webnovel

Mika's Ex?

Kampus

Author POV

Anika tersenyum kecil, memori di kepalanya memutar kejadian kemarin. Dia tak menyangka semuanya akan berjalan dengan baik dan secepat itu. Sambutan yang mereka berikan berhasil membuat syok keluarga Hilmar.

"Lagi seneng ya?"

Anika menggeleng spontan, melihat Satya melahap es krim cokelat. Anika terkikik geli saat melihat sisa es krim di sudut bibir Satya, yang tak disadari pemuda tersebut.

"Kenapa ketawa?" ucap Satya, merasa Anika merahasiakan sesuatu.

Anika mengulurkan tangan, mengusap es krim tersebut pelan. 

"Makannya jangan kayak anak kecil," ucap Anika setengah berbisik.

Yang tak Anika sadari, tubuh Satya spontan menegang akibat perlakuannya tadi. Bukankah kalau di film-film, justru lelaki yang melakukan hal seperti itu? Satya menatap Anika, tak percaya. Percaya atau tidak, hatinya melambung dan jantungnya ingin meledak.

Anika menaikkan alis saat menyadari Satya menatapnya terus-terusan. Merasa jengah Anika menyikut perut Satya. "Kenapa sih?"

Perhatian ekstra Anika barusan membuat Satya semakin menyayanginya. Ditambah lagi Anika menempel terus di sampingnya.

"Satya."

Anika dan Satya sama-sama kaget mendengar panggilan itu. Anika melirik Satya, dan pemuda itu melakukan hal yang sama pada Anika.

Tina.

Anika menahan napas saat gadis itu mendekati Satya, menarik tangan Satya manja, membuat Satya berdiri.

Anika menghela napas berat. Satya selalu saja seperti itu, tak bisa menentukan dengan siapa dia lebih nyaman. Bukan apa-apa. Lama-lama Anika jenuh dengan sikap abu-abu Satya.

Oh! Masih ada yang membuat Anika menghela napas. Kehadiran gadis yang menemani Tina: Mika. Dia berdiri agak jauh, terlihat tegang saat berpandangan dengan Anika.

Anika terus menatap tajam Mika. Siapa sebenarnya mantan pacar Mika yang ada di antara keempat temannya? Dia terus berpikir. Bukankah kejadiannya sudah lama? Berarti lelaki itu pernah tinggal di Bali?

Anika mengalihkan pandangan ke arah Tina dan Satya yang sepertinya sudah selesai bicara. Satya berjalan ke arah Anika, sedangkan Tina berjalan ke arah Mika. Anika kembali menghela napas. Dia tak suka Satya masih berhubungan dengan Tina.

Itukah yang dinamakan cemburu?

"Yuk ke kelas," ajak Satya pada Anika.

Tak adakah keinginan Satya untuk menceritakan apa yang mereka bicarakan tadi?

Anika kaget saat menyadari ada sesuatu di tangan Satya. Kotak makanan. Dia tahu pasti siapa yang membawakan bekal itu. Dia kembali menghela napas, lalu mengangguk. Mencoba bersabar dan tak mau peduli dengan situasi tersebut.

Terserah. Aku tak mau peduli, vonis Anika seketika.

***

Anika menatap cuek pada Tina yang menanti di luar kelas. Sepertinya gadis itu tengah menunggu Satya pulang. Lalu dia mengalihkan pandangan ke arah Satya. Tampaknya pemuda itu belum menyadari kehadiran Tina. 

Prof Hanna yang mengajar financial segera meninggalkan kelas begitu bel berbunyi. Kelas menjadi riuh seketika saat para mahasiswa bergegas keluar kelas.

Anika memandang Rangga yang langsung menuju tempat Gwen, membisikkan sesuatu sehingga membuat tawa Gwen pecah. Keduanya tertawa bersama. Lukas dan Devan menyusul Rangga. 

Mereka seperti membicarakan sesuatu, yang entah kenapa Anika tak berminat mencari tahu.

Gwen menghampiri Anika, menarik tangannya agar berdiri, kemudian berkata, "Kamu tidak ada acara kan sekarang? Ikut nonton yuk," ajaknya dengan wajah ceria. 

"Bukannya kamu mau kencan? Kenapa nontonnya rame-rame?" tanya Anika.

"Siapa yang kencan? Ayolah, Anika, kebetulan Devan dapat golden ticket," ujar Gwen menarik-narik baju Anika pada bagian bahu, persis anak kecil yang minta dibelikan boneka.

Anika mengangguk. Dia tak punya kegiatan apa-apa karena Om Sultah juga masih di Bali untuk menyelidiki sesuatu.

Gwen menggandeng Anika menuju Lukas, Devan, dan Rangga. Devan tertawa renyah saat Anika bergabung. "Wajahmu sudah tidak merah lagi," goda Devan.

Anika spontan mencubit perut Devan, membuat lelaki itu meringis kesakitan hingga tawa Lukas dan Rangga meluncur meledak-ledak.

"Rasain!" ucap Lukas di sela tawa.

"Sorry!" Devan menyerah.

"Kalian semua mau ke mana?"

Semua langsung membalikkan badan. Satya berdiri menyandang ransel.

"Mau nonton, kebetulan ada golden ticket nih," jelas Rangga.

Satya hanya meng-oh-kan, kemudian keluar kelas tanpa menghiraukan Anika yang menatapnya pahit.

"Dia tidak ikut?" tanya Anika.

Devan menggeleng. "Satya mau nemenin Tina. Entah mau ke mana."

Anika ber-oh singkat, kemudian mengikuti langkah teman-temannya. Dia melihat Satya dan Tina berjalan bersama di depannya. 

Satya bahkan tak memandangnya sedetik pun tadi. Anika merasa diabaikan, seolah Satya tak pernah mengucapkan kata sayang kepadanya.

Anika mengembuskan napas saat melihat Satya membukakan pintu bagi Tina, lalu mobilnya menghilang dari parkiran BINUS. Dia menggeleng pelan, berusaha mengerti kondisi Satya yang sedang bimbang.

"Kita have fun aja sekarang. Tidak ada Satya bukan berarti kamu tidak mau pergi bareng kita, kan?"

Anika kaget mendengar perkataan itu. Devan tersenyum lebar padanya. 

Anika mengangguk. Ya, dia masih punya banyak teman, walaupun tak ada Satya.

Mobil yang dikendarai Rangga melaju, membelah jalanan Jakarta. Anika menatap ke luar jendela, sendu. 

Kapan terakhir kali dia selemah itu? Ah, atau justru… kuat?

***

Anika POV

Aku mengunyah spageti pelan-pelan. Setelah selesai nonton dengan golden ticket yang didapatkan Devan, kini kami beralih pada food court di lantai paling atas mall itu karena belum makan sejak pulang kuliah. Aku baru tahu arti golden ticket yang sebenarnya adalah bisa nonton gratis. Walaupun golden ticket-nya hanya satu, Devan boleh mengajak lima teman. 

Aku menelan ludah saat memperhatikan Rangga dan Gwen yang tertawa-tawa kecil. Ah, kenapa aku sering sekali memperhatikan pasangan itu? Tadi juga, saat nonton di bioskop, di sebelahku pasangan yang lebih tua dariku menggamit lengan pacarnya dengan mesra. 

Aku mengalihkan pandangan pada spageti. Kalau saja Satya dan Tina tidak jalan bersama, pasti yang sekarang duduk di sampingku adalah Satya. Aku memaki diriku. Kenapa aku harus terus membayangkan lelaki itu? Aku sudah tak peduli!

Masih ada lagi yang mengganggu pikiranku. Sejak kejadian di Bali, aku juga baru tahu kalau Tina adalah sepupunya Mika, yang secara tidak langsung berarti Tina juga salah satu kerabatku.

Aku jadi teringat pada sosok cinta pertama Mika, mantan pacar yang kemungkinan besar ada di antara ketiga pemuda di samping dan depanku ini.

"Hhm…" Aku berdeham, mengalihkan perhatian.

Devan yang sedang menikmati milk shake menatapku dengan pandangan tak mengerti. "Apa?"

Respons Devan membuatku teringat sesuatu. Bukankah dulu Devan bilang bahwa dia pernah… 

"Kamu pernah tinggal di Bali ya?" tanyaku.

Devan mengangguk. "Iya. Kenapa?"

Nana

Aku mengangguk. "Dulu sekolah di SMP mana?"

Devan memandang Rangga dan Lukas bergantian, tak mengerti. 

"Di SMP 25, tapi gue pindahan kelas 8," jelas Devan.

Aku mengangguk, seperti menemukan sesuatu. Tak salah lagi, cinta pertama Mika pasti Devan, pikirku diam-diam.

"Memang kenapa, Anika?" Lukas mulai membuka mulut.

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, cuma nanya. Aku kan orang Bali juga."

Lukas terkekeh. "Devan sih labelnya aja tinggal di Bali, tapi sama sekali nggak tahu Bali. Kelas 8 pindah, eh pas kelulusan pindah lagi," terang Lukas.

Aku menatap Lukas bingung. Dari mana dia tahu semua itu?

"Waktu pertama kali gue ketemu dia di kelas, gayanya cupu abis. Aku tahu dia bukan anak kampung, tapi gayanya itu lho. Norak!" Lukas bercerita diselingi tawa, yang juga mengundang tawa Rangga dan Gwen.

Aku menatap Lukas tak mengerti. "Kok kamu tahu?"

Devan mendengus kesal, tak terima penilaian Lukas. "Waktu itu aku pindahnya ke kelas Lukas. nggak tahu Lukas juga orang Bali?"

Lukas menahan tangan Devan yang ingin menjitak kepalanya, kemudian tertawa. "Yoi, 14 tahun aku besar di Bali."

APA?

***

Aku menggigit bibir bawah, mengingat-ingat pembicaraannya tadi sore bersama Lukas dan Devan. Jadi mereka berdua sama-sama dari Bali? Lalu siapa yang sebenarnya menjadi masa lalu Mika?

Aku membuka diary Mika, membaca sekali lagi curhatan jatuh cinta. Mika hanya sesekali mengatakan rindu pada sosok "kamu" yang dia nyatakan sebagai pacarnya itu. Dia tak menerangkan lebih rinci siapa orang tersebut.

Jadi mana yang benar? Lukas atau Devan? Siapa dari keduanya yang menghadiahkan pajangan kuda?

Anika menghela napas. Siapa sebenarnya mantan Mika yang sangat dia sayangi itu.

To Be Continued

Nächstes Kapitel