"Kau bilang kau punya isteri kan? Apa putrimu tinggal bersama isterimu?"
"Kenapa tiba tiba tanya itu?"
"Putrimu…"
Mark menoleh dan menatap Arvy, menunggu kira kira apa yang akan dikatakannya. Namun Arvy terlalu lama diam dan tidak melanjutkan bicaranya.
"Apa yang ingin kau katakan?"
"Aku merasa buruk jika mengatakannya."
"Lagipula dari mana kau tahu. Kau pasti cuma menebaknya."
"Tidak. Tentu saja aku tahu. Aku bahkan tahu warnamu sekarang," Arvy ceplosanya. Mark yang mendengarnya ocehannya hanya menggeleng tidak percaya.
"Kau sangat mabuk. Tidurlah, aku harus kembali, pastikan kau memberiku bintang 5, paham?"
"Putrimu sudah meninggal."
Degh
"Dari mana kau tahu?!"
"Semuanya tertulis jelas di wajahmu, di matamu dan di hatimu."
"Apa apaan kau ini! Aku tanya kau tahu dari mana?"
"Aku bicara yang sebenarnya. Aku menebaknya dengan benar kan?"
Mark meraih kerah lehernya dengan marah. Sedang Arvy sudah loyo dan hampir limbung. Ia mabuk.
"Kau anggap ini lelucon?!"
"Kenapa kau mengira aku menganggapnya lucu? Kau pikir kehilangan seseorang itu lucu!!" balas Arvy.
Mark melepaskan cengkraman kerahnya pada Arvy. Ia terkejut melihat reaksinya, matanya bahkan berkaca kaca sekarang.
"Untuk apa aku menganggapnya lucu? Ibuku…Gita….orang orang kusayangi…semuanya hilang…Mereka pergi jauh, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah katapun padaku. Kenapa aku harus merasa ini lucu? Apa kau tertawa? Huh?!"
Arvy menitikkan air matanya. Ia hampir oleng dan terjungkal ke belakang namun Mark membawanya dan menidurkannya di sofa panjang lalu menyelimutinya.
"Maaf, lain kali aku tidak akan bilang begitu."
Mark melihat Arvy yang telah terlelap.
Mark berbalik dan hendak pergi, jam telah menunjukkan pukul 9.
"Mark!"
Mark berhenti dan menoleh.
"Terima kasih. Bersemangatlah."
Mark tersenyum."Sepertinya… kita tidak akan bertemu lagi setelah ini."
Arvy membalas senyumannya. Ia lalu tertidur lagi.
Flashback selesai
"Anaknya Mark…sudah meninggal."
Amy dan Alfa tertegun mendengarnya.
"Pengawal punya batas waktu, aku hanya menyewanya selama seharian kemarin."
Amy hanya bisa menerimanya, bahunya turun dan ia menjadi lemas.
"Lalu apa yang harus kita lakukan dengan hadiahnya?" Alfa bingung sendiri.
"Tidak bisakah kau menghubunginya? Aku tidak tahu kalau anaknya sudah meninggal," Amy lesu.
"Kau pikir dia itu pengangguran seperti kalian? Dia pasti sedang bekerja."
"Jadi bagaimana?" tanya Alfa.
"Kemarin aku ketiduran di bar. Sepertinya dia langsung kembali saat aku tidur. Aku tidak ingat ngobrol apa saja dengannya. Aku cuma ingat beberapa."
"Kau mabuk kemarin?" Tanya Amy.
Arvy mengangguk.
"Karena kita sudah sampai di sini, bagaimana kalau kita membahas tentang kasus anak hilang di perbatasan ibu kota."
Amy dan Arvy sontak menoleh ke Alfa dengan terkejut.
"Apa? Kenapa melihatku sepertiku? Sekalian kan, kita bertiga sudah berkumpul begini. Jangan bilang kalian sok sok main rahasia rahasia denganku. Kau pikir aku ini squishy apa?"
Alfa kesal.
"Ya sudahlah, mau bagaimana lagi." kata Arvy.
"Pertama tama, aku berterima kasih pada Kak Arvy yang mau membantu kita, tapi…awalnya Amy tidak berniat mengambil kasus ini."
"Kenapa?"
"Ah itu…" sela Amy. "Tempatnya agak jauh."
"Ha? Amy bilang kalian sering menangani kasus di tempat terkecil sekalipun."
"Jadi begini, kasus ini terbilang sulit, Kak. Karena kita tidak tahu siapa musuh yang akan di hadapi."
"Kalian bisa bersantai begini, tapi kenapa tidak langsung mencarinya saja?"
"tidak semudah itu? Kau pikir kami ini FBI atau CIA apa?" Alfa mendadak kesal saat menjelaskannya. "Inilah alasannya kenapa kita tidak mengambilnya, dan Amy…" Alfa melotot ke Amy. "Kenapa kau tiba tiba minta bantuan ke Kak Arvy? Kita harus menjelaskan semuanya dari awal, kau tahu itu kan?" giginya menggertak.
"Anu…maaf kalau aku mengganggu, tapi Amy yang meminta bantuanku jadi aku menerimanya dan untuk kebutuhan penjelasan yang tidak aku tahu, kalau Alfa tidak mau menjelaskan, its fine. Aku paham pekerjaan kalian, dan sepertinya client kalian orang kaya. Jadi kita harus mempersiapkan banyak hal untuk mencari anak ini. Jika dia benar benar diambil roh jahat sedang kita hanya membahas kasus di sini, kita tidak akan mendapatkan apa apa."
Tak!
Amy menjentikkan jarinya setuju dengan apa yang dikatakan Arvy.
"Benar. Kita harus menyusun rencana. Aku bersyukur kemarin selamat dari kecelakaan."
"Kau yakin sudah sehat? Kau dan juga kau!" Arvy menunjuk Amy dan Alfa bergantian.
"Tentu saja!" sahut mereka bersamaan.
"Aku juga benci membuang waktu di sini, Kak" kata Alfa pada Arvy. "Tapi masalahnya drai mana kita mulai mencarinya? Biasanya client akan menunjukkan dimana roh jahat berada dan kita tinggal menyelesaikannya dengan mengusirnya atau dengan cara cara lain, tapi kasus ini? Ahh" Alfa memegang kepalanya. "Aku benar benar tidak tahu harus dimulai dari mana."
"Kemarin kau kan yang paling semangat untuk membantunya? Kenapa tiba tiba kau mau mundur? Cih." sentak Amy.
"Ini jelas tidak bisa dilaporkan pada polisi," Arvy menyatukan dua tangannya di meja dan berpikir. "Kita harus mendatangi rumah ibu anak itu."
"Maksudnya client kita?" Alfa .
"Iya. Kita harus tahu bagaimana asal mulanya, keadaan keluarga mereka, perspektif orang tau sangat penting, dan alasan mengapa orang tuanya sangat yakin bahwa hilangnya anaknya disebabkan oleh roh jahat, bukankah normalnya orang akan mengiranya itu penculikan? Pasti ada alasan mengapa mereka menganggapnya begitu."
"Waahh. Apa kau polisi Kak?!" Alfa bertepuk tangan. "Daripada menjadi bartender kau harusnya jadi polisi seperti ayahnya Amy."
"Apa itu penting sekarang?"
Alfa mendapat lirikan tajam dari Arvy.
"Baiklah." kata Amy kemudian, Arvy dan Alfa menoleh.
"Ayo kita mulai dengan menemui ibunya. Karena ayahnya ada di luar negeri, kita harus mendapat keterangan dari ibunya. Kita harus mendapatkannya selengkap lengkapnya dan sejujurnya jujurnya."
"Terus bagaimana dengan bar mu?" tanya Alfa pada Arvy.
'Itu gampang. Sepertinya kasus ini akan jadi pengalaman yang menarik," Arvy tersenyum smirk.
"Kau…" Amy menuding Arvy.
Arvy menatapnya seolah mengatakan ada apa.
"Ini bukan main main. Jangan menganggapnya seperti game. Aku tahu persis karaktermu, aku tahu persis warnamu."
"Bukankah kau juga sama, Nona Indigo?"
"Apa?" Amy menyipitkan matanya. "Apa kau bilang tadi? Woi, aku serius, ini masalh hidup dan mati seorang anak dan juga sebuah keluarga."
"Aku sudah berjanji akan membantu kan? Apa kemarin belum jelas? Lagipula siapa yang bisa kalian andalkan lagi? Alfa baru saja sembuh dan kau, Amy, kau baik baik saja setelah kecelakaan kemarin? Yohan bilang kau tidak baik baik saja."
"Kau percaya padanya? Tentu saja aku sudah sehat, aku baik baik saja."
"Aku juga,' sahut Alfa. "Kalian ini selalu saja menganggapku sebagai orang sakit. Terutama kau Amy! Kau tidak lihat alku yang membawa hadiahmu sampai kemari?"
"Ah ya, harus kuapakan hadiah ini?"
"Bawa kemari. Aku akan menyimpannya, kalau beruntung akan kuberikan padanya kalau bertemu." Arvy mengangkat kotak besar itu dan membawanya ke salah satu ruangan di bar.