webnovel

Menyerah

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi dengan Dio?"

"Dia…"

"Aku tidak akan memberitahu siapapun. Aku tidak seceroboh itu."

"Aku tahu. Tapi hanya saja…" Yohan menunduk sedih. "Dio menderita bipolar akut."

"Apa?"

"Dia juga menderita insomnia parah. Dio harus minum pil penenang itu agar bisa tidur dan tidak bermimpi buruk. Jujur saja, dia menjadi seperti ini sejak ibunya koma, mungkin dia tidak bisa menerima Amy awalnya dan membenci ayahnya karena membawa anak lain. Namun kondisinya perlahan membaik. Dia tidak membenci keluarganya, dia hanya membenci dirinya sendiri. Merasa lemah, tidak berdaya, tidak bisa diandalkan dan tidak memiliki banyak hal untuk dirinya sendiri banggakan."

"Padahal di seorang dokter. Bagaimana bisa dia…." Arvy menghela napas berat. Ia sangat khawatir.

"Dia bilang membenci keluarganya kan? Memukulmu juga kan?"

Arvy mengangguk.

"Itu hanya tameng dari alam bawah sadarnya. Ia sendiri tidak bisa mengendalikan emosi itu. Di saat kondisinya membaik ia akan baik baik saja. Jadi jangan anggap bahwa perasaannya bohongan. Aku mohon untuk tidak melihatnya seperti orang munafik. Perasaannya sungguhan, dia menyayangi keluarganya, bahkan Amy, adik yang bukan saudara kandungnya sendiri."

"Munafik? Aku memang sempat berpikir begitu."

"Kuharap kau tidak memberitahu siapapun."

"Dr. Yohan. Bukankah kau dokter bedah?"

"Iya. Kenapa?"

"Kenapa kau bisa tahu kondisi Dio?"

"Pak Holan saat itu memintaku merahasiakannya. Namun kau tahu sendiri aku bukan psikiater. Dio dirawat temanku dari rumah sakit lain. Aku punya kenalan beberapa psikiater. Padahal Dio sudah jarang kumat beberapa bulan terakhir."

Arvy menunduk merasa bersalah. "Mungkin…aku penyebabnya. Aku yang membuatnya jadi seperti ini."

"Apa yang kau katakan?" Yohan menepuk bahunya pelan. "Ini bukan salah siapa siapa. Siapa yang akan memprediksi kejadian semacam ini. Jangan menyalahkan diri sendiri."

"Tapi aku yang memancingnya. Aku tahu dia tidak baik baik saja, tapi aku menuruti ego ku yang jelek ini. Aku benar benar minta maaf Dokter."

"Kau tahu Arvy, semua keponakanmu memanggilku Kakak. Tidak ada yang memanggilku Dokter."

Arvy menoleh."Benarkah?"

Yohan mengangguk.

"Aku tahu kalian dekat. Tapi apa sedekat itu?"

"Tentu saja."

"Bukankah kau terlalu tua di panggil kakak?"

"Apa? Oi aku ini masih di awal tiga puluhan. Aku tidak setua yang kau kira"

"Apa yang harus aku katakan pada Dio setelah sadar?" Arvy memegang dahinya yang pening. "Apa aku harus minta maaf?" tanya pada Yohan.

"Jangan terburu buru. Tunggu saja bagaimana responnya. Aku yakin dia tidak akan separah bayanganmu."

"Bagaimana jika dia marah?"

"Apa kau khawatir sekarang?" Yohan tersenyum.

"Apa maksudmu?"

"Tidak. Hanya saja, bukankah kau Arvy yang terkenal dingin, cuek, dan es batu itu?" Yohan tertawa kecil. "Ternyata kau tidak buruk juga."

Arvy meliriknya tajam.

"Kau mengkhawatirkannya bukan?"

"Tentu saja!"

"Kalau begitu tunggu saja. Kau hanya perlu menunggu responnya nanti."

Arvy menunduk sedih memikirkan keadaan keponakannya.

FLASHBACK MASA SEKOLAH.

"Ibu! Ibu!"

Dio mengangkat tangannya seolah ingin meraih sesuatu. Matanya terpejam dan keringatnya keluar sangat banyak hingga bantalnya basah. Ia membuka mata dna akhirnya menyadari bahwa itu adalah mimpi.

Dio sudah diadopsi sejak bayi. Ia digendong oleh Bu Nadia, di susui, diajari mengucapkan ibu dan ayah, cara berbicara, cara berjalan bahkan bagaimana memakai pakaiannya sendiri. Karena ayah Holan sering berada di kepolisian dan sibuk dengan pekerjaanya. Dio tumbuh menjadi anak yang sangat dekat dengan ibunya. Tidak ada satu haripun ia lupa untuk memeluk Bu Nadia.

"Ibu," panggil Dio sewaktu masih duduk di Taman Kanak kanak. "Aku bukan anak ibu kan?"

Nadia sadar kalau Dio memang anak yang cerdas, anak yang pintar dan cepat memahami sesuatu sedari kecil. Ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari putra semata wayangnya.

"Kenapa Dio tanya begitu?" Nadia mengelus puncak kepalanya dengan lembut.

"Iya kan, Bu?"

Nadia hanya tersenyum dengan lembut dan memeluknya. "Dio adalah putra ibu, sekarang dan selamanya."

"Aku ingin terus bersama dengan ibu," Dio tersenyum lebar. "Aku akan jadi anak yang rajin dan pintar. Aku akan jadi anak yang baik untuk ibu."

Dio kecil membalas pelukan ibunya. Mata Nadia berkaca kaca. Ia sangat bahagia memiliki Dio.

"Aku lapar, Bu. Ku ingin makan."

"Dio yang manis mau makan apa, Sayang?"

"Telur mata sapi. Aku ingin makan telur mata sapi buatan ibu. Yang buanyak." Dio merentangkan kedua tangan kecilnya.

"Apa Dio bisa menghabiskannya?" Ibu tertawa.

"Tentu saja bisa. Kata Bu Guru, telur mengandung banyak nutrisi. Aku ingin menjadi kuat dengan melindungi ibu."

"Baiklah kalau begitu." Nadia tersenyum lebar.

Flashback selesai.

Dio duduk di ranjang dan melihat meja pasien kecil di hadapannya yang dihidangkan makanan rumah sakit. Ada telur mata sapi di sana. Ia tak berhenti melihat makanan itu. Dirinya mematung, tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya menatapnya dengan sendu dan sedih.

Arvy melihatnya dari luar. Kemudian menunduk sedih.

Flashback again

Dio mengenakan seragam SMP dan Amy mengenakan seragam SD. Keduanya duduk di meja makan bersama Ayah, Holan. Keduanya masih belum akrab. Mereka bahkan duduk dengan menyisakan jarak dua kursi. Holan hanya menghela napas dan membiarkannya. Mereka bertiga sarapan dengan tenang sekaligus dengan atmosfer yang kaku lagi dingin.

Meskipun berangkat dan pulang sekolah selalu bersama Dio selalu berusaha akrab dengan Amy, namun Amy tidak pernah menggubrisnya. Sejak itu ia selalu berpura pura menjadi kakak yang baik dan humble dengan keluarga barunya. Meski Amy tidak pernah menganggapnya begitu. Saat itu mereka belum banyak bertengkar seperti sekarang. Keduanya sering diam dan Dio sering melempar perhatian perhatian kecil yang tidak tulus yang dijawab dengan kesinisan Amy. Hubungan kakak adik itu semakin aneh.

"Pak Supir, kita mampir ke kedai bubur dulu ya. Aku ingin makan yang hangat. Sepertinya Amy juga begitu."

"Baik, Tuan Muda," sahut Pak Supir patuh.

Amy yang mendengarnya mengomel.

"Kalau kau mau makan ya sendiri saja, tidak usah bawa bawa aku! Apa aku terlihat mau makan bersamamu? Cih." Amy membuang muka.

Namun dibalas senyum hangat dari Dio. "Baiklah. Nanti aku makan sendiri saja."

Setelah makan di kedai, Dio membawa satu bungkus untuk dibawa pulang. Ia sengaja menaruhnya dekat oven agar bisa dipanaskan. Amy melihatnya dan membaca catatan kecil di atasnya.

"Hangatkan dulu sebelum dimakan." dan sebuah emoticon tersenyum.

Amy akhirnya memanaskannya dan makannya. Ia tersenyum.

Di balik dinding, Dio sebenarnya melihatnya. Matanya tajam dan intens, wajahnya datar tak beremosi. Ia tahu Amy akan memakannya, ia juga tahu adik tirinya itu tidak sedingin aslinya.

Mereka pun semakin beranjak dewasa, di hari kelulusan Dio di SMP, dia menjenguk ibunya di rumah sakit. Ia membawa racun yang ia beli dari apotek. Setelah memeluk ibunya yang tengah koma, Dio duduk di lantai sembari bersandar di kaki ranjang. Wajahnya datar, ia kehilangan gairah hidup dan tak berniat melanjutkannya lagi tanpa ibunya. Ia menolak ibunya yang bahkan belum siuman hingga sekarang. Ia tidak mau menerimanya. Semuanya sudah dicoba, berusaha menjadi putra yang baik (untuk Holan) dan berusaha menjadi kakak yang baik (untuk Amy), namun itu semua masih kurang tanpa kehadiran ibu.

"Aku…tidak bisa melanjutkannya lagi, Ibu. Aku sudah lelah."

Dio menggenggam pil di telapak tangannya, lalu menatap pil itu. Tanpa pikir panjang ia memasukkannya ke dalam mulut, namun berakhir batuk batuk.

Yohan yang memang di tugasi menjadi perawat pribadi Nadia, tidak sengaja mendengar suara seseorang yang batuk. Ia segera masuk ke dalam dan mendapati Dio memegang tenggorokannya di lantai sembari kejang kejang.

"Tuan Muda!"

Nächstes Kapitel