Kampus
Anika POV
Siapa sebenarnya yang memperlakukan Gwen seperti itu? aku terus memikirkannya sampai di kampus.
Kakiku menuntun ke ruang olahraga yang berada di tingkat paling tinggi di kampus. Aku tak tahu apa yang membawaku ke pinggir gedung olahraga, berjalan begitu saja tanpa berpikir.
Aku tak berniat bunuh diri lagi, kan?
Aku berbalik, berniat untuk melihat Satya yang pasti berada di lapangan basket untuk mempersiapkan latihan dengan kawan-kawannya. Tapi sesuatu membuatku berhenti melangkah.
Dengan gerakan cepat aku berjalan menuju pagar pembatas ruang olahraga. Langit sangat biru, tak ada awan hitam sedikit pun. Awan cerah mengumpul di tepi.
Ini belum senja, baru pukul empat lewat beberapa menit. Hembusan angin mengurai rambutku hingga beterbangan kecil, membuatku nyaman.
Aku bertanya-tanya, kapan terakhir kali aku merasakan suasana senyaman ini?
Aku merentangkan kedua tangan. Hembusan angin semakin kencang, sambil berjinjit sedikit.
"ANIKA!!"
Seseorang menghardikku keras.
***
Satya POV
Aku mengelap keringat yang terus meluncur akibat latihan basket.
Aku bermain tiga pertandingan yang membuatku kelaparan, ini sebagai pelampiasan kekesalanku melihat perbuatan Rangga.
Lelahnya luar biasa. Setelah memberesi handuk, aku segera
membawa tas beranjak dari lapangan basket indoor di lantai dua.
Lapangan basket outdoor sedang direnovasi. Entah apa yang
direnovasi, Aku tak terlalu memikirkan. Yang aku tahu anggotanya
tidak boleh berlatih di sana selama sebulan itu.
Ckckck… kenapa renovasi harus sebegitu lama?
"Sat, mau ke mana?"
Aku berbalik, melihat Devan mengikat tali sepatunya, tak jauh
dari tempatnya berdiri.
Aku melambai. "Jam enam aku acara, sekarang
mau tidur dulu," jawabnya, yang dibalas anggukan Devan.
Aku tak menggunakan fasilitas lift untuk mencapai puncak tertinggi gedung kampus. Aku memilih menaiki tangga. Besok failed
anniversary-ku bersama Tina. Tak terasa sudah dua tahun aku dan
gadis itu tak berhubungan khusus lagi.
Aku masih mengingat jelas bagaimana aku meminta Tina
menjadi pacarku. Bagaimana aku dan Tina melewati masa transisi.
Dan… dan bagaimana Tina selingkuh, tapi aku masih bisa memaafkannya.
Sampai sekarang gadis itu masih ada dalam pikiranku. Cinta
pertamaku.
Tapi bagi sebagian orang, mengingat cinta pertama hanya
sekadar tanda terima kasih pada si mantan karena telah mengajarkan cinta. Bahkan menurut sebagian orang, cinta pertama tak perlu terlalu diperjuangkan.
Begitulah pikiranku. Masih labil. Aku belum bisa kembali ke
pangkuan gadis itu.
Hatinya masih belum menerima diduakan. Tapi aku juga tak bisa
hidup tanpa kabar dari Tina. Egoiskah aku? Membiarkan Tina
menangis terus-terusan di depannya?
Bayangan Tina mengabur seketika saat mataku menangkap
sesuatu.
"ANIKA!!" hardikku keras saat mendapati gadis itu merentangkan tangan lebar-lebar, seperti berniat menjatuhkan diri dari ketinggian gedung.
To Be Continued