Wardana's Office
Ruby melangkah kecil ke ruangan yang merupakan bagian dari sebuah cafe yang baru resmi dibuka untuk tempat para eksekutif menikmati brunch.
Ruby tersenyum lebar. Sejak tadi yang ada di pikirannya hanya apa saja makanan brunch yang akan ia nikmati sambil mendengar klien barunya diskusi mengenai kontrak. Klien dari Ruby's Store, lebih tepatnya. Beberapa hari yang lalu tokonya itu dipilih menjadi sponsor dan Ruby sendiri yang akan menjadi brand ambassador dari sebuah resort. Gwen tidak ikut menemaninya kali ini. Begitu pula dengan Akram. Yang pasti, Ruby senang bukan kepalang karena tidak akan ada yang mencerewetinya jika ia makan berlebihan.
Klien kali ini ingin membahas secara personal image yang harus ditunjukkan Ruby. Ruby melirik sekilas jam tangannya. Janji bertemu dengan pihak klien masih lima menit lagi. Ia sudah tidak sabar untuk memulai meeting kali ini karena ia ingin segera mengenyangkan perutnya yang tadi pagi hanya diisi yogurt.
Seorang pelayan wanita berpakaian serba hitam menghampirinya sambil tersenyum lebar. "Nona Ruby sudah ditunggu. Mari ikut dengan saya," pinta pelayan itu dengan sangat ramah.
Rasa bangga muncul dalam dada Ruby. Dengan dagu terangkat tinggi, ia melangkah ringan di belakang pelayan itu. Melewati deretan meja yang ditata menarik.
Ruby melihat sosok yang beberapa bulan lalu meninggalkan kesan menjengkelkan dalam benaknya. Lukas. Masih dengan wajah tampan dan senyum maut andalannya, dia duduk di tengah ruangan dan menatap lurus padanya.
Ruby tercengang ketika si pelayan itu berhenti di depan meja Lukas. Ia memandang ke sekeliling Lukas, yang duduk sendirian di meja makan dengan dua kursi. Tidak terlihat ada manusia lain. Alarm Ruby seakan berbunyi nyaring di telinganya.
Pelayan itu tersenyum manis padanya. Ruby terdiam menatapnya dengan wajah 'jangan katakan dia orang yang sudah menungguku'. Si pelayan tampak heran, kemudian mengalihkan pandangan ke Lukas lalu menyapanya singkat sebelum pergi.
"Apa-apaan ini?" Ruby menatap kesal Lukas sambil berkacak pinggang.
"Duduk dulu! Baru datang sudah marah-marah." Lukas tersenyum lebar sambil bersandar. Melihat Ruby yang masih bergeming, Lukas berdiri, menghampiri dan berusaha menarik tangan Ruby ke kursi kosong di depannya.
Runy mengelak, masih tetap berdiri dan menatap tajam Lukas. Sementara Lukas mulai memandangi tubuh Ruby dengan tatapan kurang ajar yang ia sengaja. Kemudian dilihatnya Ruby yang sudah melotot marah dengan bibir mengerut. Tepat seperti dugaannya, Ruby tidak memerlukan waktu lebih lama untuk duduk.
"Cepat katakan apa maksud semua ini?" tuntut Ruby begitu ia duduk.
Lukas berjalan perlahan ke kursinya. Ia sengaja mengulur waktu dengan meraih gelas kopi dan menyesapnya dengan amat perlahan. Membiarkan Ruby semakin kesal.
"Sudah! Aku pergi saja kalau begitu." Ruby sudah setengah berdiri sebelum Lukas dengan cepat menangkap tangannya.
"Kita sudah terikat kontrak. Apa begini sikapmu ke semua klien? Sangat tidak profesionnal."
Mulut Ruby ternganga tidak percaya dengan pendengarannya. Tanpa sadar ia sudah kembali duduk.
"Kakakmu sudah menandatangi kontrak selama satu tahun untuk menjadi kamu menjadi model kami. Apakah kamu berniat melanggar isi kontrak yang sudah kami sepakati?"
Ruby teringat, tidak ada nama Lukas di dalam kontrak kontrak itu. "Jangan bilang kamu yang punya hmmm... W..."
"W Resort. Aku hanya punya bagian kecil. W Resort itu kerja sama papaku dan beberapa teman seprofesinya." jawab Lukas dengan tak acuh. "Jangan besar kepala dulu. Bukan aku yang sengaja mengontrakmu. Kakakku ingin memperbaiki hubungannya dengan kakakmu, ini adalah salah satu caranya dengan mewujudkan impian adik kecilnya menjadi seorang mode. Lalu bagaimana aku bisa menolak? Aku juga tidak begitu tertarik sama kamu. Masih banyak model-model profesionnal yang lebih cantik daripada kamu." Lukas mencoba mengalihkan perhatian Ruby, saat dia terlihat masih tidak percaya. "Sebelum kita mulai pembicaraan tentang konsep kamu sebagai ikon, mungkin kita bisa mulai..."
"Tidak bisa dibatalkan, ya?"
"Apa?" Lukas terkejut mendengar pertanyaan Ruby.
"Maksudku apa kontrak itu tidak bisa dibatalkan? Kan pembukaan tempat kalian masih lama. Masih ada waktu untuk mencari pengganti yang lebih cocok. Mungkin sebenarnya resort ini tidak sesuai dengan image-ku yang hanya gadis desa." Ruby mencoba menjelaskan, sementara ia mencium aroma makanan entah dari mana.
"Bagaimana mungkin dibatalkan? Aku dan kakakmu sudah tanda tangan kontrak kerja. Kamu mau membatalkan sepihak? Aku bisa mengajukan tuntutan!"
Ruby yang masih fokus dengan aroma itu tidak menghiraukan Lukas. Tapi untunglah, ia masih dapat mengontrol rasa penasarannya pada makanan itu. "Bukan, bukan. Aku bukan berniat membatalkan sepihak. Hanya mengusulkan agar kamu dan perusahaanmu berpikir ulang..." Ruby menghentikan kalimatnya lalu tanpa sadar hidungnya mengendus-endus sambil menoleh ke kanan-kiri. "Hmmm... omong-omong ini bau apa, ya?"
Ruby tidak menyadari perubahan topik pembicaraan karenanya sehingga membuat Lukas bingung.
"Bau apa?" Lukas melongo melihat Ruby yang masih menoleh ke kanan-kiri, mencari asal bau yang tercium hidungnya. Kemudian Ruby menoleh ke belakang dan mendapati meja prasmanan. Seorang pelayan sedang membawa nampan dan meletakkan sesuatu ke piring saji di antara tataan dessert lainnya.
"Seperti bau strawbeery tart, ya?" tanya Ruby sambil menajamkan pandangannya ke arah piring saji yang diisi pelayan. "Apa cheese cake, ya?"
Lukas menatap bingung Ruby yang masih terpaku ke meja prasmanan. Lukas segera melambaikan tangan ke arah pelayan yang baru saja menyelesaikan tugasnya itu. Ruby hanya memandangi sampai si pelayan tiba di meja mereka.
"Apa yang kau letakkan di sana?" tanya Lukas sambil menunjuk ke arah meja prasmanan.
"Jelly tart, Tuan." si pelayan memandang Lukas dan Ruby bergantian dengan senyum sopannya. Lalu menunduk sedikit ke arah Lukas, "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Tolong bawakan satu slice untuk Ruby," ucap Lukas dengan nada kesal. Ia menyandarkan tubuh kembali. Karakternya memang gampang naik darah. Ia kesal saat Ruby mengusulkan untuk membatalkan kontrak mereka. Ia hanya berniat meminta maaf atas segala kesalahannya waktu itu. Namun, Ruby benar-benar keras kepala. Belum pernah ada wanita yang bersikap seperti ini padanya.
"Bisa sekalian bawakan cupcake?" Ruby dengan cepat menambahkan, membuat Lukas sedikit terkejut.
"Bisa." Si Pelayan mengangguk sopan. "Ada lagi, Nona?"
Ruby langsung tersenyum super lebar. "Sekalian strawberry scones, ya?" tambah Ruby malu-malu. "Tadi aku lihat ada bapak-bapak di sebelah sana makan strawberry scone." tangannya menunjuk meja pengunjung yang tadi ia lewati.
"Oh maaf. Untuk strawberry scone, itu adalah potongan terakhir."
"Suruh chef buatkan lagi untuk Ruby!" perintah Lukas cepat sebelum pelayan itu kembali ke dapur. Membuat Ruby ternganga. Ia tidak percaya Lukas akan menyuruh chef-nya hanya demi mengabulkan keinginannya.
Melihat Ruby yang masih membeku, Lukas menjadi serba salah. Ia mengamati wajah Ruby yang masih menatapnya, dengan bengong. Menatap mata bulat Ruby dengan pipinya yang merah, tiba-tiba membuat jantungnya berdegup kencang.
"Te-terima kasih...." ucap Ruby pelan dan Lukas membalasnya dengan anggukan. Mata Ruby yang berbinar membuat Lukas terasa seperti meleleh saat itu juga.
Sambil berpura-pura mendesah kesal, Lukas mencoba merayu Ruby. "Nanti di salah satu iklan kami atau photoshoot, mungkin kamu bisa berpose dengan berbagai dessert manis itu."
"Aku dengan berbagai dessert?" Ruby terbelalak. Senyumnya langsung merekah, sangat tergoda dengan tawaran Lukas. "Benar-benar ide brilian!"
Lukas merasa Ruby sudah melupakan niatnya untuk membatalkan kontrak. Sebelum Ruby teringat kembali kejadian beberapa bulan malam itu, Lukas terus mengajaknya berdiskusi.
"W Resort akan memberikan full treatment untuk kamu selama menjadi model kami. Selain itu, kamu bisa menikmati semua properti yang nanti akan kami sediakan selama masa kontrak." Lukas mencondongkan tubuh kemudian berbisik "seperti dessert dan makanan lainnya, semua termasuk fasilitas yang bisa kamu nikmati."
Kedua bola mata Ruby seakan nyaris keluar. "Tidak ada model lain yang tepat selain aku. Oh iya, memangnya W Resort tidak ada acara pameran atau bazzar dessert, ya?"
Lukas tersenyum senang mendepati Ruby yang mulai bersemangat. Ia kembali bersandar sambil melipat tangannya di depan dada. "Itu yang akan kita bicarakan sambil brunch nanti. Kamu mau tambah pesanan?"
"Tidak. Sudah cukup."
To Be Continued