bertanya, agak bingung melihat Shirin tiba-tiba menghilang.

'Aku ada di sini,' suara itu terdengar dari dalam benak Kiana.

"Apa yang terjadi padamu?" tanya Kiana.

'Seperti yang kau lihat, aku kembali sepenuhnya ke dalam tubuhmu. Karena kamu dalam keadaan sadar, aku tidak bisa sepenuhnya mengendalikan tubuhmu. Aku hanya bisa merasakan apa yang kamu rasakan, sehingga makanan yang kamu makan juga bisa aku nikmati.' Shirin menjelaskan.

Bagi Shirin, mempertahankan kondisi ini sebenarnya cukup berat; menyelaraskan pancaindra tanpa mengendalikan tubuh sepenuhnya, ada kalanya membuat mereka berdua seakan menyatu. Di sisi lain, jika Shirin melepas kontrol sepenuhnya, ia akan kembali ke ruang batinnya dan terputus dari dunia luar. Ketika hanya ada Kiana di dekatnya, kondisi ini bisa dijaga, tetapi kehadiran orang lain di sekitar mereka bisa membuat Shirin mengalami emosi yang tak terkendali, menciptakan perasaan bertentangan dengan jiwa Kiana.

Kiana pun teringat dengan makanan yang sudah dipersiapkannya. Ia mengenakan sarung tangan, mengambil panci berisi sup yang dipanaskan di atas perapian, bersama peralatan makan yang dia bawa dari restoran. Setelah selesai makan, setidaknya ia bisa mengembalikan semuanya tanpa repot mencuci.

'Hati-hati, jangan sampai terluka karena panas,' suara Shirin memperingatkan dari dalam benaknya.

Setelah mendengar itu, Kiana dengan hati-hati meniup sendok berisi sup panas, lalu perlahan mencicipinya.

'Rasanya cukup kaya,' komentar Shirin.

"Kenapa? Kau tidak suka?"

'Tidak, rasanya cukup enak. Terkadang yang terkonsentrasi adalah yang terbaik.' Shirin mengingat kembali ingatan-ingatan samar tentang makanan, dimana hidangan berkuah pekat menjadi favorit banyak orang di daerah dingin.

Mendengar pujian Shirin, Kiana melanjutkan makannya dengan tenang, menikmati rasa hangat yang menyebar di tubuhnya. Sedikit demi sedikit, panci sup yang awalnya penuh kini nyaris kosong.

"Ah, kenyang sekali," ucap Kiana sambil mengusap perutnya yang kini terasa penuh.

'Terima kasih, sudah lama aku tak merasakan makanan seperti ini,' suara Shirin terdengar lembut.

"Tenang saja, kalau ada makanan enak lagi, aku pasti akan mengajakmu makan bersama."

'Kita sudah sepakat, ya.'

——

Malam semakin larut. Setelah membersihkan peralatan makan, Kiana segera menyelesaikan rutinitas malamnya dan bersiap tidur. Namun kali ini, alih-alih membungkus dirinya rapat-rapat dengan selimut, ia justru meninggalkan setengah ruang kosong di tempat tidurnya.

Kiana menoleh ke sisi tubuhnya, dan berkata, "Shirin, bisakah kamu muncul sebentar?"

"Ada apa?" Bayangan Shirin muncul di hadapannya, berbaring di sisi Kiana dan menatap mata Kiana yang terlihat dalam renungan.

"Bisakah kau menemani aku tidur malam ini?" ucap Kiana. "Dulu, Ayah selalu memelukku saat tidur, tapi sekarang Ayah sudah pergi. Tidur sendiri membuatku merasa takut."

Shirin tahu persis apa yang ditakutkan oleh Kiana. Ia takut sendirian, takut merasa kesepian, karena ia sendiri pun merasa takut akan hal itu.

"Tentu saja, aku akan selalu di sampingmu. Tidurlah dengan tenang," jawab Shirin dengan suara lembut.

Mendengar kata-kata Shirin, Kiana menutup mata, dan Shirin tetap berada di sisinya, mengawasinya hingga ia terlelap, sampai detak hati dan napas Kiana stabil dalam tidur yang dalam.

Shirin menatap posisi tidur Kiana yang menyisakan ruang kosong untuknya, dan merasa terharu, tersenyum kecil sambil bergumam, "Dasar anak bodoh, seharusnya kau tidur dengan lebih rapi agar tak kedinginan."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Shirin masuk kembali ke dalam tubuh Kiana, mengatur selimut yang menutupi tubuh Kiana, memastikan ia tertutup rapat agar tidak kedinginan.

Setelah semuanya beres, Shirin kembali menatap Kiana, seraya berpikir dalam hati:

'Andai saja hubungan kita bisa terus seperti ini, betapa indahnya.'

Namun ia sadar, suatu hari Kiana pasti akan tumbuh dewasa, cukup dewasa untuk menghadapi seluruh kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Shirin tahu, pada saat itu, hubungan mereka mungkin tidak akan lagi bisa seperti saat ini.

'Maafkan aku karena telah menyembunyikan semuanya darimu, Kiana. Aku harap kau bisa memaafkan keinginanku yang egois ini.'

Demikianlah Shirin kembali terdiam, larut dalam pikirannya sendiri, merasakan kehangatan yang ia dan Kiana bagi dalam kegelapan malam yang dingin, berdoa dalam hati agar momen ini dapat bertahan selamanya.

Nächstes Kapitel