"Coba kau bilang lagi? Katakan lagi coba? Aku? Dengan anak itu? Woi sadarlah! Kau bahkan tidak tahu siapa dia?!"
Arvy memegang kepalanya, balik ke bar malah harus debat konyol begini.
"Apa mereka mengganti pengawal jadi pelawak sekarang?" batin Arvy.
"Jadi dimana dia?"
"Itu di sana." Mark menunjuk meja di sudut. "Aku tidak tahu hubungan kalian apa, tapi kuharap kau tidak macam macam dengannya. Kau bisa masuk penjara."
"Kau ini pengawalku apa pengawalnya? Dasar pengawal sialan! Apa aku membayar untuk debat denganmu? Huh!"
"Ya ya baiklah," Mark setengah hati mengatakannya.
"Kembali ke belakang. Layani pelanggan dengan benar!."
"Apa aku dibayar untuk jadi pelayan?" batin Mark sebal.
"Kami berdua benar benar tidak cocok." Arvy menggeleng, lalu melangkah menghampiri Amy.
"Ada apa kemari?" Arvy duduk di depannya.
"Aku…"
Belum sempat Amy berbicara, Mark yang mengangkat nampan dengan satu tangannya bak pelayan impian datang. Ia meletakkan segelas jus untuk Arvy dan segelas susu untuk Amy.
"Jus? Susu?" Arvy meliriknya. "Yang benar saja?"
Mark melirik Arvy sinis, namun sedetik kemudian tersenyum saat melihat Amy.
"Kudengar namamu Amy, nama yang indah. Kau masih bisa tumbuh tinggi, jadi minumlah susu."
"Apa?!" Amy meninggikan suaranya.
"Kulitmu sehat dan bersinar. Kau pasti akan jadi wanita dewasa yang cantik suatu hari nanti."
Amy yang marah mendadak tertegun mendengar pujian itu.
"Benarkah?" Amy memegang pipinya.
"Ah manis sekali. Kuharap aku punya adik yang imut sepertimu."
"Benarkah?" Amy tambah tersenyum lebar. "Jangan memujiku, aku tidak suka pujian."
"Aku tidak memuji, aku hanya mengatakan kenyataannya."
"Dasar Om ini. Kau pikir aku akan senang mendengarnya,"
Arvy melihat Mark dan Amy bergantian berkali kalian sembari menganga.
"Kenapa aku duduk di sini?" Arvy memutar bola matanya.
"Woi!" Arvy memanggil Mark. "Pergi sana."
"Paman," panggil Amy.
"Iya Amy cantik."
"Dia ini bukan pacarku." Amy meletakkan lengan depan dada dan membentuk tanda silang. "Aku bukan pacarnya."
"Eh? Jadi benar kalau…" Mark menatap Arvy dan Amy bergantian.
"Sudah kubilang kan. Kau yang tidak percaya." Arvy membuang muka.
"Terus kalian ini…"
"Kita saudara. Saudara sepupu," jawab Arvy getol.
Amy dan Arvy saling membuang muka, wajah mereka bahkan agak memerah.
"Tapi dari gerak geriknya mereka seperti punya hubungan yang aneh," batin Mark sembari memiringkan wajahnya.
"Ya baiklah. Aku minta maaf sudah salah paham. Syukurlah kalau Si manis Amy ini adalah sepupumu."
"Ku bilang tadi pengawalnya Arvy?" tanya Amy penasaran.
"Iya. Namaku Mark. Kau bisa memanggilku Mark saja atau Paman juga boleh."
"Kenapa kau sok akrab sekali sih? Pergi sana." usir Arvy.
"Ya ya baiklah."
Setelah Mark pergi mereka mulai serius berbicara.
"Kau mau kuambilkan selain susu?"
"Tidak. Aku suka susu. Aku akan meminumnya." Amy menyeruput susunya hingga ada sisanya di sudut bibir.
Arvy menghela napas melihatnya. Ia menarik selembar tisu di depannya lalu mengusapnya.
"Pantas saja Mark mengira aku pedo, kau memang anak kecil."
"Apa?"
"Tidak apa apa. Minum saja." Arvy tersenyum kecil.
Meskipun keduanya bersikap biasa saja namun Mark masih curiga dan melirik mereka dari jauh, bahkan senyum senyum sendiri saat Arvy mengusap bibir Amy dengan tisu.
"Aku ke sini untuk membicarakan tentang…"
"Apa kau datang kemari saat aku mabuk dan …ehem me…menangis?" sela Arvy, ia agak malu mengakuinya namun ia ingin mengetahui kebenarannya.
"Kita akan membicarakan di sini?"
"Apa ada tempat lain yang kau rekomendasikan?"
"Iya kau benar. Itu aku," ungkap Amy. "Kau memanggilku dengan nama Gita. Apa dia pacarmu?" tanyanya dengan hati hati.
Arvy terdiam.
"Maaf karena tidak mengenalimu saat itu. Kupikir kau seseorang yang kukenal."
"Aku ke sini tidak ingin membicarakan itu."
"Aku tahu. Aku tahu kalau kau ingin mengakhiri kecanggungan ini. Lagipula benar yang dikatakan Mark. Jika kita terlibat dengan cara yang awkward malah jadi aneh."
"Apa kau berkencan dengan dia?"
"Siapa? Gita?"
Amy mengangguk.
"Tidak. Kami sudah lama tidak bertemu."
"Kau harus menemuinya kalau menyukainya."
"Kau prihatin padaku?"
"Bukan begitu, kupikir lebih baik kau menemui orang yang kau sukai alih alih tidak percaya diri."
Arvy menunduk lalu tertawa kecil.
"Eh? Kau tertawa?"
"Maaf maaf, kau menasihatiku tapi aku malah menertawakannya. Maksudku bukan begitu. Tapi dari mana kau tahu aku tidak percaya diri?"
"Kau ingat saat kita makan burger?" (cek Bab 37)
Arvy berusaha mengingatnya. "Kenapa?"
"Aku membaca warnamu."
"Apa?"
"Ungu muda yang hampir membaur dengan putih, indah dan langka. Aku hanya menebaknya saat itu, kali ini aku tidak akan pura pura tidak tahu. Aku ingin bertanya secara langsung."
"Tunggu tunggu, apa mak…"
"Apa kau indigo?"
Arvy mematung lalu sesaat kemudian tertawa miris. Ia tidak tahu bagaimana cara menanggapinya, ia melihat wajah Amy yang serius.
"Sial! Banyak sekali yang tanya aku indigo akhir akhir ini." batinnya
"Tunggu dulu. Kau…kau serius membicarakan ini?"
"Tentu saja."
"Apa tujuanmu? Kau ke sini untuk memeriksanya? Dari awal inilah tujuanmu, benar kan?"
"Kau tahu juga. Aku bukan tipe yang tulus seperti Dio. Sejujurnya aku tidak paham kenapa dia memanggilmu Kakak. Maksudku, ayahmu adalah adik ipar ayahku, kau yang harus memanggilku Kakak, bukan aku." Amy dengan percaya diri menyilangkan kedua kakinya lalu menyilangkan dua tangannya.
"Pantas saja kau sukarela datang ke sini."
Dari jauh Mark tidak bisa mendengar percakapan mereka namun melihat gesture mereka. Sepertinya ada yang aneh. "Apa mereka bertengkar?" batinnya.
Namun ia kembali bekerja dan melayani pelanggan di kasir.
"Kau yakin masih ingin membicarakan ini di sini? Sepertinya kau tahu ada yang mengawasi.
Mereka berdua kalau Mark terus melihat keduanya sedari tadi.
"Jadi kau mau kemana?"
"Ayo naik ke lounge atas."
"Apa kau gila? Di sana kan…" Arvy tidak habis pikir. Padahal di sana adalah tempat saat Arvy menyerang Amy ketika mabuk.
"Aku sudah bilang memaafkanmu kan? Aku sudah melupakannya."
"Aku tidak mau melihat tanganmu gemetaran lagi."
Amy sontak memegang tangannya di bawah meja.
"Ayo keluar. Kita ke kafe saja."
"Aku sudah bilang tidak apa apa kan?"
"Kenapa kau terus memaksa ke atas?"
Suara mereka saling meninggi.
"Aku tidak mau bertengkar denganmu. Kita sudah cukup sering bertengkar. Ayo naik saja." Amy bangkit dan berjalan ke arah tangga, melewatinya lalu sampai di koridor atas. Ia memberi tanda pada Arvy untuk segera naik.
Arvy bangkit dari duduknya dengan setengah hati. Ia terpaksa naik mengikutinya.
Mark memegang bahunya dan meliriknya intens. "Apa yang akan kalian lakukan di atas?"
"Kenapa kau peduli? Jangan melewati batas."
Mark melepaskan tangannya, namun masih memicingkan mata.
"Dia itu sepupuku! Sepupu!"