webnovel

Psikopat

"Tidak mungkin. Alfa tidak memiliki gadis seperti itu!" tukas Arvy, namun sebenarnya pikirannya mengarah pada satu gadis, siapa lagi kalau bukan Amy, namun ia masih harus berpura pura bodoh sampai akhir.

"Kena kau!"

"Adikmu yang sok polos itu, malah jatuh cinta pada gadis yang akan Ramon tumbalkan, padahal seharusnya dia mengawasinya tapi adikmu yang sialan itu…! Mengkhianati Ramon! Dan sekarang kedokku sebagai pengkhianat juga terungkap! Anak buahku bahkan tertangkap oleh Rat…. argh!" Valen memegang lehernya yang masih mengucurkan darah.

Arvy mematung, tangannya gemetaran, Ia mengambil kembali pisaunya di lantai dan mengarahkannya pada Valen.

"Semua ceritamu itu….entah bohong atau tidak, aku tetap akan membunuhmu." Arvy mengarahkan pisau itu ke leher Valen bagian satunya lagi

"Sebenarnya kenapa kau melakukan ini? Kenapa?!" Valen sudah kehabisan ide, ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi monster ini.

"Alfa…adikku…" Arvy tiba tiba berkaca kaca. "Seharusnya kau membunuh pria bernama Ramon itu. Bukannya adikku!!"

"Jika aku bisa, aku sudah melakukannya sialan!"

"Alfa… Alfa…" Arvy tiba tiba menunduk, pisaunya jatuh di lantai begitu juga dirinya

Valen terkejut melihat air mata tiba tiba menetes di pipi pria berdarah dingin yang telah memukulinya tadi.

"Alfa sudah meninggal."

"APA?!"

"Kenapa kau membunuhnya?! kenapa?!" Arvy bersimpuh di lantai, meraung menangis adiknya yang mati. Dia benar benar bagus dalam berakting.

"Bukankah kutukannya sudah ditarik oleh Okta? Kenapa Alfa bisa meninggal? Apa fisiknya menjadi selemah itu setelah kuserang?" batin Valen yang juga bertanya tanya, ia tahu Alfa masih koma namun tidak tahu jika berakhir seperti ini.

"Dia tidak bisa bertahan sampai akhir. Saat koma dia sering kejang dan kritis. Dokter bilang dia akan kesulitan bangun karena kondisinya yang sudah parah," Arvy tangis dengan pilu.

"Jadi pada siapa aku harus membalas dendam adikku?! pada siapa?! katakan padaku!!"

"Aku…" Valen mendadak kosong pikirannya. Ia kalut sendiri karena mungkin akan berakhir mati di tangan Arvy.

Arvy berdiri dan berdiri membelakangi Valen. Ia menundukkan kepala, memandangi pisau di tangannya yang ujungnya tertinggal darahnya si Valen.

"Kalau begitu bertahanlah."

"Apa? Apa yang akan kau lakukan padaku huh?!" teriak Valen. Ia takut kali ini Arvy benar benar akan membunuhnya. Valen meronta namun rantai besi itu sangatlah menyiksa. Kursi kayu yang ia duduki juga sulit digerakkan.

"Kau akan membunuhku?"

"Membunuh?" Arvy tersenyum. Ia berbalik dna mendekat.

Jantung Valen berdegup dengan keras. Ia tak menyangka akan setakut ini dengan orang biasa. Ia menelan ludah dengan susah payah.

"Aku tidak perlu membunuhmu. Kau akan mati karena kehabisan darah.tapi aku akan memberimu pilihan jika kau tidak bisa menahannya. Pertama aku akan membiarkanmu kesakitan dan mati perlahan, atau kau ingin kuakhiri ini dengan cepat tanpa rasa sakit?"

Arvy mengangkat pisaunya dan menempelkannya pada pipi Valen.

Valen menggeram dan menggerakkan giginya, ia menatap tajam Arvy.

"Aku tidak suka tatapan matamu. Kalau begitu aku akan langsung membunuhmu saja."

Crat!

"Erggghh" Valen menahan erangannya dengan menutup mulutnya,

Arvy menggores pipi alih alih leher Valen. Ia tertawa puas melihat Arvy kesakitan.

"Ahaha menyenangkan sekali."

"Psikopat!"

Tiba tiba.

Ting tong.

"Jangan harap kau bisa keluar dari sini hidup hidup."

Arvy keluar lalu mengunci pintu basemen, lalu membuka pintu depan. Betapa terkejutnya ia mendapati pria tinggi nan gagah berdiri di sana.

"Selamat malam, Arvy, Putra Ardana."

"PAMAN?"

"Kenapa reaksimu begitu? Aku jadi terlihat seperti hantu."

Arvy menyadarkan dirinya.

"Oh maaf, ada apa malam malam kemari?"

"Kau tidak mempersilahkanku masuk?"

Ruang tengah kacau balau karena pertarungannya tadi. Ia tak bisa mempersilahkannya masuk.

"Tidak bisa."

"Apa? Kenapa aku tidak bisa masuk?"

Keduanya membisu, mereka bertatapan intens.

Arvy panik, ia bingung harus melakukan apa.

Sedang Holan melihat sudut bibirnya yang lebam dan sedikit meninggalkan noda darah. Ia melirik jari-jari tangan Arvy yang gemetar. Dengan cepat ia menarik tangannya dan membalik telapak tangannya, ada noda darah di sana. Ibu jarinya juga lecet sedikit. Goresan kecil di ibu jari menjadi tanda bahwa seseorang itu baru saja menggunakan pisau untuk suatu hal. Arvy pun segera menarik tangannya.

"Apa yang anda lakukan?"

Melihat reaksi Arvy yang marah, membuat Holan yakin ada yang tidak beres. Setelah mengunjungi Dio, Holan langsung tancap gas ke apartemen Arvy karena mencurigainya meskipun kecurigaan itu tak berdasar, karena toh Valen tak ada hubungannya dengan Arvy, apalagi sampai mengetahui tentang sekte segitiga merah, jadi Holan mengenyahkan kecurigaannya. Namun ia tidak tenang dan akhirnya ingin memaksa sendiri dan inilah yang ia dapatkan.

"Ruang bawah tanah? Di apartemen?" Holan memaksa masuk dan melihat di sudut rumah ada tangga sempit menuju ke bawah. Sesampainya di sana. Ia melihat pintu yang digembok. Holan menyentuh gembok itu.

"Hentikan!" teriak Arvy dari atas tangga. "Hentikan ini Paman Holan!" Arvy turun dan mendorong Holan agar menjauh dari pintu itu.

"Apa yang kau curigai? Apa kau punya waktu seluang ini? Padahal pelaku penyerang Alfa belum ditemukan?" Arvy berusaha mengalihkan fokusnya namun itu sia sia. Ia tak bisa menang melawan pamannya sendiri yang merupakan seorang polisi.

"Justru karena aku ingin menangkapnya markasnya aku ada di sini."

"Apa? Apa maksud anda?" Arvy panik.

Holan dengan wajah serius mengeluarkan pistol dari dalam saku celananya.

Arvy mundur dan panik bukan main. Namun ia masih melindungi pintu itu.

"Menyingkir!" perintah Holan. "Atau kau akan menyesal."

Arvy menelan ludah, setelah beberapa saat, ia akhirnya menuruti Holan.

Duuarrr!

Holan menghancurkan gembok itu, pintu pun terbuka. Holan masuk dan kaget melihat kondisi Valen yang setengah pingsan tengah duduk di kursi dengan rantai besi. Sedangkan seorang pria lagi tengah tertidur di ranjang berselimut. Holan mengantongi pistol itu kembali dan memeriksa denyut nadi keduanya. Nadinya masih normal, dia hanya tidur sedang nadi Valen sangat tipis. Ia juga memeriksa luka di lehernya dan cukup terkejut, ia tak percaya Arvy melakukan itu, luka itu digores tanpa keraguan, polisi paham tentang itu, dan ia barus aja mendapati bahwa keturunan keluarga Satria yang sesungguhnya memiliki kekuatan diluar normal dari orang biasa.

"Rataka benar, sepertinya Arvy bukan pria biasa. Ia keturunan asli keluarga Satria, ia tidak memiliki aura ketakutan sedikitpun dalam dirinya, bagaimana bisa… bagaimana bisa aku melupakan keberadannya selama ini?"

Holan memegang dahinya yang pening. Lalu berdiri menatap Arvy.

"Aku akan membawa keduanya keluar. Setelah semuanya, bersihkan basemenmu, hilangkan semua jejak kekerasan yang kau lakukan di sini dan kau…berpura puralah tak pernah terlibat."

"Apa Paman…akan melepaskannya begitu saja?"

Holan menatapnya, meminta penjelasan apa yang baru saja dia katakan.

"Paman menangkapnya secara hukum karena kau polisi kan? Tapi…apa Paman akan benar-benar dengan mudah membiarkannya hidup tenang di sel penjara?"

"Apa yang ingin kau katakan? Katakan dengan jelas!"

"Pria itu…buronan nasional yang dicari di seluruh negeri itu…." Arvy menatapnya. "Dia anak buah organisasi aneh yang mengincar Amy, putri Paman, kan?"

Degh

"Kau…"

Nächstes Kapitel