webnovel

Boneka, dan Harga Diri Wanita

Di dalam ruangan yang redup, suara rintihan terdengar diiringi oleh gesekan besi yang nyaring mengelilingi sudut sempit itu. Hanya ada beberapa lampu penerang di langit-langit, namun sama sekali tak menutupi pandangan Sandrone ketika perempuan itu sedang menguliti kulit manusia yang sedang dalam pengaruh obat-obatan terlarang buatan Dokter Dottore. Selama ia melakukan eksperimen, Sandrone menyalakan lagu klasik untuk menemani hari-hari sepinya, gumaman kecilnya itu menandakan bahwa dirinya sedang fokus, tak peduli gumpalan darah atau saliva saat manusia-manusia tak berdaya itu mencaci maki dirinya, Sandrone tetap melakukan eksperimennya dengan tenang.

"Sabar, ya? Kalau bergerak, nanti kamu makin kesakitan," ujar Sandrone sambil lembut.

Satu persatu nyawa manusia tak berdosa direnggut oleh putri bungsu Harbingers tersebut, ia sengaja melakukan eksperimen ini untuk membuat robot yang tampak seperti manusia pada umumnya. Sejauh ini Sandrone baru bisa membuat 3 robot dengan sempurna, perlu waktu kurang lebih 2 tahun untuk menyelesaikan ketiga benda itu sebelum dipasarkan ke Dunia Bawah.

Suara ketukan pintu mulai terdengar, layaknya besi sedang memukul kayu, bunyi engsel berkarat itu terbuka hingga menunjukkan seorang perempuan yang sedang membawakan makan malamnya.

"Waktunya makan malam, Princess." ujar perempuan itu terbata-bata.

Sandrone menoleh ke arahnya sambil tersenyum, ia menghentikan pekerjaannya lalu menyambut asistennya dengan wajah yang riang sembari menyeka keringat dan darah di sekitar wajah manis perempuan bengis itu.

"Terima kasih banyak, Katheryne." jawabnya sembari mengambil sandwich yang terletak di atas nampan.

"Apakah masih ada yang bisa saya bantu?"

Melihat wajah Katheryne seperti tak berekspresi membuat Sandrone tersenyum, aroma besi yang dilapisi oleh kulit manusia justru membuat birahinya naik. Sandrone mengelus lembut wajah Katheryne lalu memasukkan kedua jarinya ke dalam mulut perempuan itu.

"Apakah kamu masih bersedia membantuku?" goda Sandrone sambil menggigit bibir bagian bawahnya.

Katheryne sontak mengangguk tanpa ragu, memang dia sengaja dibuat untuk memenuhi fetish aneh Sandrone, menjadi boneka seksnya untuk memenuhi birahi perempuan bersurai coklat tersebut.

Tangan kiri Sandrone turun perlahan ke arah kemaluan Katheryne, ia mengusap kulit robot itu dengan lembut sesekali mendesah karena fantasinya. Sandrone melucuti pakaian Katheryne sampai ia tak lagi ditutupi oleh apa pun. Tubuh robot itu terlihat sempurna di mata Sandrone, setidaknya dalam pikirannya seperti itu. Sandrone menempelkan wajahnya di bekas jahitan kulit di sekitar tubuh Katheryne lalu menjilatinya penuh nafsu.

Katheryne hanya mengikuti perintah sang pemilik, suara desahan anehnya karena ia adalah sebuah robot tak sedikit pun membuat Sandrone gundah, ia mulai meremas bagian dada Katheryne dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya sibuk menusuk bagian kemaluan robot buatannya.

"Saya-Saya-Saya tidak bisa menahannya lagi," ujar Katheryne terbata-bata.

"Tahan dulu, saya belum ngapa-ngapain!" sentak Sandrone.

Perempuan bersurai coklat itu mendorong robotnya hingga terjatuh, ia membuka pakaiannya satu persatu sebelum duduk di atasnya. Sandrone mencium bibir dingin Katheryne penuh gairah, salivanya bertebaran di mana-mana. Akal sehat Sandrone semakin hilang ketika mendengar suara desahan Katheryne yang diprogram oleh dirinya sendiri, suara itu mengingatkannya pada seseorang, seseorang yang telah lama meninggalkan dirinya dari dunia ini.

"Ah... kamu sungguh cantik hari ini, Katheryne." gumam Sandrone sembari melumat bibir si robot.

Air—bukan, oli yang keluar dari liang kemaluan Katheryne membuat Sandrone girang sendiri. Ini menjadi bukti bahwa programnya telah sukses dibuat, setelah menyelesaikan urusannya, Sandrone tidur dalam pelukan robot itu ditonton oleh belasan manusia yang sedang dikerangkeng di sekitar area ruang kerjanya.

***

John Lee celingak-celinguk di depan rumahnya, hari sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Lelaki bersurai hitam itu menyelinap keluar dari kamar Hu Tao setelah berhasil memindahkan tubuh sepupunya karena terus menimpa John Lee saat ia tidur. Ia berencana untuk menjaga tubuh aslinya di sekitar area rumah sakit. Sebelum minggat, John Lee telah menuliskan pesan perpisahan kepada Hu Tao karena tak ingin merepotkan keluarganya lagi.

Mungkin seperti ini cukup, gumam John Lee dalam hati sebelum pergi meninggalkan pekarangan rumah Keluarga Hu.

Perjalanan dari rumah menuju halte bus cukup jauh mengingat area rumah Hu Tao berada di pelosok hutan Liyue. Peluh yang bercucuran di sekitar tubuhnya tak dipedulikan oleh John Lee, nyamuk nakal yang mengisap darahnya juga tak bisa diajak kompromi. John Lee masih memakai seragam sekolahnya sambil menyandang tas berisi satu buah pakaian yang entah ia dapat dari mana.

Suara grasah-grusuh mulai terdengar di sekitar hutan, John Lee mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari sumber suara atau mungkin sumber bahaya untuk dirinya. Karena tak sadar oleh benang tipis di dekat sebuah pohon, kakinya langsung terikat dan tubuhnya terangkat oleh ikatan benang itu hingga dirinya melayang di atas pohon.

"Apa ini?! Jebakan hewan hutan?" ujar John Lee terkejut.

"Bukan," balas seorang perempuan.

Ia menunjukkan rupanya, seorang perempuan bersurai pendek dengan jaket bulu yang hanya menempel di pundaknya. Perempuan itu melemparkan dua buah dadu ke udara sambil berjalan ke arah John Lee.

"Ini dia, jawara baru SMA Teyvat,"

"Siapa kamu?"

Kini mereka sudah berhadapan, walaupun posisi John Lee sedang terbalik dari wajah lawannya.

"Tenang, aku bukan Fatui melainkan musuhnya,"

"Namaku Yelan," ujar si perempuan.

"Kalau begitu, lepaskan saya," jawab John Lee menekan suaranya karena benang tipis itu menghentikan pembuluh darah di kakinya.

Dengan cepat Yelan memotong perangkapnya sampai John Lee jatuh ke tanah. Ia membiarkan John Lee membersihkan kotoran di pakaiannya sebelum kembali membuka suara.

"Wajahmu mirip dengan seseorang, aku harus memanfaatkan momentum ini," Yelan mulai berbicara.

"Apa yang kamu mau?"

"Seperti yang kamu ketahui, salah satu anggota kami dari Secret Service mengalami kecelakaan di Liyue. Kalau kau memang orang itu, aku juga tak akan menyangkal mukjizat ini karena kita tidak pernah bertemu sebelumnya—"

"Zhongli," ujar Yelan dengan tatapan tajam.

John Lee berusaha menahan ekspresinya, senyum tipis yang ditunjukkan oleh Yelan sedikit membuatnya gelisah, walaupun (mungkin) perempuan itu adalah salah satu rekan kerjanya, ia tak bisa sembarang percaya dengan orang untuk saat ini.

"Saya bukan Zhongli," ujarnya dengan suara berat.

"Ya, aku tahu. Kau hanya orang yang mirip dengan Zhongli,"

"Semua anggota Secret Service tidak mengenal satu sama lain, tapi kami memiliki kode etik yang bisa digunakan untuk interaksi satu sama lain. Dan tanganmu saat ini sedang melakukannya,"

Benar saja, John Lee tidak sadar dengan tangan kirinya yang ia simpan di belakang punggungnya dan tangan kanan yang ia kepal. Yelan tentu tahu akan hal itu karena ia juga sedang melakukan hal yang sama.

"Jujur saja, aku tak akan menampik semua alasanmu,"

John Lee menghela nafasnya, lelaki itu membenarkan posisi tubuhnya seperti biasa.

"Baiklah, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Kau harus ikut aku kembali ke markas, menjelaskan semuanya—"

"Tidak, saya harus menjaga tubuh asli saya di rumah sakit," potong John Lee tegas.

"Sudah banyak Millelith yang berjaga di sana, kau tak perlu khawatir, kejadian sore tadi juga atas perintah saya," balas Yelan tak mau kalah.

"Juga, saya harus bertemu dengan istri saya hari ini,"

Yelan tertawa saat melihat lelaki berseragam sekolah itu mengungkapkan kata 'istri saya' di depannya. Ekspersi Yelan membuat John Lee mengernyitkan sebelah alis, mungkin karena perempuan itu mengira dirinya memang masih anak sekolahan, karena rekrutan Secret Service tidak memandang usia bahkan status.

"Setidaknya di markas bisa lebih aman daripada di hutan belantara ini,"

Mendengar usul Yelan, John Lee melunakkan egonya. Lelaki itu mempersilakan rekan kerjanya untuk berjalan lebih dulu ke markas. Yelan pun sama, ia percaya bahwa John Lee tidak akan kabur dan mengikutinya, mereka berdua keluar dari area hutan Liyue sampai sebuah mobil hitam tampak di depan matanya.

"Ayo pergi,"

Yelan dan John Lee pergi menuju markas Secret Service, John Lee tidak memiliki ekspektasi apa-apa tentang rencana yang akan ia buat di sana. Mungkin ia akan mendapatkan kembali peralatan tarungnya sebelum kembali ke Liyue untuk mengawasi tubuh aslinya di sana.

***

Hentakan kaki terdengar keras menyusul dua gadis yang sedang menyantap makanannya di Liuli Pavilion, Eula dengan geram mengambil air yang ada di sembarang meja lalu menyiramnya ke arah Ningguang.

"Hey?! Apa maksud lo?!" sentak Beidou tak terima dengan perlakuan Eula.

"Lo apain Childe sampai dia masuk rumah sakit lagi?!" balas Eula sama besarnya dengan Beidou.

Ningguang hanya terkekeh sambil mengelap wajahnya dengan kain putih di samping piring restoran. Tak ada perasaan bersalah sama sekali terlihat di wajah putri tunggal pemilik Jade Chambers, Madame Ping itu.

"Saya hanya memberikan komentar atas kekalahannya melawan John Lee, tidak lebih. Tetapi sikap anak itu sama berengseknya seperti pacarnya," balas Ningguang beranjak dari kursinya.

Lidah Eula kelu saat mendengar balasan Ningguang, gadis bersurai biru itu hanya bisa mengepalkan tangannya erat-erat sambil meredam emosi.

"Tidak ada yang boleh menyentuh aset berharga Liyue ini, tetapi dia mencoba untuk melecehkan saya, apa yang bisa saya lakukan selain membela diri?" lanjut Ningguang lembut.

Beidou tersenyum tipis lalu membelakangi Ningguang, kini posisinya hanya berjarak beberapa meter saja dengan Eula, wanita yang digadang-gadangkan sebagai jawara sebenarnya di kalangan siswi SMA Teyvat.

"Kalau lo mau lawan Ningguang, langkahi dulu mayat—"

Satu pukulan keras mendarat di pipi kiri Beidou, gadis bersurai hitam itu terjatuh sampai meja Liuli Pavilion itu terbalik serta piring dan gelas yang ada di atasnya.

Para pengunjung lain mulai menaruh perhatiannya ke arah mereka, Eula kembali mengepalkan tangannya sebelum mulai menyerang Ningguang.

"Hey! Jangan buat keributan di sini!" teriak salah satu sekuriti restoran.

Mereka bertiga diusir dari area Liuli Pavilion dan bergerak menuju Liyue Harbor untuk menyelesaikan 'urusan'-nya.

Beidou melepaskan perban ditangannya, kain putih itu sudah kumuh karena terus mengikat pergelangan tangan gadis itu hingga aliran darah pun segan berkunjung ke sana. Eula menggertakkan tulang-tulangnya sebelum kembali membantai Beidou untuk kesekian kalinya.

Alasan Beidou ditunjuk sebagai jawara adalah karena gadis itu paling sering bertandang ke sekolah lain untuk menerima 'jamuan', sementara Eula memilih untuk berdiam diri di sekolah untuk fokus pada pendidikannya. Semua orang tidak tahu sisi ini dari si gadis bersurai biru muda, namun sejatinya Eula-lah yang jauh lebih kuat dari Beidou.

"Gak peduli seberapa hebat kemampuan bertarung lo, kalau lo berani mempermalukan Ningguang, gue bakal bantai lo sampai mati kalau perlu!" seru Beidou sambil berlari menyerang Eula.

Serangan demi serangan terus dilayangkan oleh kedua belah pihak, karena hari sudah gelap, aktivitas di sekitar pelabuhan pun tak seramai di pagi hari. Eula dan Beidou saling beradu dengan alasan yang berbeda, Eula hanya ingin melawan Ningguang sementara sahabatnya itu sibuk mempertahankan harga diri si surai putih.

Ningguang menatap kedua gadis itu bosan, ia tak tertarik dengan seluruh perkelahian yang pernah ia lihat sejak Ningguang kecil. Banyak pria yang sudah menunggunya dewasa untuk dinikahi, namun sayangnya Ningguang tidak tertarik dengan pernikahan karena mempersiapkan acara pewarisan Jade Chambers untuknya ketika lulus sekolah.

Keduanya tersungkur setelah serangan terakhirnya berhasil masuk ke arah mereka, Beidou dan Eula terbaring lemas karena kekuatannya sudah mencapai batas. Ningguang yang menganggap pertandingannya selesai pergi begitu saja setelah menelepon supir pribadinya 5 menit lalu.

"Aku pulang, Beidou." ujar Ningguang pelan.

Beidou mengacungkan jempolnya sambil terbaring, ia sibuk mengatur nafasnya karena sudah lama tidak bertanding. Wajah bonyok dan darah di pelipisnya kini sudah lama menjadi ciri khas gadis bermata satu tersebut, sementara Eula beranjak lebih dulu lalu pergi meninggalkan sahabat Ningguang itu seorang diri.

"Gue bakal balas lain kali,"

Eula pun pergi meninggalkan Beidou seorang diri di bawah lampu-lampu sekitar pelabuhan. Tak disangka, air matanya menetes karena lagi-lagi ia gagal memberi impresi kepada sahabat kecilnya. Beidou berusaha menahan perasaannya karena ia menganggap dirinya telah kalah dari Eula, gadis itu menghentakkan bagian belakang kepalanya ke tanah berkali-kali sambil menangis.

"Kenapa gue lemah gini?! Kenapa?! Apa hebatnya Keluarga Lawrence itu?!" seru Beidou di tengah keheningan.

Uluran tangan mulai nampak di mata Beidou, seorang lelaki bersurai putih dengan aksen merah itu tersenyum sembari mengangkat tubuh kekasihnya.

"Kau sudah berjuang sampai akhir, tak peduli kalah atau menang, aku tetap bangga padamu, Bei." ujar Kaedehara Kazuha.

"Diam! Gue lemah!" balas Beidou tak mau kalah, sifatnya satu itu memang sudah mendarah daging sejak lama.

Tanpa pikir panjang Kazuha memeluk sang kekasih dengan erat, mengelus lembut punggung kerasnya itu dengan penuh kasih sayang. Seketika Beidou melemah saat mendapatkan afeksi dari Kazuha, namun tangisannya semakin keras hingga mulai menarik perhatian warga sekitar yang tengah lalu lalang di area pelabuhan.

'Bodoh! Laki-laki bodoh!' batin Beidou dalam hati.

Nächstes Kapitel