"Anda cantik sekali…"
"Howeeekkk!" seolah alter ego Valen tengah muntah muntah. Sepertinya ada yang salah dengan pegawai kepoan ini.
"Ahahaha. Anda terlalu memuji saya," Valen tersenyum lebar.
Pegawai itu memandangi Valen dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Mata anda sangat lentik, bibir anda sangat kecil dan imut, kaki anda astaga…putih dan halus, dan …" pegawai itu melihat dada Valen. "Sepertinya anda juga memiliki ukuran yang besar, haha." pegawai itu tertawa garing.
Valen hanya mengikutinya tertawa, entah apa yang dimaksudnya.
"Anda juga tinggi. Benar benar….pacar anda pasti sangat puas."
"Jadi ada perlu apa kemari?"
"Ini, pelayan spesial kamar vip." pelayan itu mengambil nampan berisi steak dan sebotol wine untuknya.
"Terima kasih." Valen menerimanya.
"Itu…" pegawai itu ragu sejenak. "bolehkah saya mengetahui nama anda?"
"Nama? Ah itu emm…" Valen berpikir keras. "Apa saya harus menjawabnya?"
"Maaf kalau saya tidak sopan , karena anda sangat cantik saya jadi penasaran."
"Nama saya Valen…"
Pegawai itu terkejut sesaat, namun Valen segera menyadari kesalahannya.
"Oh maksud saya Valen…Valentina….iya itu nama saya, Valentina."
"Nama yang cantik, persis seperti orangnya."
"Bolehkah saya kembali ke dalam?"
"Oh iya iya silakan."
Setelah itu mereka berdua melempar senyum dengan ramah, lalu Valen menutup pintunya. Di dalam ia memegang dadanya yang naik turun. Ia menyadari ada dua mangkuk plastik di sana lalu mengeluarkannya dari dadanya lalu melemparnya ke sofa.
"Astaga, aku tidak percaya aku melakukan ini, sial!"
Flashback end
"Valentina??" Okta tertawa terbahak bahkan mendengarkan cerita memalukan Valen. "Woi sepertinya kau harus berhenti dari pekerjaanmu dan mulai menjadi pelawak."
"Terserah kau, tertawakan saja sampai puas." Valen pasrah ditertawakan. "Aku memberitahumu agar kau ingat, jadi kalau pegawai itu kepo lagi, kau bisa menyebutkan nama palsu tadi."
"Ah iya iya, Valentina yang cantik."
"Sudah lama aku tidak melihatmu tertawa. Kau sesenang itu?"
"Ehem ehem" Okta berdehem dan menahan tawanya, ia berusaha terlihat cool. "Siapa yang tertawa?"
"Cih. Jelas jelas kau tertawa tadi."
"Jadi…ceritakan padaku tentang pria yang menyekapku, Valentina." olok Okta.
"Aishh kau akan terus melakukan ini?"
"Iya iya. Makanya cepat ceritakan.."
"Namanya Arvy, dia tinggal di apartemen bintang lima, kalau tidak salah namanya Blue Sky. Dia sepertinya dari keluarga kaya raya. Penampilannya juga sangat berkelas dan tidak takut pada apapun."
Okta kali ini mendengarkannya dengan serius.
"Dan sialnya lagi, dia adalah Kakaknya si Alfa sialan itu."
Okta terkejut mendengarnya.
"Kakak?"
"Iya. Dia sangat pandai akting dan mengelabuiku. Aku percaya saat dia bilang adiknya meninggal, dia bahkan membuat air mata palsu seolah aku adalah pembunuh. Dan aku menduga alfa tidak, tidak tahu kalau aku masih hidup."
"Apa dia tinggal bersama Alfa?"
"Tidak, kulihat apartemennya sangat rapi dan dia sepertinya tipe yang perfeksionis, dia tinggal sendirian. Aku menyangka bahwa itu adalah kebohongan, dia hanya ingin mendapatkan informasi dariku karena itu dia bilang bahwa Alfa adalah adiknya. Aku yakin itu kebohongan seratus persen."
"Kau bisa membacanya?"
"Tidak, tidak bisa sama sekali. dia hampir mirip salah satu dari kita, kekuatannya hampir setara dengan orang orang kita. Dan anehnya dia menyekap seorang lagi di basemen bersamaku saat itu."
"Satu orang lagi?"
Valen mengangguk mengiyakan.
"Aku tidak ingat siapa namanya yang pasti, dia bukan manusia biasa."
"Apa? Apa maksudmu?"
"Sudah kubilang pria bernama Arvy itu seperti psikopat berdarah dingin, awalnya aku yakin kalau dia adalah pembunuh berantai yang menyembunyikan dirinya, namun ternyata bukan,mungkin dia melakukan itu hanya karena hobi, entah dia tahu atau tidak yang pasti orang satunya lagi sepertinya tidak waras. Dia hanya tidur sepanjang hari di kasur. Sedangkan aku dirantai dengan besi."
Ingatan Valen kembali pada masa penyiksaan Arvy kemarin, dia benar benar psikopat.
Flashback
"Alfa…adikku…" Arvy tiba tiba berkaca kaca. "Seharusnya kau membunuh pria bernama Ramon itu. Bukannya adikku!!"
"Jika aku bisa, aku sudah melakukannya sialan!"
"Alfa… Alfa…" Arvy tiba tiba menunduk, pisaunya jatuh di lantai begitu juga dirinya
Valen terkejut melihat air mata tiba tiba menetes di pipi pria berdarah dingin yang telah memukulinya tadi.
"Alfa sudah meninggal."
"APA?!"
"Kenapa kau membunuhnya?! kenapa?!" Arvy bersimpuh di lantai, meraung menangis adiknya yang mati. Dia benar benar bagus dalam berakting.
"Bukankah kutukannya sudah ditarik oleh Okta? Kenapa Alfa bisa meninggal? Apa fisiknya menjadi selemah itu setelah kuserang?" batin Valen yang juga bertanya tanya, ia tahu Alfa masih koma namun tidak tahu jika berakhir seperti ini.
Jantung Valen berdegup dengan keras. Ia tak menyangka akan setakut ini dengan orang biasa. Ia menelan ludah dengan susah payah.
"Kau akan membunuhku?"
"Membunuh?" Arvy tersenyum. Ia berbalik dan mendekat. "Aku tidak perlu membunuhmu. Kau tidak lihat lehermu? Kau akan mati karena kehabisan darah…dengan perlahan dan menyakitkan."
"Tapi aku akan memberimu pilihan jika kau tidak bisa menahannya. Pertama aku akan membiarkanmu kesakitan dan mati perlahan, atau kau ingin ku akhiri ini dengan cepat tanpa rasa sakit?" lanjutnya.
"Dia tidak bisa bertahan sampai akhir. Saat koma dia sering kejang dan kritis. Dokter bilang dia akan kesulitan bangun karena kondisinya yang sudah parah," Arvy tangis dengan pilu. "Jadi pada siapa aku harus membalas dendam adikku?! Pada siapa?! katakan padaku!! (cek bab 98)
"Adikmu yang sok polos itu, malah jatuh cinta pada gadis yang akan Ramon tumbalkan, padahal seharusnya dia mengawasinya tapi adikmu yang sialan itu…! Mengkhianati Ramon! Dan sekarang kedokku sebagai pengkhianat juga terungkap! Anak buahku bahkan tertangkap oleh Rat…. argh!" Valen memegang lehernya yang masih mengucurkan darah. (cek bab 97)
Flashback end
"Apa dia menyebut Rataka? Atau dia memberitahumu?
"Dia tidak tahu apa apa, dia juga tidak tahu tentang adiknya sendiri. Aku yakin dia pasti berbohong, berani sekali dia menipuku dengan aktingnya yang meyakinkan."
"Jadi kau memberitahunya tentang Rataka?"
"Eh? Ti...tidak."
"Kenapa?"
"Karena…Karena dia tidak ada hubungannya dengan ini jadi aku tidak ingin memperkeruh suasana, bagaimana kalau dia melapor pada polisi?"
"Bukan karena kau takut dengannya?" tebaknya.
"Te…tentu saja tidak. Kenapa aku harus takut dengan manusia sepertinya?"
"Tadi kau bilang dia psikopat pembunuh berdarah dingin."
"Aku hanya khawatir dia bersekutu dengan polisi."
"Jika dia bersekutu dengan polisi kau sudah ada di penjara sejak dulu. Apa kau takut pada manusia biasa sekarang?"
"Sudah kubilang dia bukan manusia biasa! Aku hampir mati!"
"Kalau begitu kuubah pertanyaanku, kau tidak percaya diri bertemu dengannya?"
Okta menatapnya tajam, ia memakai kembali kacamata khasnya yang kotak itu, dia terlihat psikopat yang sesungguhnya. Namun sebenarnya Okta benar, Bahwa Valen takut pada Arvy, melihat kondisinya saat itu benar benar parah (saat dibawa ke rumah sakit) sampai sekarang pipi kirinya masih meninggalkan bekas akibat luka yang disebabkan oleh Arvy, leher dan juga perutnya yang disayat. Luka luka yang disebabkan Arvy masih belum sembuh karena diperlambat dengan mantra kutukan yang disebarkan oleh Rataka.