Kampus
Anika POV
"Kenapa kamu belum makan?"
Aku menoleh ke kanan, terlihat Satya melahap burger isi keju dan mayones dengan daging sapi panggang.
Lagi-lagi aku menghela napas.
"Wajahmu mendung lagi. Mirip langit musim dingin," tutur Satya di sela-sela makan.
Aku menautkan kedua alis, tak mengerti.
Satya dengan santai menyeruput jus jeruk, melirikku yang masih terpaku. "Walaupun ada matahari, hawanya masih dingin."
Aku berdecak. "Aku tidak mengerti."
Satya tersenyum. "Hanya pencinta langit sepertiku yang akan paham."
Aku diam. Kamu hanya makan berdua. Iya, akhir-akhir ini aku merasa dikucilkan Devan, Rangga, Lukas, dan Gwen. Entah apa tujuan sikap mereka itu. Aku tidak mengerti.
Sejatinya apa yang aku alami bukanlah apa yang dia prediksi.
Aku sedikit kewalahan, benar. Ditambah lagi dengan perasaan baru, ah perasaan yang baru muncul dari hatiku pada pemuda di sampingku ini.
Aku tak ingin menyimpulkan lebih awal. Aku tidak mengerti kondisi badanku yang aneh saat bersentuhan dengan Satya. Oh, tidak. Itu bukan semacam genggaman atau pelukan. Kadang kala, saat aku berjalan, kulitku dan kulit Satya tak sengaja bersentuhan.
Dan itu memberikan efek khusus pada diriku.
Aku menggeleng. Tujuanku datang ke Jakarta bukanlah untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan perasaan. Aku harus secepatnya belajar secara otodidak mengenai perusahan dan bisnis. Setelah itu aku akan melancarkan rencana untuk.... Ah, sepertinya aku harus belajar lebih jahat sedikit lagi. Agar nanti saat tiba waktunya, aku tak kewalahan.
Aku harus mematikan perasaan bersalah.
Aku mengangkat alis saat melihat Doni berlari terburu-buru ke arah mereka. Bahkan belum sempat mengatur napas, Doni berkata tersengal-sengal, "Satya, Tina jatuh saat main basket, di ruang kesehatan sekarang."
Seketika burger di mulut Satya langsung tertelan, membuat pemuda itu tersedak, dan mencari air.
Aku langsung menyodorkan air kemasan yang memang ada di sebelah kiriku. Aku tertegun. Tina? Jatuh?
"Serius?!" teriak Satya, berdiri seketika, membuatku mengejang karena kaget.
Doni hanya mengangguk, lalu berbalik arah, sangat khawatir, diiringi langkah Satya yang ikut meninggalkan kantin.
Diam-diam aku menatap punggung Satya yang menjauh. Ada yang mengentak di hatinya. Saat nama Tina disebut, aku merasa diriku langsung dilupakan.
Ah, itu bukan cemburu, tapi sakit hati. Aku menggeleng. Aku tak harus sakit hati, kan?
Memangnya kenapa kalau Satya menganggap Tina yang sedang luka sebagai prioritasnya?
Tak ada yang salah, kan?
Tapi kenapa aku ingin menangis?
To Be Continued