webnovel

- Perkebunan Kopi

Malam begitu sunyi, hanya terdengar suara tonggeret berbunyi. Suaranya yang nyaring beberapa kali memecah keheningan.

Di bawah gelapnya malam, setitik cahaya kecil terlihat dari kejauhan. Cahaya obor itu berasal dari sebuah gubuk kecil sederhana di luar Benteng Somba Opu. Seorang pemuda tinggal disana, Puli Temmalara namanya. 

Hari demi hari dihabiskan olehnya mencari upah sebagai kuli pasar di kota. Rasa lelah menggerogoti tubuhnya. Hidup tidak menentu di kota besar dengan gaji beberapa keping koin perunggu setiap bulannya. 

Itulah gambaran realita yang dia rasakan. Kehidupan yang sebenarnya di dunia ini pastilah ada yang kaya dan bangsawan begitu pula sebaliknya ada yang miskin dan terpinggirkan. Pemuda yang sedang terlelap di kasur yang keras itu termasuk golongan yang disebutkan di kalimat akhir. 

"Oeeek!" 

"Uhmmmmm... sialan berisik! Witta! anak kita menangis terus dari tadi! aku tidak bisa tidur kalau begini!" teriak Temmalara sembari berusaha mengguncangkan tubuh Witta.

"Berisik... sekarang giliran kau yang jaga anak!" sahut Witta kembali memejamkan matanya.

"Bangun Witta, Towase itu butuh yang namanya air susu ibu dia itu menangis karena dia lapar. Begitu saja tidak paham ibu macam apa kamu ini? bangun dasar pemalas!" balas Temmalara kembali mengguncangkan tubuh istrinya.

"Zzz..." reaksi dari Witta

Melihat Istrinya tidur lagi, terpaksa Temmalara yang harus menenangkan anaknya. Sejenak ia duduk untuk mengumpulkan tenaganya dan menggendong Towase. Temmalara menunjukan ekspresi aneh agar anaknya berhenti menangis.

Belum sampai pasir yang berada di jam murah miliknya turun semua, Towase terlelap di pangkuan Ayahnya. Meskipun pemuda itu tersenyum memandangi anaknya, akan tetapi Temmalara secara jujur di dalam lubuk hatinya, benar-benar merasa menyesal menikah di usia 16 tahun dan punya anak di usia 17 tahun.

Temmalara tertidur kembali menepis jauh-jauh pikiran picik yang muncul di kepalanya tadi. ia harus berusaha bangun tepat waktu untuk shalat subuh lalu bekerja. 

Saat menjelang subuh, muadzin telah naik ke atas menara masjid dan mengumandangkan adzan dengan suara yang lantang.

Orang Tua Temmalara sendiri tidak terlalu paham agama, akan tetapi ada satu hal paling berharga yang orang tuanya ajarkan kepadanya yakni sholat tepat waktu. Sekalipun merasa berat, Temmalara berusaha untuk memenuhi pesan orang tuanya itu. 

"Witta bangun ayo kita sholat" ujar Temmalara mengguncangkan tubuhnya.

"Duluan sayang, hoahem... masih ngantuk. Matahari juga belum terbit" balas Witta masih asyik berbaring.

"Oh lihat ini ada pulau besar di wajahmu!" sahut Temmalara menunjuk ke wajahnya 

"Mana?!" balasnya langsung bangun.

Temmalara langsung menyentil dahi istrinya, ekspresi wajah Witta seketika berubah setelah dijahili oleh Temmalara. 

"Haha maka dari itu kita harus tunaikan kewajiban. Ayo temani aku, apa kau tega membiarkan Suami jalan sendirian ke masjid?" 

"Apa lagi Temmalara! sudah sana duluan aku masih lelah" ucap Witta kemudian menutup kepalanya dengan bantal.

"Baiklah kalau begitu, bangunkan Towase mungkin dia lapar" jawab Temmalara dengan santai.

Setelah sholat, Temmalara berbaring sejenak didalam masjid sebelum akhirnya ia pulang ke rumah untuk berangkat bekerja lagi.

Sebelum pergi ke Pusat Kota, Witta langsung memeluk Temmalara dengan erat dan perlahan suaminya itu meninggalkan mereka berdua.

"Hati-hati Temmalara!" teriak Witta

"Tenang, jangan seperti semalam mengurus anak itu dengan benar!" balas Temmalara berhenti sejenak menghadap ke belakang.

"Hihi pasti malam ini giliranmu lagi yang mengurus Towase!" balas Witta dari kejauhan.

Gerbang Somba Opu

Semakin lama semakin dekat pula di benteng kokoh dari batu itu terlihat. Sejak Kerajaan Gowa pertama kali berdiri, Benteng itu sudah diperluas sebanyak tiga kali.

Awalnya Somba Opu didirikan oleh Raja Gowa yaitu Tumaparisi Kallonna (1512-1548), Kemudian saat Daeng ri Mangallekana menjadi Syahbandar, Benteng Somba Opu diperluas untuk kedua kalinya. 

Pertahanan benteng ini kemudian disempurnakan pada masa Sultan Malikussaid dan Tumabicara (Perdana Mentri/Penasehat) sekaligus Raja Tallo yaitu Karaeng Pattinggaloang sekitar beberapa dekade yang lalu dengan membuat benteng ini menyerupai bentuk bintang segi lima, sekalipun masih mempertahankan bentuk segi empat. 

Di bagian Utara dan Selatan dari Benteng, tepatnya di Benteng Ujung Pandang di Utara dan Panakkukang di selatan, orang-orang Eropa terutama Portugis dan Inggris diizinkan tinggal dan berdagang di tempat ini. 

Tempat di bagian itu memang disediakan khusus bagi pendatang, mereka wajib mematuhi hukum syariah yang berlaku sesuai yang tertuang di dalam qanun. 

Mereka bebas mendirikan pabrik di pesisir utara wilayah Kesultanan Gowa untuk mengolah tebu menjadi gula maupun mengolah bahan alam menjadi pewarna pakaian sekaligus tempat gudang penyimpanan barang. 

Pasar tempat Temmalara bekerja terletak di pinggir timur perbatasan gerbang. Karena pagi-pagi sekali ia datang ke gerbang ini, ia tidak harus lama-lama untuk menunggu pemeriksaan oleh para penjaga.

Para penjaga itu ia perhatikan, tidak seperti biasa memeriksa dengan cermat satu persatu lama sekali serta rinci. 

Semua orang di kota itu sedang heboh, berbisik satu sama lain tentang kabar yakni Pemberontak Bone dan Soppeng yang dipasok senjata oleh bangsawan Makassar yang menentang Sultan Hasanudin. 

Sekalipun hanya sebuah kabar, akan tetapi harus dicari tahu kebenarannya. Apalagi para veteran yang pernah mengikuti perang sebelumnya masih hidup. Rumor ini berhembus kencang di Masyarakat menciptakan rasa takut di hati mereka, sekalipun mereka berada di jantung kekuasaan Gowa.  

Saat Temmalara sudah sampai sambil melangkahkan kaki ke toko tuannya, ternyata Pemuda itu sudah dipecat dan digantikan oleh orang yang lebih tua darinya.

"Aku dipecat?" balas Temmalara hanya dapat termenung lalu membisu beberapa saat.

"Kalau iya kenapa?" balas tuannya secara sinis.

Memang tidak ada gunanya untuk memprotes, namun ia memohon-mohon agar setidaknya diberi setengah gajinya akan tetapi tuan itu membentak lalu mengusirnya. Temmalara hanya bisa berlapang dada menerima status barunya sebagai seorang pengangguran. 

Jengah dan kesal, ia pergi jalan-jalan sejenak ke tengah kota untuk menghilangkan rasa jengkelnya. Saat ia berjalan ia memperhatikan kapal-kapal asing yang berlabuh di dermaga. Pelabuhan Somba Opu ini sendiri adalah bandar pelabuhan yang ramai. 

"Coba saja kalau aku menjadi Nahkoda kapal-kapal itu pasti aku bisa hidup enak. Dasar para bangsawan sialan pemakan pajak rakyat," ujarnya terduduk berbicara sendiri sambil memperhatikan kapal di dermaga itu. 

Para pelaut itu berasal dari berbagai Bangsa. Melayu, Bugis, Jawa, Kamboja, Bahkan bangsa-bangsa lain juga hidup di kota ini karena pada dasarnya Somba Opu adalah transit rempah dari Maluku ke wilayah lain dan sebaliknya.

Syahbandar Gowa yang mengurus dan mengawasi laju perdagangan. Diam-diam Temmalara iri dan kesal ketika ia menengok orang yang jabatannya berada di atas, andai saja dirinya adalah Syahbandar saat ini. 

Temmalara tanpa peduli terus melanjutkan khayalannya sembari melamun, ia berandai-andai lagi kalau seandainya memiliki uang pastinya ia berencana akan menjadi seorang saudagar yang memiliki sawah dan perkebunan dimana-mana. 

Dirinya juga membayangkan menjadi seorang Karaeng (Raja) yang mendapatkan uang langsung dari Sultan ataupun bawahannya. Akan tetapi setelah berkhayal tiba-tiba ia menjadi kesal, mau itu Daeng maupun Karaeng ataupun Syahbandar mereka semua sama saja. 

Mau sekeras apapun Temmalara berusaha, mau sekuat apapun dirinya bekerja. Ia hanya akan hidup makan dan mati sebagai rakyat jelata. Tidak akan pernah bisa menjadi orang hebat seperti mereka, melukiskan sejarah seperti mereka, berkarya seperti mereka, lalu memiliki aset seperti mereka.

Jauh di dalam lubuk hati Temmalara muncul sebuah pertanyaan. Sebenarnya apa keistimewaan dsri para bangsawan.

"Oh... ada Kereta Kuda. Ah ada anak 9 atau 10 tahun aneh kenapa ia memakai pakaian kumuh meskipun naik kuda. Cih, pasti dia bangsawan yang menyamar sebagai orang miskin. Memang kurang ajar," gumam Temmalara dalam hati menyudahi lamunannya.

Temmalara hanya melirik sesekali saja ke anak kecil yang barusan turun itu. Pemuda itu kembali jalan-jalan di sekitar Dermaga untuk mengusir rasa bosannya. Namun dari belakang, kebetulan anak itu lewat ke arah yang sama dengannya. 

Karena masih kesal pada Karaeng yang hidup mewah-mewahan tanpa harus bekerja dan jahil karena bosan. Sepintas timbul pikiran picik di kepalanya, ia mendadak berhenti dan langsung menghalangi kaki anak itu sampai ia terjatuh dan penutup kepalanya kotor terkena tanah.

Brak!

"Adik tidak apa-apa kan? kakimu pasti sakit ya panggil tabib nanti ya," sahut Temmalara dengan senyuman sinis pada Bangsawan itu. Ia menarik tangan anak itu dan membantunya berdiri serta membenarkan penutup kepalanya.

"Kurang ajar kau kak!" bentaknya sambil mendorong tubuh Temmalara

"Woho kuat juga kau rupanya, kenapa kau malah mendorongku dasar anak manja tidak tahu diri!" balas Temmalara.

"Tidak usah pura-pura bodoh, Kakak kan yang menjegal!" balasnya.

"Ya dan iya terserah kau saja, namamu siapa?." 

"Galesong, 10 Tahun lahir di Bantaeng. Akan kujegal kau nanti lihat saja!"

"Og ternyata jadi kau putranya... cih!" ketus Temmalara sembari meninggalkan anak itu, ketika melihat salah satu pengawalnya yang berambut botak mendekati mereka berdua.

"Pangeran Galesong!" teriak Pengawal itu

"Ada apa Kakak Bambang, bukannya sudah kuperintahkan untuk menunggu di kereta kuda bersama Rongkasi. Aku hanya rihlah sejenak ingin mencari teman sebayaku. Kebetulan kita di Somba Opu, bosan tahu di Takalar bekerja di Istana terus. Kalian berdua ini bisa tidak membiarkanku sejenak terutama Rongkasi, seharusnya dia mengawasi pembangunan Saluran Irigasi baru di Wanua yang diperintahkannya," ketus Galesong

Catatan: Wanua adalah sebutan umum untuk wilayah bawahan kerajaan pada kebanyakan kerajaan di Sulawesi. Bisa dibilang setingkat Provinsi atau Kabupaten dan diberi otonomi yang sangat bebas oleh raja, Asalkan membayar pajak atau upeti.

"Tapi aku diperintahkan langsung Ayahmu untuk mengawasimu. Banyak orang Jahat yang mengincar Pangeran seperti Pemuda yang mencurigakan tadi. Ayo pangeran," - Jawab Pengawal itu

"Yang benar saja Kakak Bambang aku bisa jaga diri. Hoy kakak bodoh siapa namamu!" teriak Galesong dari kejauhan.

"Temmalara! ingat itu bocah tengil," balasnya sambil menjulurkan lidah dan pergi mengacuhkan mereka berdua.

"Mirip nama orang Bugis! hehe akan kubalas... hoy sialan kau dengar tidak! akan kubalas perbuatan itu Temmalara!" balas Galesong.

"Kutarik kata-kataku tadi Pangeran ternyata dia hanya Pemuda tidak berguna. Pangeran sebentar lagi pelajaran khusus akan dimulai," ucap Bambang sembari menepuk pundaknya.

"Sial kapan aku bisa bermain," ketus Galesong.

--

Ketika berjalan ingin pulang, Temmalara jadi teringat dengan ejekan bocah tadi. Seketika hatinya membara apalagi setelah mengetahui bocah itu adalah Pangeran. Ia tidak bisa menerima kalau diremehkan oleh bocah manja berumur 10 tahun sekalipun dia adalah Karaeng di Negeri Gowa ini.

"Kau kenapa kau disini! katanya kerja bagaimana kau ini" sahut teman Temmalara langsung menepuk bahunya.

"He, bikin kaget saja Mario!" balas Temmalara.

Mario adalah teman sekampungnya, ia seumuran dengan Temmalara dan sama-sama mengadu peraduan di Kota Makassar. Mereka pikir kalau di kota ini mereka bisa mendapatkan kekayaan lebih mudah daripada di desa namun mereka berdua segera menyadari disini tidak ada kata ampun kalau tidak punya uang.

"Kenapa juga kau berkeliaran disekitar sini? katanya kerja di dermaga kapal" balas Temmalara.

"Yah mau bagaimana lagi, aku juga dipecat dari pekerjaanku. Kudengar para pedagang banyak juga yang hengkang dari Somba Opu. Ini pasti ulah dari pemberontak dan juga VOC alias Belanda."

"Siapa itu VOC, bikin susah aja. Hidup susah ditambah susah pula. Tahu susah malah ditambah susah," ketus Temmalara.

"Perusahaan Belanda, tapi sebenarnya dibawah kendali pemerintah Belanda. Mereka ingin membuat hidup kita sengsara. Aku tidak habis pikir, kenapa mereka tidak urus saja urusannya sendiri." 

"Namanya orang punya niat jahat kepada kita. Harus dilawan tidak mungkin diam saja saat tanah kita di rampok. Tapi kalau yang memimpin perlawanan para bangsawan yang tak berguna ya..." 

"Ah kau ini, seperti bisa saja memimpin. Aki akui kau memang lebih berani daripada aku hehe," 

"Andaikan aku bisa jadi Karaeng, mungkin hidup kita tidak seperti ini. Oh ya Mario kau punya lowongan pekerjaan kan?"

"Bekerja di kebun kopi, Wilayah Monconglowe kalau tidak salah" balas Mario.

"Kopi? tanaman apa itu? tanaman baru lagi?" tanya Temmalara penasaran.

"Hahaha, kau ini hidup di gua ya... Tanaman Kopi itu tanaman dari Khilafah Turki Usmani. Diimpor dan ditanam kesini baru berhasil beberapa tahun kemarin. Kudengar juga bayarannya lumayan dibandingkan menggarap sawah. Mungkin bibit kopi itu berasal dari Aceh kan kau tau sendiri Aceh dan Turki itu sangat dekat," jawab Mario.

"Aceh? dimana itu Aceh? apa Aceh kerajaan di Sulawesi atau nama karaeng?" tanya Temmalara tambah kebingungan.

"Ah sudahlah, besok kita bahas Aceh lagi.  Kutunggu jawabanmu nanti bagaimana?" tanya Mario.

Prak!

Mereka berdua langsung menepuk tangan bersama-sama. Serelah puas, Temmalara memutuskan untuk pulang saja siang itu juga ke rumahnya meskipun masih terlalu awal baginya untuk pulang ke rumah.

-- 

*Tok* *Tok* *Tok*

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

"Tidak biasanya kamu pulang cepat sayang, biasanya sore menjelang maghrib."

"Ano... maaf aku dipecat,"

"Tidak apa nanti kau bisa mencari pekerjaan baru. Dari Tetangga sekitar, Witta dengar ada pemberontakan ya?"

"Benar namun hanya sekedar 'katanya' "

Oeeek!

"Giliran kamu Witta! haha, asyik langsung buat pulau" sahut Temmalara langsung berlari ke kamar.

"Curang kau Temmalara!" sahut Witta.

Temmalara tidak mempedulikan Istrinya yang dengan sigap mengurus Anaknya. Pemuda itu langsung saja berbaring di atas ranjang dan menutupkan kepalanya dengan bantal. Ia ingin mempersiapkan diri untuk bekerja di perkebunan kopi esok. Dalam benaknya, ia masih penasaran tanaman dari Turki Usmani itu seperti apa.

Nächstes Kapitel