webnovel

Phantom

"Pak Supir! Ayo cepat ke rumah sakit!" teriaknya.

Begitu juga orang orang yang di sana yang ikut meneriakinya karena supir itu malah sibuk kebingungan dengan sendirinya.

"Ah baik, baik aku akan membawanya ke rumah sakit," supir itu berlari ke dalam taksi.

"Anak laki laki itu…" tunjuk Ramon pada Arvy yang berdiri menatap ibunya yang digendong ke taksi. "Bawa dia sekalian."

Supir itu menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk e dalam taksi.

Mereka berempat di dalam taksi dan menuju ke rumah sakit.

"Ibu…" Arvy menangis. Ia menatap kedua tangannya yang bersimbah darah ibunya.

Raziva, Ramon dan Arvy berada di kursi

Saat itulah Ramon beraksi penumpang bagian belakang. Raziva di tengah dengan kepala disandarkan di bahu Ramon. Arvy pun tidak menyadari karena sangat khawatir pada ibunya, ia menangis sesenggukan sembari memegang ujung baju Raziva.i, karena kutukan hanya bisa ditanamkan melalui kontak fisik. Ia pun tersenyum di dalam maskernya. Perlahan tapi pasti, sejak kontak fisik itu, Raziva yang kehilangan banyak darah, mulai melemah ditambah dengan kutukan itu mulai ditransfer Ramon ke dalam tubuhnya. Sebuah tanda mirip luka panjang akibat kena bakar mulai muncul di telapak tangan kirinya. Arvy yang berada di sebelah tangan kirinya melihat dan menyaksikan bagaimana tanda itu tiba tiba muncul dengan sendirinya seolah sihir. Awalnya kecil, pendek lalu mulai memanjang di telapak tangan berwarna merah seolah darah, namun bukan seperti darah melainkan seperti bias cahaya. Arvy yang masih belum paham mengira itu adalah darah yang mengalir dari dalam baju ibunya. Karena Raziva memakai setelah blouse panjang. Jadi Arvy mengira itu semacam darah yang mengalir dari tangan menuju telapak tangan dari dalam bajunya.

Melihat itu Arvy semakin sedih dan menangis sesenggukan.

"Ibu… ibu…"

Sesampainya di rumah sakit dan menggendong Raziva ke UGD, Ramon hanya diam menonton drama yang akan terjadi selanjutnya.yaitu ketika Ardana, isteri Raziva datang. Drama pun mulai terjadi. Supir itu berlutut memohon maaf dan pasangan ayah dan anak itu pun menangis berpelukan. Ramon tertawa puas di dalam maskernya dan tidak ada satupun yang tahu dan menyadarinya.

"Tadi saya sudah meneriaki anda loh pak," kata Ramon yang mengaku sebagai penumpang, pada pak supir. "Anda tiba tiba tertidur dan menabrak wanita itu. Saya saksinya."

Setelah mengatakan itu agar terdengar oleh suster dan juga Ardana, ia pun pergi dari sana, tanpa seorang pun sadar akan keberadaannya. Ia berjalan tenang menuju arah keluar. Ia sangat puas pada hasil pekerjaannya kali ini.

Flashback End

Arvy berlarian di lorong rumah sakit, lalu naik lift dengan tergesa. Sampai di depan ruangannya, ia menunduk sejenak, lalu mengusap air matanya yang memenuhi pelupuk mata. Kemudian membuka pintu kamar rawat ibunya. Di samping ranjang dingin itu, Arvy berdiri sembari menatap ibunya yang sangat kurus seperti orang mati, pipi tirus, pucat dan seolah tidak ada kehidupan yang tersisa di sana.

"Ibu…" Arvy kembali berkaca kaca.

Ia kemudian membuka selimutnya dan memegang telapak tangan kirinya. Mengecek bekas luka itu. Dan betapa terkejutnya ia, bahwa ada goresan panjang mirip luka bakar di sana. Arvy tidak mampu berkata kata lagi selain menahan air matanya yang tidak kuat ia bendung lagi.

"Apa ini sakit?" Arvy berkaca kaca sembari mengelus luka aneh di telapak tangan ibunya. "Ibu pasti kesakitan, iya kan Bu?"

"Maafkan aku, bu. Maaf karena tidak bisa melindungimu saat itu. Maaf karena aku belum cukup dewasa untuk menjagamu saat itu. Maaf, maaf, maaf."

Air mata perlahan luruh di pipi Arvy.

"Bahkan saat ini aku tidak bisa mengingat peristiwa kecelakaan itu dengan benar. Aku lupa banyak hal tentang kecelakaan itu. Yang kuingat hanya ibu yang tergeletak bersimbah darah dan aku tidak bisa melakukan apa apa selain menangis. Maafkan aku, Bu."

"Aku janji, Bu. Aku akan menemukan orang yang membuatmu seperti ini. Aku janji," batin Arvy. Tanpa ia sadari ada kilatan mata merah di matanya sesaat. (sama seperti saat ia menyiksa Valen di basemen).

Tiba tiba ia tersadar sesuatu.

"Tapi…bagaimana orang bernama Ramon itu membuat tanda aneh ini? Apa dia membuatnya dengan jarak jauh? Dia bisa melakukan itu?" setelah dipikir pikir Arvy heran bagaimana cara Ramon menaruh kutukan itu di tubuh ibunya.

"Apa aku harus menjadi polisi seperti yang dikatakan rekan Paman Holan, Bu?" mendadak ia kekikiran tentang tawaran Asya kemarin.

"Aku harus bertemu dengan supir taksi yang menabrak ibu. Tapi aku tidak ingat bagaimana rupanya, atau orang yang berkerumun saat itu atau yang terlibat membantu. Aku hanya ingat supir taksi yang panik dan berlutut di depan kami saat sampai di rumah sakit. Aku tidak mengingat siapa lagi yang berada di sana saat itu selain supir taksi itu." pikir Arvy.

Tiba tiba ia ingat Amy.

Ia ingat Amy mempunyai tanda luka yang sama namun tidak selebar seperti milik ibunya. Arvy ingat saat mereka bertiga, Arvy, Alfa dan Amy makan bersama dan saat tertentu ketiak mereka bertemu. Ia sering melihat ada luka yang sama di telapak tangannya namun santa samar. Saat ia ingat ingat lagi ternyata itu kadang berubah, itu bukan luka biasa seperti tanda bekas luka di telapak tangan ibunya. Itu lebih seperti…

"bentuk segitiga berwarna kemerahan!" teriak Arvy dalam pikirannya. Ia membelalakkan mata dan berusaha mengingat ingat lagi telapak tangan Amy di setiap mereka bertemu dan berinteraksi.

"Iya, aku tidak mungkin salah kira. Amy juga memiliki tanda yang luka yang hampir sama seperti milik ibu."

Memang ada sebuah tanda luka aneh di sana, sayangnya Arvy tidak lagi penasaran karena warna merah menyala segitiga merah itu kadang muncul kadang juga berubah menjadi goresan kecil seperti tanda bekas luka biasa. Tanda yang dimiliki Amy lebih fleksibel karena berada di tubuh yang hidup. Berbeda dengan miliki Raziva ibunya. Begitu juga dengan milik Nadia. Yang berada di tubuh manusia yang lemah dan hampir tidak ada harapan hidup atau disebut mati otak.

Arvy melirik jam di pergelangan tangannya. Dan baru sadar sebentar lagi waktu berkunjung habis karena sudah sore. Dan Raziva sendiri belum dipindahkan ke rumah sakit keluarga Satria. Jadi Arvy harus mematuhi peraturan berkunjung.

Setelah memikirkan banyak keterkaitan antara tanda luka di telapak tangan ibunya sana Amy, Arvy memutuskan untuk datang langsung ke apartemen Amy. Ia menuju ke sana.

"Aku harus memastikannya sendiri," kata Arvy.

***

"Arggghh!" rintih Alfa. Ia mimpi buruk sembari menekan telapak tangan kirinya yang perih. Itu adalah rasa sakit ilusi sama seperti phantom pain, rasa sakit palsu yang dialami orang yang kehilangan bagian tubuhnya yang diamputasi. Rasa sakit palsu yang dialami penderita padahal tidak ada yang luka atau berdarah sama sekali. Alfa sering mengalami phantom pain akibat dari trauma akibat masa lalunya ditambah dengan mantra kutukan yang pernah ditancapkan Ramon padanya padanya selama bertahun tahun.

"Aku ketiduran?" Alfa terkejut.

"Kau tidur lama sekali," sahut Amy yang duduk di depan komputernya. Sedang Alfa duduk di sofa tidur dekat ranjang Amy.

"Kau bermimpi buruk?" Amy menoleh dan melihat Alfa memegang telapak tangan kirinya dan meringis nampak kesakitan.

"Ada apa? Tanganmu kenapa?"

"Aku harus hati hati jangan sampai keceplosan mengatakan bahwa itu luka kutukan dari Ramon," batin Alfa.

Alfa turun dari sofa lalu menghampiri Amy. Ia memegang telapak tangan kirinya. Dan memeriksanya.

"Ada apa sih?"