webnovel

10. Fragmen

Sebuah pecahan diri terbentuk dari pengalaman baik maupun pengalaman buruk. Aku tidak bercanda soal hal ini karena menurutku, aku harus menggabungkan beberapa pecahan memori yang terbagi menjadi dua atau lebih dari bagian pecahan diri. Meski aku mengetahui bahwa orang hanya melihat aku dari luar tanpa melihat dari dalam.

Belum lama ini, aku dan keluarga pergi untuk liburan ke tempat tinggal saudara paling kecil dari mama. Lagi dan lagi aku masih berbohong kepada beberapa orang-orang ketika aku ditanyakan "sen/Cen kamu sekarang lagi kuliah? Atau kerja?". Sebuah pertanyaan yang sebenarnya aku sulit untuk menjelaskan dengan keadaan sesungguhnya, entah setiap bertemu dengan kerabat serta orang tua sendiri aku merasa kurang nyaman dengan alasan mereka pasti akan menanyakan sesuatu hal yang sudah jelas-jelas aku sulit untuk menceritakan tentang masalah pada diri sendiri.

Malam itu aku harus meminum obat yang aku konsumsi sebagai alternatif untuk meminimalisir anomali pada tubuh ini. Sempat ada beberapa saudara atau aku menyebutnya adik-adik sepupu bertanya-tanya apa yang aku alami sehingga aku harus meminum obat itu sendiri? Aku hanya menjawabnya dengan kenyataan bahwa aku sedang memperjuangkan kesehatan mental yang sudah terbengkalai sejak hari itu tidak lagi diperhatikan. Mungkin saudara atau adik-adik sepupu di antara mereka pasti ada yang bisa memahami tentang kasus ini. Aku berani menceritakan beberapa hal karena aku berpikir bahwa memang jika aku berbicara dengan adik-adik dan saudara lainnya meskipun aku meyakini bahwa mereka tidak ada yang 100% bisa mengerti apa yang aku maksud.

Setidaknya, aku berani mengucapkan dan menjelaskan untuk beberapa orang yang aku percaya. Mereka tidak sama sekali menghakimi apa yang aku rasakan dan mereka lebih sering mendengarkan dibandingkan menghakimi seseorang yang sedang bercerita kepadanya. Syukur aku bisa menceritakan tentang diri sendiri serta beberapa fakta bahwa aku sama sekali sudah tidak lagi mengikuti kegiatan sebagai mahasiswa yaitu perkuliahan.

Pertanyaan paling umum seringkali menjadi rasa sungkan meski aku harus menetapi sebuah kebohongan terbesar pada diri ini. "Bagaimana jika orang tua kamu mengetahui bahwa kamu sudah sakit sejak hari itu kak? Soalnya ini masalah yang jelas-jelas tidak bisa di terima dengan logika umum" begitu kata adik-adik untuk menanyakan keadaan sebenarnya tentang pengetahuan dari fakta jika aku harus memikul ini sendirian. Terdengar dan terlihat seperti ironi sangkar burung yang luas namun burung itu tidak benar-benar bisa bebas berterbangan kesana-kemari untuk menikmati kebebasan.

Hari itu tepatnya sebelum tanggal 1 Mei 2023 semua aku lalui dan memaksa penuh dengan kontrol kewarasan yang aku miliki. Meladeni semua orang bukan kebiasaan yang aku miliki baik itu keluarga sekaligus aku memilih untuk memilah mana orang yang tepat untuk aku ajak bicara. Bisa dikatakan sebagai cara aku untuk menghindari dari pertanyaan yang jelas bisa membuat satu keluarga panas dengan membahas tentang diri ini. Sebuah fakta pahit bahwa serpihan fragmen diri terpecah dengan beberapa bagian.

Malamnya aku berbicara dengan salah satu dari adik sepupu dan kami bercerita cukup panjang serta membahas juga tentang masalah diri ini yang terkadang membuat diri sendiri juga bingung lantaran memori terpisah dengan kepribadian atau pecahan kesadaran yang lain. Untungnya ketika aku pergi dari rumah kondisi kesadaran hanya terbatas sampai fase 2 tidak sampai 100% kesadaran aku hilang termakan oleh pecahan pribadi lain yang mengantikan tubuh ini sebagai boneka yang bisa diganti-ganti dengan mudahnya.

Aku dan mereka yang ada dalam diri sendiri, terpecah dari sebuah momen yang membuat lara takan bisa sembuh sampai kapan pun. Sebuah cerita dramatis dan halusinasi seperti dongeng yang aku sampaikan kepada orang-orang yang jelas hal ini sangat sulit di terima dalam nalar umum. Malam itu aku menyempatkan diri dengan salah satu kepribadian yang jelas dia adalah karakter anak-anak bernama Gio untuk bermain-main dengan adik-adik kecil dari keluarga mama.

"Kak, Gio boleh main tajos sama mereka gak?"

"Boleh tapi janji ya jangan sampai ketahuan jika kamu dan aku itu berbeda, mohon kerjasamanya"

"Iya Gio ngerti soalnya ga semua orang bisa tau dan bahkan kakak dengan mudahnya akan di olok-olok karena kekurangan kakak miliki"

"Makasih Gio, kamu boleh main sama mereka sana. Tapi ingat janji aku ya :)"

Malam itu bersama para adik sepupu dan kepribadian anak-anak yang bernama Gio bermain dengan cerianya dan untuk tahun ini Gio merasa sangat senang dengan keadaan ramai karena sudah lama dia tidak bermain dengan riangnya. Sudah cukup lama Gio tidak bermain-main dengan anak yang sepantaran dengan dirinya. Sampai kapan juga Gio tetap akan menjadi karakter anak-anak abadi dan menjadi pecahan fragmen kecil dari sebagian besar diri ini.

Oh ya, aku juga sempat berbicara kepada sepupu yang cukup aku percayai untuk membahas 8 karakter mayor pada tubuh ini. "Aa sen, kenapa Aa bisa punya 8 pecahan karakter dari satu tubuh itu? Memangnya kenapa?" Begitu juga dengan pernyataan mereka seperti ini "ya, apa rasanya ketika kepribadian lain menggantikan posisi kesadaran primer menjadi kesadaran sekunder atau lebih?" Aku hanya menjawab beberapa pernyataan serta jawaban padat untuk mereka pahami "Ya rasa dari hal ini bukan sebuah masalah yang mudah apa lagi jika menanyakan soal rasa. Jelas-jelas sebuah rasa itu sangat tidak nyaman. Bagaimana dengan kamu yang hanya memiliki 1 kesadaran lalu kamu stress? Pusingnya kerasa kan? Bagaimana kalau kamu punya lebih dari 1? Pasti lebih menyakitkan bukan?".

Sebuah cerita yang aku jelaskan apa yang terjadi sebenarnya dengan diri ini delapan dari satu raga harus aku lewatkan tiap harinya. Menjadi seorang penulis sekaligus terapi menjalankan pengobatan sambil berjalan. Waras salah satu kunci aku bisa menjaga kesatuan dari kesadaran diri.

Aku (Cen), Agnes, Gio, Arsel, Naka, Alvaro, Cahya, Kenzo adalah nama-nama pecahan diri sendiri dari satu raga menjadi delapan pecahan diri. Mereka memiliki kesadaran serta memori yang terpisah. Sempat sekali mereka menulis dengan tulisan berbeda setiap kali mereka menggantikan diri ini menjadi tulisan mereka. Sebuah hal unik dan fakta pecahan fragmen kecil menjadi satu kesadaran hingga lebih dari serpihan menjadi satu.

Sesudah tanggal 1 Mei 2023 aku pulang dari tempat tinggal saudara dari mama. Menerima sebuah pesan atau chat dari seorang teman sedang menanyakan kabar serta beberapa obrolan kita yang membuat kesadaran yang lain seperti Alvaro tidak suka dengan temanku lantaran pernyataan dari dia seperti menyepelekan masalah apa yang telah aku lalui.

"P"

"Apa?"

"Cen gw mau minta tolong, boleh gak?"

"Minta tolong apa? Jelasin secara detail atau rinci"

"Jadi gw ada proyek dan butuh helper untuk mempercepat proses instalasi internet"

"Oh ok, tapi gw ga janji bisa ikut ya. Gw juga ga terlalu bisa ngontrol diri sendiri"

"Lah bukannya kata lu, elu udah berobat?"

Seketika sebuah pertanyaan itu seperti pemicu Alvaro sedikit marah dan menggantikan posisi kesadaran aku dengan Alvaro "lu pikir kalau berobat bisa 100% sembuh?"

"Ya soalnya gw liat lu baik-baik aja selama ini sih"

"Ya kan lu cuma melihat, bukan merasakan!"

...

..

.

Di situ aku menjadi merasa tidak enak lantaran Alvaro mengambil 100% kesadaran aku untuk menulis atau membalas chat dari temanku yang menawarkan proyek instalasi internet. Mungkin ga ada salahnya jika Alvaro menulis seperti itu. Tapi aku sangat khawatir dan aku sempat bertengkar atau berdebat kecil tentang permasalahan yang baru saja Alvaro tulis kepada temanku.

"Habisnya gw ga suka banget, emang nya kita ada lebih dari 1 ini bohongan apa ya?"

"Ya, tenang aja gausah marah gitu Al.." begitulah aku menenangkan Alvaro dengan beberapa perdebatan kecil cukup aku kuasai agar dirinya tidak mengambil kontrol penuh lagi.

Akhirnya chat aku dengan kawan yang menawarkan sebuah proyek di akhiri dengan rasa cukup canggung karena kesadaran lain mengambil alih serta secara spontan menutup pembicaraan dengan kikuk.

Keesokan harinya, lagi dan lagi. Maksud aku begini.. dari sekian banyak pecahan kepribadian pagi itu aku terbangun sudah ada berdiri di depan dapur rumah yang lokasinya 5 meter dari kamar pribadi. Entah siapa yang habis menggantikan kesadaran utama, aku harus menyelidikinya. Terkadang aku sulit mencari petunjuk jika tidak ada orang atau bukti jelas tentang kepribadian yang berganti sesuai waktu yang sangat acak.

Untungnya pagi sebelum adzan subuh berkumandang Tante atau adiknya mama mengingatkan aku sedang melakukan apa barusan. Tepatnya, ketika aku sedang berada di dapur. Mencari bukti atau perihal tanpa di sadari memerlukan tenaga ekstra untuk memecahkan siapa yang telah menggantikan posisi kesadaran primer.

Menemukan bahwa Alvaro lah yang menggantikan kesadaran utama setelah aku menanyakan dan mencari bukti dari apa yang tante ku sampaikan barusan tentang aku sedang ingin memasak mie instan. Syukur aku masih bisa melihat fakta bahwa masih cukup aman untuk aku beraktivitas tanpa memori atau kesadaran utama.

Teringat dengan apa saja yang telah aku lalui selama liburan tepatnya setelah ramadhan berakhir aku berhasil menjalankan sebuah amanah dengan baik meskipun aku harus berurusan dengan banyak orang atau berinteraksi langsung dengan orang-orang sekitar.

Saat hari pertama bulan ramadhan aku melupakan salah satu hal yang harus aku konsumsi yaitu suplemen atau obat yang telah diberikan kepadaku, aku melupakan hal ini karena untuk pertama kalinya di tahun ini aku merasa lelah ketika bangun untuk sahur. Siangnya, aku terbangun dan mama mengatakan kepadaku bahwa aku sehabis keluar dan mengambil air wudhu lalu kembali ke kamar. "Kamu bukannya baru aja dari dapur buat nyalain mesin air untuk wudhu?" Jujur itu merasa aneh tentang kesadaran diri yang terpecah menjadi beberapa bagian. Meskipun aku juga beralasan tentang hal itu ketika mama bertanya kepadaku aku hanya menjawab dengan alasan "oh tadi kentut jadi mau kebelakang lagi".

Ketika satu bulan penuh untuk menunaikan ibadah di bulan ramadhan aku mendapatkan beberapa pengalaman yang jelas-jelas ini tidak ada dalam kesadaran utama. Coba bayangkan ketika kamu memiliki lebih dari 1 kesadaran dan mereka berpikir secara acak. Seberapa berisik kepala telah kamu rasakan dan sepening apa kepala itu sendiri?

Untuk apa aku berbohong kepada diri sendiri jika aku saja tidak mampu untuk bertahan dan menampung ini semua sendirian. Aku tahu, dan sadar dengan jalan apa yang aku pilih. Menjadi penulis terkenal seperti isapan jempol yang tidak masuk akal. Seorang yang sedang berusaha untuk menerima diri dan menyempurnakan sebuah kebiasaan hidup yang baik memerlukan waktu yang cukup panjang untuk aku bisa terus terang kepada dunia bahwa aku sudah tidak lagi menyembunyikan penyakit ini.

Aku hanya khawatir jika aku berubah dan seketika salah satu dari delapan kesadaran itu mengambil alih dan mengeluarkan unek-unek mereka kepada mama atau papa serta keluarga besar kalau aku benar-benar tidak lagi mengikuti kegiatan perkuliahan. Mungkin ini hanya kecemasan belaka, namun aku mencari cara bagaimana aku bisa mengumpulkan semua fragmen kecil hinggal lengkap menjadi sebuah kesadaran utuh terlebih lagi untuk kesadaran primer dapat memimpin semua kesadaran yang terpecah menjadi beberapa bagian.

Kata orang-orang yang pernah ada di dekat mereka hanya melihat aku dari luar tanpa sungguh-sungguh melihat inti dari diri sendiri. "Sejauh ini lu baik sama gw kok, ga ada yang bahaya menurut gw." Begitu perkataan sepele yang sebenarnya membuat aku jengkel. Maksudnya, hei lihat aku disini, apa yang kamu lihat dari senyuman ini nyata? Serta tertawa paling keras dari antara keramaian sungai manusia? Entah apa yang kalian lihat tanpa meyakinkan sesuatu hal yang jelas dan pasti itu sangat berat untuk aku jalani.

Kata demi kata aku tulis untuk menulis sejarah abadi nyata. Aku tulis sebuah puisi dan cerita kisah hidup untuk menjadi sebagai saksi hidup aku telah berjuang sejauh ini. Iya, sejauh perjalanan yang aku lewati. Perlu kalian ketahui, menulis juga salah satu cara aku untuk bisa menuangkan ekspresi yang jelas-jelas sudah lama mati.

Menghidupkan kembali segala rasa dan menerima diri tentang asa. Kita mengetahui bahwa hidup ini penuh dengan pertanyaan nan tak ada habisnya. Mau sampai kapan aku begini? Aku selalu takut dan belum bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup. Jujur, hanya ada rasa cemas dan takut serta depresi secara menyeluruh merasuki Sukma ku.

Berapa kata maaf yang aku harus ucapkan kepada dunia karena telah mengutuknya? Berapa banyak kalimat untuk aku bisa mengatakan fakta aku berusaha untuk menerima kenyataan bahwa aku tidak mampu untuk terus tegak dalam berdiri.

Fakta bahwa aku sangat takut, segala hal yang menyelimuti seluruh tubuh seperti kutukan yang pernah aku lalui. Entah apa perasaan ini, apakah itu sebuah doktrin? Suntik? Serpihan? Lara? Memori? Atau traumatik yang begitu dalam sehingga aku takut untuk terus maju dalam kehidupan ini?

Terapis, hanya ingin sembuh dan dimengerti itu sebuah ego yang terbentuk dari rasa takut. Berusaha pulih dari berbagai hal, meski aku harus mengorbankan pilihan hidup seperti tidak lagi mengikuti kegiatan perkuliahan. Menjadi orang yang pengecut dan menjadi pecundang adalah salah satu cara yang terkadang cukup baik untuk melarikan diri dari kenyataan.

Semua hal yang mengait seperti benang merah yang bersatu dengan serpihan serat-serat benang itu sendiri. Entah apa yang aku harus lakukan selain mengumpulkan sebuah kepingan teka-teki yang ada dalam hidup ini. Semua terasa seperti fragmen kecil yang berserakan kemana-mana.

Orang yang di sayang? Atau di tinggal sesosok yang kamu rindukan dalam hidup kamu. Kamu adalah aku, entah sampai kapan kamu tidak bisa mengikhlaskan semua hal yang telah kamu lalui. Segala rasa masih tertinggal, segala penyesalan seperti hantu yang sering menohok batin.

Aku telah melukai diri sendiri, aku juga mengkhianati diri sendiri serta orang yang ada di lingkungan ini. Terus-menerus terbayang oleh waktu, aku harus berpisah dengan banyak orang yang aku sayangi. Tepatnya salah satu orang yang berpengaruh dalam hidup ini. Beliau mengatakan bahwa aku harus terus maju menjalankan kehidupan dengan lapang dada.

***

2018, SMK - kelas 12.

Aku berkenalan dengan salah satu guru produktif dan dia salah satu guru paling di cintai oleh murid-murid nya. Termasuk aku yang sangat dekat dengan dirinya. Dia seperti sosok kakak yang selalu menasehati adiknya.

Sebut saja dia bernama Isyaf sebelum dia berpisah dengan kami dia meninggalkan sebuah buku novel favoritnya kepadaku. Jujur itu adalah hadiah yang paling istimewa dalam hidupku. Setelah mengetahui bahwa tanggal 11 September adalah tanggal kelahiran seorang Cen. Dia mungkin telat menyampaikan tentang hal itu, namun dia memberikan novel favoritnya beserta beberapa tulisan tangan yang ada di dalam buku itu.

Sebelum hari kami berpisah, aku baru kenal dengan dirinya setelah pasca magang yaitu kelas 11 semester akhir dia masuk sebagai guru sementara atau bisa dikatakan magang selama 6 bulan mungkin, aku sedikit tidak ingat jabatan apa yang dia miliki ketika masuk menjadi guru produktif multimedia.

Dia salah satu orang yang paling dekat dengan aku, bahkan dia mengetahui tentang tragedi setelah aku menjauh dengan beberapa kelompok yang ada di sekolah. Dia juga mengetahui apa yang aku derita selama hidup ini. Iya, dia yang menyemangati aku kembali ketika semua aku tinggalkan dan menjadi individu yang tidak berkelompok pasca selesai praktek kerja lapangan (PKL).

Sebelum dia berpamitan dengan kami para murid aku diberikan satu buku novel yang dia sangat suka. Aku juga masih menyimpan beberapa foto terakhir aku bertemu dengan dirinya.

https://s.id/IlustMDC (foto kami)

Ini adalah foto serta hadiah terakhir yang aku dapatkan setelah semua pengalaman pahit telah aku lalui, masih ada salah satu orang yang menjadi alasan aku terus menulis.

Dia mengatakan kepadaku "Cen kamu kalau beneran jadi penulis, terus belajar ya! Jangan pernah males buat terus menggali potensi. Kamu punya banyak bakat, aku yakin kamu bisa melewati itu semua sendirian!" itu kata-kata terakhir yang aku dengar setelah pertemuan ku dengan beliau. Dia menjadi salah satu sebab dan akibat aku bangkit setelah di khianati oleh teman sendiri.

Sempat cerita setahun setelah kami berpisah dan aku lulus dari sekolah, aku merasa terpukul keras ketika mendengar kabar bahwa Isyaf telah meninggal dunia untuk selamanya. Hari itu aku langsung menghubungi temanku untuk bisa mengantarkan aku ke tempat rumah ibunya berada.

Rasa penyesalan sempat menghantui diriku, entah apa yang aku pikirkan aku saat itu menyalahkan diri sendiri lantaran tidak pernah mengiyakan apa yang dia minta untuk bermain bersama dan menjenguk ketika dirinya masih prima dengan keadaannya. Aku juga tidak mengetahui kenapa dia tidak bicara kepadaku tentang penyakit paru-paru yang dia alami selama semasih kita sering bertemu.

Rasa kehilangan untuk berkali-kali seperti serpihan kesedihan yang mendalam. Bukan hanya keluarga, aku juga memiliki orang yang aku sayangi diluar sana.

"Coba aja gw datang ke apartemen nya untuk menjenguk nya saat itu, kenapa gw malah fokus bikin bot dan project non profit sih!". Begitu dengan penyesalan dan rasa kesal pada diri sendiri, berkali-kali aku harus kehilangan orang dan semakin dalam serta larut dalam lara dan asa yang aku rasakan.

Hati kecil berbisik untuk tetap tegar dan kembali menulis, aku sempat berhenti menulis dan menghilang dari peradaban komunitas penulis Indonesia. Aku hanya menulis sebuah tulisan harian atau bulanan tentang apa yang aku rasakan. Semua terbentuk dari pecahan fragmen kecil menjadi sebuah jati diri yang baru.

Rindu aku dengan mereka yang telah meninggal dari dunia ini, senyuman kalian akan aku kenang sampai akhir nafasku terhembus. Selayak angin meniup duka dan lara dalam batin. Seperti luka yang dalam membuat aku terus mengingatnya. Rasa penyesalan dan cinta kepada manusia seperti tidak meyakinkan.

Sebenarnya apa yang Tuhan inginkan kepadaku? Mengapa aku harus terus-menerus mendapatkan ujian begitu berat? Aku mampu? Iya, aku bisa melewatinya tapi kenapa? Begitu banyak pertanyaan paradox dan cacat logika yang aku perbuat.

Denial akan kenyataan seperti embusan api kecil yang membuat kulit melepuh dan melebur. Entah rasa apa yang aku rasakan. Nan hidup serta mati, semua seperti alur cerita musiman yang terjadi.

Perasaanku, kepada dunia ini sebenarnya seperti apa? Isyaf, dana, dan lainnya telah pergi. Bahkan keluarga yang aku sayang juga telah tidak ada lagi. Tidak ada sautan hangat dari mereka. Sepi, dan terpecah menjadi beberapa bagian.

Mengapa? Mengapa aku harus membelah diri menjadi beberapa bagian? Itu secara alami mereka ada dalam tubuh ini demi bisa mengingatkan aku harus mencintai diri sendiri.

***

2023, sekarang.

Semua dari cerita faktual yang ada, terasa seperti hal yang berlalu ya? Kisah percintaan serta persahabatan harus kandas begitu saja. Rasa terasa telah mati, ekspresi diri sudah tak lagi bersinar. Hati yang mati menjadi beku. Nafas terakhir mereka telah menghembuskan nya.

Sekarang aku sadar, aku harus terus menulis. Entah apa pun itu halangannya. Kecemasan, depresi, dan pecahan fragmen diri. Aku harus bisa mengatasinya. Membentuk sebuah identitas kokoh walau hanya dari percikan sekecil zat bernama atom.

Saat ini aku sedang bermain teka-teki yang mungkin sedikit lagi rampung, entah bagian mana yang masih belum tersisa dari pecahan diri? Entah apa itu, aku terus mencari fragmen yang hilang dalam diri sendiri.

Jujur saja, ketika aku kehilangan materi seperti uang, ku hanya kehilangan sesuatu. Tapi ketika kesehatan mulai memudar, aku telah menghilangkan sesuatu. Tetapi jika aku kehilangan diri sendiri, aku kehilangan segalanya dalam hidup itu sendiri.

Betapa sampahnya aku dikala itu, perjuangan diri dan menerima semua pengalaman cerita. Entah apa yang harus aku lakukan, mungkin aku bisa menghadapi

Nächstes Kapitel