John Lee tiba di kediaman Hu Tao, tepat di depan rumah pria itu menyalami orang yang disebut 'kakek' oleh Hu Tao selama perjalanan menuju rumah. Herannya, sang kakek tidak terlihat mengenal wajah John Lee saat tangan mereka berjabat.
"Ini John Lee, Kek! Kan, Kakek sendiri yang minta dia tinggal di rumah," runtuk Hu Tao kesal melihat raut wajah kakeknya.
"Aduh, maaf! Saya lupa, maklum sudah tua juga," balas si kakek sambil terkekeh.
John Lee hanya membalasnya dengan senyuman, kemudian mereka berdua masuk ke dalam sebuah rumah kecil dengan dua kamar di dalamnya.
'Ini tak seperti yang kubayangkan,' gumam John Lee dalam hati.
"Di situ kamar Kakek, dan di sini kamar gue," jelas Hu Tao sambil melemparkan tasnya ke atas kursi kayu di dekat meja makan.
"Oh, kalau begitu saya tidur di ruang tamu saja,"
"Eh, enggak! Enak aja! Lo tidur sama gue!" sentak Hu Tao keras, entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Lho? Mana bisa begitu? Laki-laki dan perempuan tidak—"
"Bawel lo! Pokoknya lo tidur sama gue!"
"Saya di lantai, kan?"
"Ya, enggak! Lo tidur satu ranjang sama gue,"
John Lee berdeham, walau tak sedikit pun pikiran kotornya aktif, lelaki bersurai hitam itu heran dengan jalan pikir Hu Tao yang terkadang tak ada sopan santunnya. Ia berani-beraninya membentak keluarga tunggalnya, Kakek Hu di depan orang yang tak dikenal (maksudnya Zhongli). Sekarang ia malah memerintahkan John Lee untuk tidur dengannya malam ini.
"Lo pikir gue bercanda?" tanya Hu Tao sambil berjalan ke arah dapur.
John Lee hanya mengangguk tanda setuju.
"Enggak, gue mau servis lo malam ini, besok baru lo tidur di luar," lanjut Hu Tao acuh tak acuh.
"Tidak perlu, saya tidak butuh servismu," ujar John Lee mengambil sapu ijuk lalu berjalan ke teras rumah.
John Lee menyapu dedaunan kering yang ada di depan pekarangan rumahnya, ini merupakan salah satu bentuk balas budinya kepada Keluarga Hu karena sudah mengizinkan ia tinggal sementara di sini, masih menjadi misteri kenapa John Lee menjadi bagian dari keluarga aneh ini.
"Kamu beneran John Lee?" tanya si kakek dari belakang.
"Astaga! Maaf saya kaget, Kek!" sentak John Lee karena terkejut.
Kakek Hu tertawa lepas, kini baru ia kenali sosok yang ia anggap sebagai 'cucu' itu. John Lee hanya ikut tertawa melihat gigi ompong milik si empunya rumah, beberapa saat kemudian Kakek Hu pamit berjalan ke balai desa katanya.
"Woy, John! Air panas udah siap! Ayo mandi!"
"Bareng?"
"Ya, iya! Mubazir airnya!"
John Lee menggelengkan kepalanya kuat, ia benar-benar tidak setuju dengan semua sikap mesum yang ditunjukkan oleh Hu Tao. Karena geram, perempuan bersurai coklat itu menyusul John Lee dengan tubuh yang hanya dibaluti oleh handuk kecil lalu menariknya sekuat tenaga.
"Kenapa?! Udah ngaceng lo?" ucap Hu Tao nyeleneh.
"Enggak, kamu duluan saja. Saya mandi pakai air dingin juga tidak masalah,"
Sayangnya kekuatan Hu Tao tak dapat menandingi John Lee, selama perjalanannya kembali ke dalam rumah ia terus merepet tak lupa menyumpahi John Lee karena tak ingin menerima perlakuan baik dari Hu Tao.
'Ada-ada saja keluarga ini,' runtuk John Lee kesal.
***
Childe mengobrak-abrik seisi ruang rawatnya karena tak terima dengan serangan mendadak yang dilayangkan oleh Itto. Perasaan kesalnya bukan tertuju kepada siswa baru itu, ia bahkan tak tahu pasti namanya siapa.
"Berengsek! Bangsat! Anjing!" semua sumpah serapah keluar dari bibir manis lelaki jangkung itu.
Childe membuka paksa selang infus yang tertanam di lengan kirinya, memaksa keluar untuk membalaskan dendamnya kepada Arataki Itto. Kabar burung mulai tersebar bahwa Itto kini menjadi jawara nomor satu di SMA Teyvat, mengetahui hal itu jelas membuat Childe murka, siapa yang mau gelarnya yang telah ia jaga selama masa SMA-nya direbut begitu saja oleh bocah ingusan yang hanya tahu berantam seperti Geng Arataki.
Pintu ruang rawatnya terbuka, sepasang suami istri masuk ke dalam ruangan Childe tanpa suara, mereka hanya menyaksikan amukan 'kecil' anaknya tanpa ekspresi.
"Sudah?" ucap si laki-laki.
"Kamu ini ada-ada saja," timpal si perempuan.
Childe tak menghiraukan ucapan orang tuanya, ia sibuk memukul dinding rumah sakit walaupun lelaki itu sadar bahwa tangannya sudah banyak mengeluarkan darah. Melihat darah yang menetes ke lantai malah membuatnya semakin bergairah, mungkin karena dia sudah sering ikut dengan sang ayah saat menjalankan tugasnya sebagai orang nomor satu di Dunia Bawah.
"Arle,"
Si perempuan mulai bergerak, ia memukul Childe hingga terjatuh. Perempuan bersurai putih pendek itu memijak kaki Childe sampai mengeluarkan suara seperti kayu yang patah.
"Ngentot!" teriak Childe lantang.
"Sudah tadi di mobil," balas Arlecchino dengan bengisnya.
Arlecchino mengangkat dagu anak bungsunya hingga netra mereka bertatapan, kini tubuh Childe mulai melemah karena sadar bahwa sang ibu telah menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya.
"Mama sudah dengar berita kekalahan kamu,"
"Kamu tahu karena kekalahan kamu membuat keluarga kita jadi jatuh?!"
Arlecchino menampar Childe sekeras-kerasnya, kini raut wajah sang suami terlihat lebih cerah karena puas melihat si bungsu meringis kesakitan.
"Sekarang akses kartu kreditmu kami tahan, bisa-bisanya kamu kalah sama bocah kampungan itu," ujar Pierro, sang ayah.
Childe tak mengeluarkan suaranya, lidahnya kelu ditambah seluruh badannya sudah bergetar hebat sejak tadi. Kini ia baru merasakan seluruh rasa sakit karena emosinya sudah reda.
"Kalau kamu mau akses itu kembali, kalahkan bocah itu, kalau perlu bawa kepalanya ke hadapan saya,"
Pierro berbalik arah lalu pergi meninggalkan ruang rawat Childe, disusul oleh Arlecchino setelah mengantukkan kepala anaknya ke lantai dengan keras. Childe bangkit sambil memegangi kakinya yang hampir patah, mungkin retak, ia juga tak begitu paham dengan apa yang ia alami sekarang. Yang jelas, dendamnya pada Itto kini sudah sangat membara.
Childe mencari kontak bawahannya di ponsel canggih miliknya, meminta mereka semua berkumpul untuk mengatur strategi balas dendam kepada Geng Arataki.
"Gue bunuh lo, Bangsat!" pekik Childe berjalan keluar ruangan dengan kaki pincangnya.
***
Raiden Ei duduk termenung di cafetaria rumah sakit, di depannya sudah ada surat pernyataan jika sang suami gagal bertahan hidup, maka rumah sakit tidak lagi bertanggung jawab atas apa yang terjadi ke depannya. Air mata Ei sudah membasahi sebagian kertas itu, mengingat janji Zhongli dua hari yang lalu berhasil membuat rasa sesak di dadanya, sesekali ia memukul kepalanya karena rasa putus asa sudah semakin menusuk.
"Apa yang harus kulakukan?" gumam Ei pelan.
"Aku tak berani mengisi surat ini,"
Beberapa saat kemudian, seorang perempuan bersurai merah muda datang dan duduk di samping Ei. Wajahnya terlihat khawatir, ia langsung memeluk saudaranya erat, berharap dapat memberikan sedikit energi untuk sang kakak.
"Maaf, aku sudah membuatmu menunggu lama," bisik Yae Miko saat memeluk Raiden Ei.
Ei tak menjawab ucapan saudaranya, tangisnya justru pecah setelah dipeluk oleh Yae Miko.
"Kamu harus istirahat, kamu tidak istirahat, kan, selama dua hari ke belakang?"
Hanya anggukan pelan dari Ei yang menjadi saksi bisu keputusasaannya, perempuan bersurai ungu itu sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Tak ada obat yang bisa menyembuhkan Ei selain pelukan hangat dan hadirnya sang suami, namun untuk sekarang semuanya seperti mustahil, kondisi Zhongli tak kunjung membaik. Setiap ia melihat elektrokardiogram di ruang ICU, membuatnya semakin terpukul.
"Saya harus apa, Yae?" ujar Ei terisak.
"Kita hanya bisa berdoa agar Zhongli bisa cepat sadar dan pulih. Sejujurnya, aku juga tak tahu harus bicara apa lagi di saat kondisi kamu seperti ini," balas Yae Miko ikut terisak seperti sang kakak.
"Kalau dia gak sadar-sadar bagaimana?" rengek Ei dengan suara sedikit tertahan.
"Kamu tahu sendiri kalau suami kamu orang yang kuat, Zhongli pasti bisa melalui semua ini,"
Yae Miko menarik tubuh Ei pelan-pelan, mengajaknya pergi dari cafetaria untuk beristirahat sebentar di wisma samping rumah sakit. Ei pun hanya bisa mengikuti arahan adiknya karena tubuhnya sudah tak lagi bertenaga, bertahan hidup tanpa makan dan istirahat selama dua hari jelas membuatnya melemah. Perjalanan panjang Yae Miko dari Inazuma menuju Liyue juga melalui banyak hambatan, entah itu karena macet dan alasan klasik lainnya. Sejujurnya, Yae Miko tak terlalu suka dan merestui hubungan Zhongli dan Raiden Ei, pria yang datang tanpa diundang dan latar belakang itu melamar Ei sekitar 5 tahun yang lalu. Hubungan mereka berdua selalu dirahasiakan karena urusan pekerjaan Zhongli, tidak ada satu pun keluarga Raiden Ei yang mengetahui seluk beluk pria berusia 35 tahun tersebut, wajar jika mereka tidak menerima Zhongli sebagai bagian dari keluarganya.
"Gak apa-apa, nanti biar saya yang bergantian untuk menjaga Zhongli," ujar Yae Miko selama perjalanan menuju wisma.
***
Pesta penyambutan Arataki Itto sebagai jawara baru SMA Teyvat berlangsung meriah di sepanjang jalan Ritou, Inazuma. Pria gondrong bertubuh besar itu menari-nari sampai menarik perhatian warga Negeri Keabadian tersebut, tak ayal cemoohan tertuju pada kawanan berseragam sekolah namun tak membuat mereka malu dengan gelagatnya.
"Lebih keras lagi!" seru Itto keras.
Geng Arataki mulai memukul gendang sesuai perintah bosnya, walaupun hanya berlima, mereka cukup meresahkan warga sekitar karena suara berisik dan beberapa minuman keras di kedua tangan Itto dan anggotanya.
Kuki Shinobu hanya mengikuti kawanannya dari belakang, di balik masker hitamnya ia tersenyum sumringah karena di akhir masa SMA-nya, Arataki Gang berhasil menjadi orang nomor satu di sekolahnya. Perjalanan panjang Itto selama memperjuangkan pamornya seolah membuahkan hasil, padahal pertandingan siang tadi dimenangkan oleh John Lee dengan telak.
"Shinobu!" panggil Itto yang sudah mabuk.
Shinobu menoleh ke arah bosnya, matanya tersenyum memenuhi panggilan Itto. Sang Oni berlari lalu memeluknya erat, untung saja rona merah di sekitar wajahnya sebagian tertutupi oleh masker miliknya.
"Berkat lo gue berhasil! Berita yang lo sebar memang top markotop!" puji Itto kepada anggota perempuan satu-satunya di geng.
"Ah, biasa aja," balas Kuki Shinobu salah tingkah.
Itto tertawa lepas melihat ekspresi bawahannya, ia membuka masker Shinobu lalu menciumnya dengan paksa. Dilumat habis bibir dan lidah gadis bersurai hijau itu di pusat kota Inazuma, reaksi menjijikkan para warga terlukis jelas di wajah mereka, siapa yang sudi melihat adegan tak senonoh itu terpampang nyata di khalayak ramai.
Kini tangan Itto mulai menggerayangi buah dada Shinobu dari luar, matanya terbelalak namun tak dapat dipungkiri gadis itu juga menikmati momen kemenangan itu. Ia tak mau kalah, dibalasnya ciuman Itto penuh gairah juga. Sorak-sorak Geng Arataki semakin memeriahkan suasana panas yang terjadi di pusat kota.
"Kalian! Jangan bikin ulah!" teriak petugas kepolisian Inazuma.
Mereka berlari sekencang-kencangnya agar lolos dari kejaran aparat, karena tenaga mereka masih cukup banyak, Arataki Gang berhasil lolos dari marabahaya. Sesampainya di Markas Besar Arataki Gang, Itto langsung melucuti seragam Shinobu lalu melanjutkan urusannya sambil ditonton anggota lainnya, hilang sudah rasa malu gadis bersurai hijau itu karena nafsunya sudah semakin membara. Tanpa sehelai benang yang menutupinya, ia mempertontonkan tubuh mulusnya untuk jadi hiburan para anggota Geng Arataki.
"Malam ini, keperawanan lo milik gue dan lo gak bisa menghindari itu," ujar Itto dengan wajah mesumnya.
"Udah! Sikat aja bos!" seru anggota lainnya.
Shinobu menelan paksa ludahnya, nasi sudah menjadi bubur, malam ini tubuhnya hanya milik Itto seorang.