"Apa katamu?" Ardana menerima telepon dari seseorang.
Orang itu memberitahunya tentang putranya yang datang ke kantor direktur dan membuat keributan di sana bahkan memukul tamu penting direktur.
"Arvy? Melakukan hal seperti itu?"
Ardana tidak percaya bahwa anaknya mengacau di kantor utama, secara yang dia tahu putranya itu tidak suka ikut campur tentang sekitarnya apalagi urusan keluarga. Ia yakin pasti ada sesuatu yang krusial hingga Arvy melakukannya. Ia lalu keluar dari ruangannya dan hendak mendatangi putranya, namun sekretaris datang dan memberinya berkas penting.
"Maaf, Pak. Tapi anda harus rapat dengan client dari Filipina."
"Apa? Rapat?"
"Iya, Pak. Harus siang ini."
Ardana menghela napas dan mau tidak mau harus mengikuti jadwalnya.
"Aku akan menghubungi anak itu nanti malam," pikirnya.
"Baiklah, siapkan presentasinya." kata Ardana kemudian.
***
Malamnya, Arvy tidak pulang ke apartemennya. Ia duduk seorang diri di barnya, sembari meminum berbotol botol alkohol hingga mabuk. Diangkatnya gelas terakhir, lalu ia minum sekali tenggak. Ia menuang alkohol lagi dari botol ke gelas namun botol itu sudah habis. Ia mengambil botol yang lain dan mengangkatnya, namun tiba tiba seseorang menghentikannya untuk minum.
"Sudah, jangan minum lagi."
Itu adalah Ardana, ayahnya.
"Kenapa kau ke sini?" Arvy setengah mabuk.
"Setelah sekian lama begini cara menyapa ayahmu?"
"Ha? Apa aku tidak salah dengar? Kukira kau lupa kalau sudah punya anak."
Ardana duduk lalu menggantikan minum botol itu untuk Arvy.
"Apa yang kau lakukan?!" teriaknya.
"Kau sudah terlalu mabuk. Ayo masuk." Ayah berusaha membantu Arvy berdiri agar segera mengantarkannya pulang. Namun Arvy menolak dan melempar tangannya.
"Jangan menyentuhku!" teriaknya. Ia hampir limbung namun masih bisa menopang tubuhnya sendiri.
"Aku masih tidak mengerti padamu. Apa kau ayahku? Huh!"
Ardana menghela napas. Ia tahu putranya mabuk berat dan berbicara melantur seenaknya.
"Ayo pulang. Ayah antarkan."
"Aku tidak percaya pada ayah. Aku tidak mengerti." Arvy tiba tiba berdiri dan melangkah gontai ke ayahnya lalu menarik kerahnya.
Ardana terkejut melihatnya seperti ini. Sepertinya anaknya benar benar stres berat kali ini.
"Kenapa, Yah?! Kenapa kau percaya pada Kakek sekarang? Kenapa?!"
Semuanya berawal dari Ardana yang selalu merasa bahwa ayahnya pilih kasih dengannya dan kakaknya, Nadia. Bahkan hingga sampai ke cucu cucunya. Karena itu keduanya jarang mengikuti acara makan malam keluarga, karena Ardana hanya datang sebagai formalitas dan Arvy menolak datang karena ia mengetahui bahwa kakeknya memang pilih kasih antara Holan, suami putrinya alias menantunya dan juga antara keluarganya. Mereka berdua merasa tersisih sebagai keluarga Satria. Ditambah dengan keadaan Ziva sampai sekarang yang masih koma. Namun suatu hari, Arvy mendapati ayahnya tiba tiba mendapatkan hak atas semua cabang cabang perusahaan milik kakeknya, Arvy mengetahui bahwa rupanya Holan, Pamannya tidak tertarik pada perusahaan melainkan memilih karirnya menjadi polisi. Arvy juga sangat membenci keluarga paman dan bibinya, merasa tidak pernah bisa akur dengan keluarganya. Jadi ia tidak percaya ayahnya merelakan atas semua perlakuan kakeknya demi perusahaan perusahaan itu. Ia masih tidak mengerti kenapa ayahnya malah menjadi penurut pada kakeknya.
"Aku tidak mengerti kenapa kau menjadi penurut pada direktur sialan itu! Kenapa? Kenapa?!" Arvy menarik kerahnya dan mengangkatnya
Ardana hanya diam, ia sebenarnya paham apa yang dirasakan anaknya, karena dulunya ia memang begitu pada kakeknya, membenci Rossan setengah mati dan berusaha keluar dari garis darah ini. Namun ia mengerti, lambat laun menyadari. Dan Arvy masih muda untuk ia beritahu saat itu. Untuk saat ini juga begitu. Ardana hanya bisa bilang…
"Jangan terlalu membenci kakekmu." itulah yang ia lontarkan, pada Arvy yang tengah dirundung kebencian pada keluarganya sendiri.
"Kenapa ayah…tolong jelaskan…" Arvy menangis. "Tolong jelaskan kenapa kau seperti ini? Kenapa kau berhenti membenci orang tua penipu itu?"
Arvy menunduk dan melepaskan kerah ayahnya perlahan. Hingga ia bersimpuh di lantai. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ia menatap putranya dengan pedih dan pilu. Ingatan Ardana melayang di hari itu.
Flashback
Ardana menuju ke kantor direktur.
Pintu ruangan direktur utama, Rossan Satria, didobrak dengan brutal. Seseorang berdiri di sana, itu adalah putra semata wayangnya sendiri.
"Ayah…"
Ardana menatapnya dengan tatapan marah, kesal dan terkhianati. Matanya bengkak dan berkaca-kaca.
Direktur hanya membisu, seolah sedang tak terjadi apa-apa. Ia menatap putranya datar.
"Aku tahu dari awal kau tidak pernah memihakku apapun yang kulakukan," Ardana melangkah mendekat ke meja direktur. "Aku tahu kau tidak pernah menyukai apapun keputusanku. Aku tahu! Aku paham semuanya, Ayah!"
Ardana menggebrak meja. Direktur masih tenang, ia menatap tajam Ardana.
"Kupikir kau tidak pernah tertarik dengan keluargaku sebelumnya. Sekarang apa? Apa yang kau lakukan pada isteriku?!"
"Aku tidak paham apa yang kau katakan."
"Direktur!" bentaknya.
Direktur berdiri. Ia juga nampak kesal atas tuduhan Ardana.
"Apa yang kau bicarakan? Bicaralah yang jelas, Dana!"
"Aku melihat riwayat panggilan Ziva. Kenapa kau sering menghubunginya akhir-akhir ini? Apa yang kau rencanakan?" Ardana mengeluarkan ponsel Ziva dan memperlihatkan riwayat panggilannya.
"Kenapa ponsel isterimu ada di tanganmu?"
"Ah kau tidak tahu rupanya," Ardana lemas. "Raziva, isteriku tengah koma di rumah sakit sekarang."
"Apa?!"
Direktur terkejut, ia hampir oleng dan terjatuh. Ardana tidak menduga reaksinya ayahnya, namun ia keukeuh menyalahkannya atas apa yang terjadi pada isterinya.
"Kau..apa yang kau katakan? Kau tidak sedang membohongiku, kan?" Direktur menatap Ardana.
"Apa kau bilang? Bohong? Kau pikir aku sedang berbohong huh?! Isteriku sekarat dan kau bilang aku sedang berbohong?" Ardana menahan tangisnya. "Apa kau pernah sekali menganggap aku putramu…Ayah?" (cek bab 35)
"Ayahmu ini…juga membenci kakekmu, Nak."
Arvy yang mendengar itu mendongak menatapnya. Ardana membantunya berdiri. Ia tidak mungkin memberitahu Arvy bahwa ada sesuatu yang mengincar isterinya. Sejak saat itu dia tidak membenci kakeknya lagi, karena fokus pada penyembuhan Raziva dan juga keluarganya. Ia ingat mengadu kepada isterinya tentang nasib Arvy yang kesepian karena hidup tanpa seorang ibu.
Flashback
"Bagaimana putra kita, Ziva? Bagaimana dia bisa hidup ke depannya tanpa dirimu? Anak kita sudah kehilangan keceriaannya, dia menjadi anak yang berbeda dari yang kita kenal. Apa yang harus aku lakukan?" Ardana menutup matanya dengan telapak tangan.
Ia menoleh ke arah samping, sebuah kresek putih berisi makanan dan sebotol air mineral. Ardana tadinya berharap Arvy makan sesuap nasi saja agar dia tidak sakit. Tiba-tiba ponselnya berdering. Diambilnya dari saku celananya, namun ternyata bukan ponselnya yang berdering melainkan ponsel yang berada di balik saku jasnya, ponsel milik Raziva.
Ardana terkejut melihat sebuah nomor asing menghubungi isterinya. Diangkatnya panggilan itu.
Hening, seseorang dari balik telepon maupun Ardana, keduanya sama-sama tidak mengeluarkan suara. Ardana semakin curiga, ia menekan tombol 'rekam'. Hingga a terkejut ketika terdengar suara seorang pria.
"Kau terlambat."
Degh
Ia membelalakkan matanya, menganga sembari menutup mulutnya.
"Isterimu sekarang ada di cengkeraman kami. Dia akan jadi tumbal pertama untuk menghancurkan bangsamu. Camkan itu Satria." (bab 34)
"Apa ayah membelanya karena perusahaan itu? tidak kan? Jadi kenapa ayah tak bisa menjelaskannya padaku?!" teriak Arvy pada ayahnya.
Ia tidak percaya ayahnya yang telah terluka oleh perlakuan kakeknya masih memintanya untuk tidak membenci kakek.
"Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ayah memintaku untuk tidak membencinya?!"